Koran Sulindo – Penolakan terhadap vaksin sebagai game changer untuk Covid-19 sudah lama terjadi sebelum pernyataan anggota DPR dari PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning menjadi sorotan masyarakat. Benar bahwa Ribka merupakan anggota DPR pertama yang menolak untuk divaksin Covid-19.
Alasan Ribka antara lain karena vaksin Sinovac yang bekerja sama dengan BUMN Biofarma belum melewati uji klinis tahap ke-3. Alasan lainnya Ribka menilai risiko vaksinasi dan kekhawatiran akan vaksin yang diterima masyarakat tidak sama kualitasnya dengan vaksin yang disuntikkan ke Presiden Joko Widodo.
Lantas apa sesungguhnya yang menjadi masalah sehingga ada masyarakat yang menolak vaksinasi? Ada beberapa alasan yang memungkin itu terjadi. Pertama, sejak awal pemerintah memang terkesan menyepelekan wabah Covid-19. Beberapa kesan sepele itu tertangkap dari akun media sosial dan pernyataan para menteri Joko Widodo.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD, misalnya, pada Februari 2020 pernah menuliskan tweet di akun Twitter-nya seperti berikut: “Alhamdulillah 243 WNI yang pulang dari Wuhan…dinyatakan bersih dari Corona. Dalam kelakarnya, Menko Perekonomian Airlangga bilang “Karena perizinan di Indonesia berbelit-belit, maka virus Corona tak bisa masuk..”
Belakangan, tweet Mahfud ini kembali viral lantaran Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarti diketahui menjadi pendonor konvalesen. Kriteria utama pendonor adalah pernah kena Covid-19 dan Airlangga tidak pernah secara resmi mengumumkan dirinya pernah terinfeksi virus tersebut. Tindakan Airlangga itu dinilai tidak punya tanggung jawab moral dan membohongi publik.
Selain Mahfud, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada 17 Februari 2020 juga pernah melontarkan pernyataan yang kontroversial. Ia menyebut doa menjadi penyebab virus corona tak masuk ke Indonesia.
Kesan sepele itu lantas menimbulkan banyak dampak. Masyarakat pun menjadi tidak percaya akan adanya wabah Covid-19. Karena itu, wajar pula banyak masyarakat kemudian menolak vaksinasi Covid-19.
Kedua, sejak awal pemerintah memang tidak menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat tentang Covid-19 ini. Itu sebabnya, penanganan Covid-19 pada awal mewabah di Indonesia boleh dikatakan tidak ada perencanaan sama sekali. Masyarakat karena itu hingga saat ini percaya bahwa mereka yang terinfeksi Covid-19 hanya akan mengalami seperti flu pada umumnya.
Ketiga, khusus soal vaksinasi. Pemerintah lagi-lagi tidak menjelaskan secara terbuka dan jujur bagaimana sebenarnya vaksinasi itu bekerja. Padahal, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat ( CDC) cara kerja vaksin sesungguhnya mencegah penyakit yang bisa jadi
berbahaya, atau bahkan mematikan. Vaksin pada umumnya mengurangi risiko infeksi karena mengembangkan sistem kekebalan terhadap suatu penyakit.
Berdasarkan pengertian itu, kita menjadi tahu bahwa vaksin Covid-19 hanya mengurangi risiko infeksi bukan menghilangkan virus corona. Penjelasan seperti ini perlu disampaikan kepada masarakat agar masyarakat tetap disiplin dalam menjalan protokol kesehatan sampai wabah Covid-19 ini bisa dikendalikan.
Mengapa ini penting? Sebagai mantan penderita Covid-19, saya merasakan betul bahwa dampak virus ini jauh berbeda dan lain sama sekali dengan flu yang umum kita rasakan. Bisa dikatakan saya salah satu masyarakat yang menjadi “korban” dari informasi yang kurang lengkap tentang Covid-19 sehingga mengendorkan rasa waspada terhadap wabah virus ini. Saya awalnya menganggap bahwa gejala yang disebabkan Covid-19 ini sama dengan flu pada umumnya. Rupanya berbeda sama sekali.
Pengalaman
Mulanya pada 24 Desember 2020. Saya sejak pagi sudah merasakan kurang enak badan. Hanya ketika itu masih bisa saya tahan. Akan tetapi, bukan hanya saya, istri dan anak juga merasakan rasa sakit yang tidak bisa ditahan lagi. Mulai dari batuk, demam hingga flu. Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk ke dokter, sementara saya tidak.
Ketika istri dan anak berangkat ke rumah sakit, saya segera mengkonsumsi obat untuk meredakan meriang dan rasa sakit kepala. Untuk sementara obat itu manjur. Saya pun memilih untuk rebahan di sofa. Pada siang hari, saya memilih untuk mandi karena teringat janji untuk bertemu dengan teman. Setelah mandi, bukannya merasa lebih baik, saya justru merasa semakin lemas. Akhirnya janji bertemu itu pun batal.
Setelah berdiam diri di rumah selama 2 hari, pada 26 Desember 2020, saya memutuskan untuk ke dokter. Setelah menyampaikan keluhan, dokter menganjurkan untuk periksa darah. Saya mengikuti saran dokter. Setelah hasil tes darah keluar, dokter curiga karena trombosit saya turun jauh meski masih di atas batas normal. Dokter kemudian merekomendasikan agar saya mengikuti uji usap PCR.
