Kopiah, songkok atau peci sudah menjadi identitas nasional bangsa Indonesia. Orang Indonesia mudah dikenal dari kopiah yang dia kenakan di kepalanya.
Koran Sulindo – Setiap negara memiliki busana khas masing-masing. Salah satu busana khas Indonesia, terkhusus untuk laki-laki, disebut kopiah, pakaian tutup kepala yang juga bernama songkok atau peci. Di belahan dunia mana pun berada, begitu seseorang terlihat mengenakan kopiah, tak pelak lagi, dia akan langsung dikenal sebagai orang Indonesia. Kopiah sudah menjadi ciri penanda khas tentang kebangsaan seseorang sebagai seorang warga negara Indonesia.
Di Indonesia, selain menjadi identitas nasional, kopiah juga menjadi ciri budaya keagamaan seseorang. Warisan budaya leluhur ini terus dipakai sebagai identitas sekaligus estetika. Bagi laki-laki, peci kopiah bukan hanya menjadi pelengkap pakaiannya ketika busana beribadah, saja atau hanya sekadar dipakai untuk melindungi kepala dari terpaan langsung sinar matahari. Bagi bangsa yang beragamaLebih dari itu, kopiah digunakan untuk menyatakan diri sebagai muslim sekaligus menandakan sebuah gaya hidup yang agamis.
Menilik ke belakang, kopiah dikenal secara nasional ketika Presiden Soekarno mulai mempopulerkannya. Di masa penjajahan, dia mengenakan peci sebagai simbol pergerakan dan perlawanan terhadap penjajah. Dalam buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno bercerita bagaimana dia bertekad mengenakan peci sebagai lambang pergerakan. KH Wahab Hasbullah menilai bahwa, dengan memakai peci, Bung Karno tampak shalih, nasionalis dan agamis.
Baca juga PDI Perjuangan Akan Gelorakan Kembali Pemakaian Kopiah
Berkat promosi Bung Karno, kaum cendekiawan yang pro-pergerakan nasional pun ikut terbiasa memakai kopiah. Upayanya mempromosikan peci hitam sebagai simbol nasionalisme Indonesia tak berhenti di hingga situ. Ssesudah kemerdekaan, para menteri sering diberinya hadiah kain beludru, bahan untuk membuat kopiah. KH Saifuddin Zuhri, menteri agama kala itu, pernah dihadiahinya kain ini sebagai bahan baku yang cukup untuk membuat enam buah kopiah.
Presiden, wakil presiden, para menteri, pejabat tinggi negara, dan para wakil rakyat, selalu menggunakan kopiah di acara-acara resmi kenegaraan. Selain kalangan sipil, kelompok militer juga suka menggunakan peci hitam sebagaimana ditunjukkan Jenderal Sudirman dan Jenderal Urip Sumoharjo. Tak cuma dipakai kalangan muslim, kopiah juga dipakai warga Kampung Sawah, Jakarta, yang umumnya beragama Kristen.
Kassian Chepas, fotografer kenamaan Indonesia yang beragama Kristen, tampak berpeci dalam sebuah foto dirinya yang dibuat tahun pada 1905. Di musim kampanye, kopiah dipakai oleh sebagian besar mereka yang ingin menjadi calon kepala daerah, calon anggota dewan, atau calon lurah. Mereka menampilkan foto yang gagah mengenakan peci, tak peduli apa pun agama mereka. Rasanya diri lebih berwibawa sekaligus nasionalis ketika mereka menampilkan foto kampanye berkopiah. Dengan demikian, tampak jelas bahwa kopiah atau peci atau songkok yang awalnya menandakan identitas religius seseorang kini bertransformasi menjadi identitas kebangsaan.
Banyak Versi
Tentang perihal asal-muasal kopiah, itu banyak versinya. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia, menyebut bahwa, kopiah sudah dikenalkan oleh Sunan Giri, wali penyebar agama Islam di Jawa pada abad ke-14. Sementara Rozan Yuno dalam artikelnya, “The Origin of the Songkok or Kopiah” di The Brunei Times (23/09/2007), menyebutkan bahwa, pakaian ini diperkenalkan pada para pedagang Arab, yang juga menyebarkan agama Islam di Jawa.
