Koran Sulindo – KPK meminta pemerintah jangan sengaja memicu ketidakpastian hukum dengan memasukkan aturan-aturan pidana khusus dalam revisi Kita Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menganggap revisi KUHP bakal menimbulkan ketidakpastian hukum di Indonesia.

“Pemerintah jangan sengaja menimbulkan ketidakpastian hukum. Dampaknya adalah susahnya memperoleh keadilan,” kata Laode dalam diskusi “Implikasi Kodifikasi terhadap Kejahatan Luar Biasa dan Terorganisir dalam revisi KUHP” di Gedung KPK, Rabu (6/6).

Menurut Laode, jika revisi KUHP disahkan, maka tidak ada lagi kepastian dan norma hukum.

“Jadi KPK, BNN, maupun Komnas HAM mau berpatokan yang mana. Mau berpatokan pada KUHP atau berpatokan pada undang-undang khusus yang kita kerjakan selama ini,” kata Laode.

Laode khawatir, hakim pengadilan tindak pidana korupsi bakal kebingungan memberikan pertimbangan hukum karena terdapat dua aturan yakni KUHP dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Di sisi lain, kuasa hukum kasus korupsi bakal senang karena ruang tafsir terhadap hukum semakin luas.

Selain itu, menurut Laode, draf KUHP tersebut dianggap memanjakan koruptor karena ancaman pidana dalam draf KUHP lebih rendah dibanding undang-undang tindak pidana korupsi.

“Ancaman pidana denda dalam revisi KUHP itu menurun. Kalau kita lihat pasal 2 undang-undang tipikor itu adalah minimal Rp200 juta dan maksimum Rp1 miliar. Dalam KUHP itu minimal Rp10 juta,” kata Laode.

KPK berharap jika pemerintah dan DPR menganggap kejahatan korupsi betul-betul mau dilawan semestinya tidak usah dimasukan ke dalam KUHP.

Adapun beberapa norma dalam undang undang khusus yang masuk dalam revisi KUHP yaitu tindak pidana korupsi, tindak pidana berat terhadap HAM berat, tindak pidana terorisme, tindak pidana pencucian uang, serta tindak pidana narkotika dan psikotropika.

Terlebih, sejak wacana revisi KUHP muncul, KPK merasa akan kehilangan kewenangan dalam memberantas korupsi, namun dilain pihak, pemerintah, DPR dan tim perumus RKUHP menegaskan bahwa KPK tidak akan kehilangan kewenangan yang dimiliki selama ini.

Laode juga menyebut, Kemenkumham tidak berlaku adil dalam memandang tindak pidana khusus. Itu karena tidak semua tindak pidana khusus masuk ke dalam draf KUHP.

Di antara tindak pidana khusus yang tidak diusulkan Kemenkumham masuk dalam draf KUHP itu adalah kejahatan terkait perikanan, mineral dan batubara, serta tindak pidana militer. “Mestinya harus diberlakukan sama,” kata dia.

Oleh karena itu, KPK sejauh ini telah mengirimkan lima kali surat kepada Presiden Joko Widodo. Surat tersebut berisi keluhan KPK sebagai respon usulan Kemenkumham memasukkan tindak pidana korupsi ke dalam KUHP.

Sementara itu, menurut Anggota Tim Panja dari pemerintah Muladi, masuknya tindak pidana khusus perlu masuk ke dalam KUHP dalam rangka mengonsolidasikan sistem hukum pidana materil.

Menurutnya, revisi KUHP hanya menyebut kejahatan inti dari suatu tindak pidana khusus. Sementara, aturan detail dari kejahatan tersebut terdapat pada undang-undang khusus yang bersifat hukum formil.

Muladi mencontohkan pada pasal 729 dalam draf KUHP yang mengatur tentang ketentuan peralihan. Ketentuan peralihan ini menjadi perisai Kemenkumham untuk membela diri atas kritik dari lembaga-lembaga negara lainnya.

“Pasal 729 itu aturan peralihan yang sangat penting. Yang menyatakan bahwa pada saat KUHP berlaku nanti, ketentuan pada bab tindak pidana khusus, tetap dilaksanakan berdasarkan kewenangan lembaga yang telah diatur dalam undang-undang masing-masing. Tidak akan menganggu KPK,” kata Muladi. [CHA]