Pemberontak Suriah yang didukung Turki merayakan kemenangan mereka di Afrin.

Koran Sulindo – Kejatuhan kota Afrin di timur laut Suriah dari tangan tentara Kurdi ke pemberontak yang didukung Turki sudah diperkirakan sejak jauh-jauh hari.

Pertanyaan paling mendasar adalah apakah pengambilalihan kantong itu bakal memicu pembersian etnis Kurdi di sana.

Komandan FSA mengklaim mereka memasuki kota dari tiga arah tanpa perlawanan apapun dari tentara Kurdi.

Sebuah video yang diambil oleh para prajurit Tentara Pembebasan Suriah (FSA) menunjukkan mereka menghancurkan patung pahlawan Kurdi di pusat Kota Afrin. Banyak dari prajurit-prajurit FSA itu merupakan bekas anggota ISIS atau al-Qaeda.

Mereka ini dengan jelas memandang minoritas Kurdi dan non-Muslim sebagai musuh yang pantas diusir dan harus diberantas.

Sejauh ini sudah 200.000 orang-orang Kurdi melarikan diri dari Afrin dalam beberapa hari terakhir. Mereka bergabung dengan total enam juta orang Suriah di seluruh negeri yang mengungsi sejak 2011. Jumlah yang sama juga menjadi pengungsi di luar negeri.

Afrin menjadi pilihan paling mudah untuk Turki, selain berbatasan langsung dengan wilayahnya, kota ini terputus dengan wilayah utama yang mereka di sisi timur Sungai Eufrat. Satu-satunya jalur pasokan ke wilayah itu hanya dari sisi selatan yang dikendalikan Suriah. Mereka memungkinkan warga sipil melintas, namun tidak bagi mereka yang bersenjata.

Sebelumnya, para komandan tentara Kurdi dari Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) sepakat bahwa Afrin tak bakal bisa dipertahankan dan memilih menarik kekuatan mereka karena tak mempunyai pilihan lain.

Pilihan yang bijak untuk tidak memaksa bertempur habis-habisan yang jelas menghasilkan korban jiwa yang sangat besar.

Pertempuran di Afrin dalam konteks lebih luas merupakan pernyataan provokatif sebagai tanggapan atas statmen Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson yang menyebut tentaranya akan tinggal di Suriah. Mereka menyebut kebutuhan untuk menjamin negara de facto Kurdi yang mereka gagas.

Dibantu payung udara AS, YPG berhasil mengalahkan ISIS dan menguasai hingga sekitar seperempat wilayah Syria di sisi timur Sungai Eufrat.

Berkali-kali, Tillerson menyebut AS tak hanya akan tinggal di Suriah namun juga akan tetap menuntut pengunduran diri Presiden Bashar al-Assad dari kekuasaan dan memutus pengaruh Iran di Suria. Dengan perkembangan terakhir medan perang, bukal lagi tujuan itu menjadi tidak masuk akal namun justru membawa Turki makin dekat ke Rusia.

Presiden Rusia Vladimir Putin juga menarik payung udara di Afrin yang memungkinkan jet-jet tempur Turki melakukan pembomban dengan bebas. Payung udara ini sangat krusial karena meskipun YPG memiliki pasukan darat yang kuat tanpa pertahanan udara yang memadai mereka jelas rentan terhadap serangan udara.

Orang-orang Rusia tentu ingin melihat tentara Turki terkunci untuk berselisih dengan AS yang menjadi sekutu Kurdi. Di sisi lain, ini juga membuat Turki bergantung pada Rusia karena pasukannya menggelar operasi militer di daerah di mana Rusia adalah kekuatan yang superior.

Masih harus ditunggu apakah kejatuhan Afrin itu bakal dilanjutkan dengan pembersihan etnis dan arabisasi termasuk penghapusan komunitas etnis yang selama ini menjadi ciri khas perang sipil Suriah.

Presiden Recep Tayyip Erdogan menyebut Afrin sebagai simbol kepercayaan dan stabilitas dan bukan gerombolan teroris. Baginya jelas, pemusnahan simbol Kurdi di kota itu bukan pertanda di masa depan.

Sementara itu jelas, orang-orang Kurdi Suriah khawatir bahwa Erdogan berencana untuk menciptakan sebuah blok Arab Sunni di bawah kendali Turki di Suriah utara.(TGU)