Sumber lain menyebut, peci dibawa ke Indonesia oleh Ceng Ho, laksamana muslim asal Cina, pada abad ke-15. Peci disebut-sebut berasal dari dua kata Mandarin, Pe(delapan) dan Chi (energi), yang berarti alat yang bisa memancarkan energi ke delapan penjuru angin. Peci juga bisa mengacu pada fez, tutup kepala kaum nasionalis Turki, atau merujuk pada petje dari bahasa Belanda, yang berarti topi kecil.
Baca juga Perjalanan Panjang Kebaya
Untuk nama kopiah, orang Islam Indonesia mengacunya pada keffieh, kaffiyeh atau kufiya, kata dari bahasa Arab. Artinya, tutup kepala juga, tetapi bentuknya tak seperti peci atau songkok. Peci atau kopiah barangkali agak dekat dengan kepi dalam bahasa Perancis. Bentuk kepi yang biasa dipakai militer Perancis agak mirip dengan kopiah yang kita kenal di Indonesia. Bedanya, kepi lebih bulat dan ada semacam kanopi di bagian depannya yang mirip topi.
Kopiah yang tingginya antara enam hingga 14 cm itu sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Di sejumlah daerah, penggunaan kopiah lebih dari sekedar untuk pelengkap busana shalat. Di Pulau Madura, Jawa Timur, misalnya, kopiah menjadi busana yang kadang lebih penting dari baju. Mereka bisa menjalankan shalat tanpa baju, tapi tak bisa tanpa kopiah. Pasalnya, bagi mereka, kopiah dapat mencegah rambut tergerai ke dahi yang dapat membatalkan shalat.
Setiap hari, para lelaki Madura yang umumnya santri awam hampir tak pernah melepaskan diri dari kopiah. Bahkan, saat mencangkul di ladang pun mereka tetap berkopiah. Mencuci hewan ternak di sungai juga dilakukan dengan memakai kopiah. Para pemuda, santri, pelajar, dan anak-anak pergi ke madrasah atau ke mushalla dan masjid dengan berkopiah. Sementara para tokoh agama seperti kiai dan ustadz, sudah pasti mereka memakai kopiah. Tanpa kopiah, mereka merasa ada sesuatu yang kurang, seperti perempuan tanpa perhiasan.
Tak heran, Itu semua membuat produksi kopiah begitu berkembang. Pusat pembuatan songkok nasional bisa kita temui di Maka, di kelurahan Blandongan Gresik, Jawa Timur, pun terbentuk pusat pembuatan songkok nasional. Tak jelas siapa yang memulai, yang pasti sudah sejak lama warga di sana beramai-ramai memproduksi kopiah di rumah mereka. Setiap tahun, puluhan ribu kopiah dibuat di sana. Blandongan kini sudah berubah dari semula dikenal sebagai pusat reparasi kapal, menjadi salah satu sentra kerajinan songkok nasional.
Warga kampung Blandongan, yang di zaman penjajahan banyak bekerja sebagai penebang kayu (blandong), semula membuat kopiah dari bahan kain beludru hitam yang diisi kertas sebagai pengerasnya. Namun, Masalahnya, kopiah berbahan kertas ini mudah rusak jika terkena air. Baru pada 1986, dua perajin kopiah, H. Anwar Ilyas dan Abed Hakim alias Awing, mengatasi kelemahan itu dengan membuat inovasi songkok tanpa kertas, . Mereka mengganti bahan kertasnya dengan kain yang kaku dan keras.
Inovasi produksi songkok tadi, betapa pun sederhana, menjadi bagian penting dari upaya memperbaiki mutu kopiah. Dengan temuan itu, kopiah kini menjadi lebih awet dan tahan air, . meskipun Meskipun, harganya bisa lima kali lipat lebih mahal dari harga kopiah biasa karena bahan kain kaku harus diimpor. Dan memang terbukti, Lama-kelamaan, konsumen ternyata lebih suka membeli kopiah berkualitas tinggi walaupun harganya relatif mahal.
Seiring waktu, kopiah tak hanya tampil polos. Beragam modifikasi dengan menghadirkan motif melalui teknik bordir dan lainnya dilakoni si pembuat. Kopiah buatan Blandongan, misalnya, kini sudah mencakup 46 varian. Namun, secara umum jenisnya , secara umum cuma lima,hanya lima yakni songkok biasa, soga (songkok gaul atau songkok gambar), songkok bordir, songkok presiden, dan songkok mahar. Kelimanya dibedakan berdasarkan kualitas bahan bakunya, terutama beludru sebagai bahan utama. [AT]