Sulindomedia – Betapa cepat lupanya kita. Rasanya baru beberapa tahun lalu, begitu banyak orang cemas akan datangnya bencana ekologi besar. Banyak orang dari berbagai penjuru dunia, bahkan sampai di pelosok desa di negeri ini, berbicara tentang akan datangnya bahaya besar akibat pemanasan global, efek rumah kaca, semakin menganganya lubang ozon, dan sebagainya. Berbagai gerakan massif pun dilakukan, mulai dari menanam pohon sampai berkampanye tentang reduce, re-use, dan recycle.
Tapi, semua itu kemudian seakan hilang ditelan hiruk-pikuk konflik, degap-degup media sosial di Internet, dan kebisingan di dunia politik yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di negeri ini. Bahkan, pada hari-hari ini, di negeri ini, berbagai upaya untuk mengingatkan betapa bahayanya reklamasi pantai yang dilakukan jika tanpa kajian mendalam seakan hanya berita rutin yang akan segera basi. Bahkan, ada pula yang menuding isu lingkungan tersebut tak lebih dari topeng untuk menutupi kepentingan politik praktis semata.
Padahal, dampak reklamasi atau pembuatan daratan baru pada suatu daerah perairan sudah banyak diinformasikan. Yang utamanya adalah hancurnya ekosistem, hilangnya keanekaragaman hayati, antara lain punahnya berbagai spesies mangrove serta punahnya spesies ikan, kerang, kepiting, dan burung. Juga meningkatkan potensi banjir. Karena, reklamasi pantai dapat mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan tersebut, misalnya perubahan tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai, dan merusak kawasan tata air.
Kemungkinan meningkatnya potensi banjir semakin tinggi dengan adanya kenaikan muka air laut yang disebabkan pemanasan global. Ekonomi senior yang mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, malah memperkirakan banjir besar akan menghantam Monumen Nasional atau Monas ketika permukaan laut naik dan menghambat air sungai masuk laut. “Akibat climate-change: permukaan laut naik, hambat air sungai masuk laut + masuk kembali arah hulu = banjir semakin besar. 2050 hantam Monas,” tulis Emil Salim pada akun resmi Twitter-nya, 7 April 2016 lalu.
Pakar kelautan dari Institut Pertanian Bogor Alan Koropitan, PhD juga sudah mengungkapkan bahaya reklamasi Teluk Jakarta. Alan mengatakan itu sebagai ahli yang dihadirkan dalam sidang gugatan terhadap izin reklamasi atas Pulau G yang dikeluarkan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, 3 Maret 2016 lalu di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Menurut dia, keberadaan pulau-pulau hasil reklamasi mengakibatkan turunnya kecepatan arus laut. Padahal, arus laut dibutuhkan untuk “mencuci” beban pencemaran yang diterima Teluk Jakarta dari daratan.
Bila Teluk Jakarta tidak lagi mampu mencuci pencemaran dari daratan, perlahan akan mengendap di wilayah tersebut. “Semakin lama pencemaran mengendap, itu berbahaya,” kata Alan, yang pernah melakukan penelitian di Teluk Jakarta dari tahun 2003 sampai 2015.
Proyek reklamasi, tambahnya, juga akan menyebabkan banjir di Jakarta semakin parah. Karena, keberadaan pulau reklamasi menyebabkan adanya pendangkalan (sedimentasi). Karena ada pendangkalan, air laut yang tadinya leluasa jalannya akan terhalang. “Akibatnya: akan melimpah ke luar dan itu yang kita sebut banjir,” tuturnya dalam persidangan. Reklamasi, lanjutnya, bukanlah solusi untuk persoalan buruknya kualitas air di Teluk Jakarta. Juga bukan solusi atasi banjir dari laut (rob).
Pandangan yang hampir sama juga datang dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)-Jakarta, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Indonesian Center for Environmental Law, Forum Kerukunan Nelayan Muara Angke, Solidaritas Perempuan, Pusat Bantuan Hukum Dompet Dhuafa, dan Yayasan Bantuan Hukum Indonesia.
Akankah suara-suara mereka didengar oleh para pengambil keputusan? Semoga saja. Tapi, yang pasti, ketika bencana terjadi, korbannya bukan hanya orang-orang yang berdosa. Yang paling sengsara tentulah orang-orang miskin, yang penghasilannya “dari tangan langsung ke mulut”.
Dalam edisi keduanya, Koran Suluh Indonesia pun mengangkat topik reklamasi Teluk Jakarta sebagai laporan utama. Selain melihat masalah Teluk Jakarta dari perspektif ekologis, laporan utama itu juga melihat dari sisi yuridisnya.
Edisi kedua Koran Suluh Indonesia beredar pada Senin ini (18/4/2016). Yang ingin berlangganan atau memasang iklan dapat menghubungi Saudara Setyo Gunawan lewat nomor telepon kantor kami, (0210) 782 43 45. Alamat Redaksi, Iklan, dan Promosi Koran Suluh Indonesia di Jalan Ampera Raya Nomor 59, Jakarta Selatan 12560. [PUR]