Kassian Chepas, fotografer kenamaan Indonesia yang beragama Kristen, tampak berpeci dalam sebuah foto dirinya yang dibuat tahun pada 1905. Di musim kampanye, kopiah dipakai oleh sebagian besar mereka yang ingin menjadi calon kepala daerah, calon anggota dewan, atau calon lurah. Mereka menampilkan foto yang gagah mengenakan peci, tak peduli apa pun agama mereka. Rasanya diri lebih berwibawa sekaligus nasionalis ketika mereka menampilkan foto kampanye berkopiah. Dengan demikian, tampak jelas bahwa kopiah atau peci atau songkok yang awalnya menandakan identitas religius seseorang kini bertransformasi menjadi identitas kebangsaan.

Banyak Versi

Tentang perihal asal-muasal kopiah, itu banyak versinya. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia, menyebut bahwa, kopiah sudah dikenalkan oleh Sunan Giri, wali penyebar agama Islam di Jawa pada abad ke-14. Sementara Rozan Yuno dalam artikelnya, “The Origin of the Songkok or Kopiah” di The Brunei Times (23/09/2007), menyebutkan bahwa, pakaian ini diperkenalkan pada para pedagang Arab, yang juga menyebarkan agama Islam di Jawa.

Sumber lain menyebut, peci dibawa ke Indonesia oleh Ceng Ho, laksamana muslim asal Cina, pada abad ke-15. Peci disebut-sebut berasal dari dua kata Mandarin, Pe(delapan) dan Chi (energi), yang berarti alat yang bisa memancarkan energi ke delapan penjuru angin. Peci juga bisa mengacu pada fez, tutup kepala kaum nasionalis Turki, atau merujuk pada petje dari bahasa Belanda, yang berarti topi kecil.

Baca juga Perjalanan Panjang Kebaya

Untuk nama kopiah, orang Islam Indonesia mengacunya pada keffieh, kaffiyeh atau kufiya, kata dari bahasa Arab. Artinya, tutup kepala juga, tetapi bentuknya tak seperti peci atau songkok. Peci atau kopiah barangkali agak dekat dengan kepi dalam bahasa Perancis. Bentuk kepi yang biasa dipakai militer Perancis agak mirip dengan kopiah yang kita kenal di Indonesia. Bedanya, kepi lebih bulat dan ada semacam kanopi di bagian depannya yang mirip topi.

Kopiah yang tingginya antara enam hingga 14 cm itu sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Di sejumlah daerah, penggunaan kopiah lebih dari sekedar untuk pelengkap busana shalat. Di Pulau Madura, Jawa Timur, misalnya, kopiah menjadi busana yang kadang lebih penting dari baju. Mereka bisa menjalankan shalat tanpa baju, tapi tak bisa tanpa kopiah. Pasalnya, bagi mereka, kopiah dapat mencegah rambut tergerai ke dahi yang dapat membatalkan shalat.