Koruptor di Indonesia Disubsidi oleh Ibu-Ibu, Mahasiswa, Orang Sakit, dan Lain-Lain

Sulindomedia – “Sepertinya hanya di Indonesia para koruptor disubsidi oleh rakyat dan generasi muda di masa datang!” kata Peneliti dari Lembaga Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, Dr Rimawan Pradiptyo, saat menggelar jumpa pers terkait laporan analisis database korupsi kepada wartawan, Selasa kemarin (5/4/2016).

Mereka yang menyubsidi para koruptor adalah para pembayar pajak yang budiman, ibu-ibu pembeli susu formula untuk bayi mereka, mahasiswa dan pelajar yang membeli buku teks mereka, orang sakit yang membeli obat-obatan di apotek dan toko obat, dan bahkan generasi di masa datang yang mungkin saat ini belum lahir.

Pendapat Rimawan ini didasarkan atas data yang dimiliki Laboratorium Ilmu Ekonomi UGM, yang menunjukkan nilai kerugian negara akibat tindak pidana korupsi mencapai Rp 203,9 ttiliun, namun total hukuman finansial hanya Rp 21,26 triliun atau sekitar 10,42% saja. Artinya, masih ada Rp 182,64 triliun yang tak kembali.

Ia lantas mengajukan contoh di Denpasar, Bali, diketahui terdapat 21 terdakwa dengan kerugian negara Rp 71,5 miliar, sementara hasil korupsi yang dikembalikan hanya di bawah Rp 1 miliar. Di Bantul, Yogyakarta, terdapat 12 terdakwa dengan nilai kerugian mencapai Rp 16,3 miliar, namun uang korupsi yang dikembalikan ke negara hanya Rp 4,2 miliar. “Artinya, Rp 12 miliar disubsidi ke koruptor,” tuturnya.

Padahal, jika subsidi tersebut di re-alokasi,  menurut Rimawan, seluruh masyarakat Indonesia bisa gratis iuran BPJS hingga Rp 60 ribu perbulan, bisa dialokasikan pada  infrastruktur pembangunan jalan tol sepanjang lebih dari 10 ribu kilometer, dan pembangunan MRT sepanjang 202 kilometer. Dalam bidang pendidikan, biaya itu akan mampu meluluskan 182.000 magister luar negeri atau 45.500 doktor luar negeri, meluluskan 546.00 sarjana dengan standard perguruan tinggi negeri top di Indonesia. Di bidang olahraga, akan mampu membangun 182 stadion sepakbola standard internasional dan membiayai 20 pebalap seperti Rio Haryanto selama 40 tahun.

Rimawan juga mengungkapkan, korupsi yang dilakukan politisi (legislator dan kepala daerah) dan swasta—yang jumlahnya mencapai 1.420 terpidana—ternyata mengalahkan jumlah pelaku korupsi pegawai negei sipil yang jumlahnya mencapai 1.115 terpidana. Demikian pula jika dilihat dari total nilai korupsi oleh politisi dan swasta mencapai Rp 50,1 triliun atau setara dengan Rp 86,4 triliun dengan harga tahun 2015.

“Karenanya, perlu reorientasi strategi penanggulangan korupsi untuk fokus ke korupsi oleh politisi dan swasta,” ujar Rimawan..

Rimawan juga menyoroti hukuman finansial kepada para terpidana korupsi yang dinilai cenderung suboptimal (lebih rendah dari kerugian negara yang diakibatkan). Dijelaskan, hukuman finansial kepada para kepala daerah cenderung lebih proporsional terhadap nilai kerugian negara dibandingkan pekerjaan lain. Adapun hukuman finansial kepada para legislator dan swasta cenderung lebih rendah daripada kerugian negara yang diakibatkan.

Apalagi, korupsi dimulai sejak dalam pembuatan peraturan perundang-undnagan dan peraturan daerah yang melibatkan keduanya. “Kita tahu, undnag-undang dibuat para politisi yang sudah kongkalikong dengan swasta, seperti melegalkan korupsi sruktural dengan dorongan membuat peraturan yang sejak awal sudah korup,” tuturnya.

Lebih lanjut dikatakan, koruptor kelas gurem (nilai korupsi di bawah Rp10 juta) dihukum rata-rata 3.428% lebih tinggi dari kerugian negara yang diciptakan. Sementara itu, koruptor kelas kakap (nilai korupsi Rp 25 miliar ke atas) hanya dihukum rata-rata 8,3% dari nilai kerugian negara yang diciptakan.

“Perlu revisi Undang-Undang Tipikor agar hukuman yang diberikan kepada para terpidana korupsi menjadi proporsional dengan biaya sosial korupsi yang ditimbulkannya,” kata Rimawan.  Undang-Undang Tipikor, lanjutnya, antara lain perlu ditambah pasal yang mengatur jenis korupsi yang dilakukan swasta, termasuk korupsi antara swasta dan swasta.

Pada kesempatan itu, Rimawan juga bertanya-tanya, mengapa DPR sibuk mengajukan Rancangan Undang-Undang Revisi KPK tapi tidak mengajukan Rancangan Undang-Undang Revisi TipikorR agar hukuman kepada para terpidana korupsi proporsional.

Menurut Rimawan, koruptor besar (Rp1 miliar – Rp 24,9 miliar) dan koruptor kakap (Rp 25 miliar ke atas) cenderung “disubsidi” oleh rakyat. Nilai hukuman finansial mereka, lanjutnya, jauh lebih rendah daripada kerugian negara yang diakibatkannya. [YUK/PUR]