Pada 28 Desember 2020, saya memutuskan untuk uji usap yang hanya berlangsung sekitar 15 menit. Hasilnya baru keluar dua hari kemudian dan hasilnya, saya dinyatakan positif. Selama dua hari menunggu hasil uji usap itu, kondisi saya memburuk: demam tinggi; sakit kepala kian menjadi-jadi; dan rasa mual yang tinggi. Saya merasakan lambung seperti diremas-remas. Nggak keruan rasanya.
Setelah hasil uji usap positif, saya langsung bergegas untuk berkonsultasi dengan dokter. Rupanya di beberapa rumah sakit, orang yang terinfeksi Covid-19 harus melalui instalasi khusus pasien Covid-19. Saya lalu ikut mengantre di situ sampai dipanggil oleh perawat. Setelah bertemu dokter, saya disarankan untuk diisolasi di rumah sakit karena gejala yang saya alami termasuk kategori sedang. Saya menurut saja apa yang dikatakan dokter.
Dan sejak 30 Desember 2020, saya resmi menjadi pasien Covid-19. Saya merasakan isolasi selama tujuh hari di rumah sakit. Dalam satu ruangan saya berdua dengan pasien yang juga berstatus positif Covid-19. Tidak banyak kisah yang bisa diceritakan selama berada di ruang isolasi pasien Covid-19. Karena memang benar-benar terpisah dan tertutup dari pasien lainnya.
Hari demi hari saya lebih banyak menjalaninya di tempat tidur. Menunggu hari berganti. Pagi subuh diperiksa, lalu pemeriksaan siang dan kemudian malam. Selalu begitu setiap hari. Jika malam sudah tiba, suasananya begitu sepi. Hanya ada dinding, tirai pembatas dengan pasien sebelah dan langit-langit berwarna putih di ruangan itu.
Ditambah lagi saya pernah dua hari tanpa teman (pasien Covid-19) di ruangan itu. Benar-benar sendiri. Untuk menonton dan melihat gawai juga tidak punya semangat. Bahkan rasanya mual untuk membaca dan menonton. Selama tujuh hari itu, saya benar-benar berjuang melewati masa kritis sebagai penderita Covid-19.
Pada hari ke-10 sejak saya merasakan gejala, demam yang saya rasakan mulai turun, hanya sekitar 38 derajat. Padahal, beberapa hari sebelumnya saya pernah merasakan demam hingga 40,1 derajat. Pada hari ke-11sejak gejala yang saya rasakan, suhu tubuh saya benar-benar stabil berkisar 36 hingga 37 derajat. Setelah hari ke-11, kondisi saya juga semakin pulih. Semua gejala yang saya rasakan di awal hilang semua. Nafsu makan sudah muncul. Pun rasa ingin bergerak. Tapi karena di ruang isolasi, saya tak bisa bergerak banyak.
Ada cerita lain soal pasien Covid-19 ini. Pada hari ke-3 di ruang isolasi, saya mendapat “teman” baru. Masih sekitar 40-an. Perawakannya tinggi dan rambutnya pendek. Umurnya tidak jauh berbeda dengan saya. Ketika ia masuk, pasien baru ini masih tampak segar. Saya bertanya tentang dirinya. Ia mengaku bekerja di sebuah perusahaan IT. Saya juga bertanya soal gejala yang dialaminya. Hanya demam. Dan saya juga mendapat kesan demikian dari kondisinya itu. Ia baru mengalami gejala sejak 28 Desember 2020.
Berselang dua hari, kondisi “teman” baru ini justru kian memburuk. Batuknya luar biasa. Ia bahkan sudah harus menggunakan oksigen. Sesak, katanya. Ia bertanya kepada saya apakah merasakan gejala yang sama seperti yang dirasakannya itu. Saya menjawab “tidak.” Sejak awal gejala yang saya rasakan memang hanya demam, mual dan sakit kepala. Selebihnya tidak ada. Termasuk soal batuk, flu dan kehilangan penciuman.
Selain batuk dan rasa sesak itu, “teman” baru saya itu juga mengalami demam hingga 40,1 derajat. Persis seperti yang saya alami. Harapannya setelah melewati masa kritis, kondisinya akan kembali pulih seperti yang saya rasakan. Akan tetapi, batuknya yang luar biasa justru membuat saya cemas karena konidisi saya mulai pulih justru kini berteman dengan pasien baru yang sedang dalam kondisi yang parah.
Dari situ pula saya menganalisis bahwa flu yang diakibatkan Covid-19 ini memang berbeda dari flu yang selama ini kita rasakan. Buktinya “teman” baru saya itu yang awalnya hanya demam, hanya berselang beberapa hari mulai mengalami gejala lainnya termasuk sesak napas. Flu yang kita alami selama ini tidak akan membuat kita seperti itu bukan?
Pada hari ke-11, dokter mengunjungi kami di ruangan itu. Awalnya memeriksa “teman” baru itu. Dan setelahnya baru saya. Dokter mengatakan, kondisi saya secara umum sudah bagus hanya hasil uji usapnya masih positif. Dan itu bukan menjadi kendala untuk bisa isolasi mandiri di rumah. Saya menyetujui sara dokter dan kemudian saya pulang dengan keadaan masih positif yang mendapat rekomendasi untuk isolasi mandiri di rumah. Tentu saja dengan protokol kesehatan yang ketat.
Setelah melewati lebih dari seminggu di rumah, saya kembali mendapatkan jadwal tes usap lagi. Hasil dari tes usap itu saya dinyatakan negatif. Lantas apa yang bisa dipetik dari pengalaman saya ini? Pertama, gejala Covid-19 rupanya tidak tunggal. Kedua, masa kritis Covid-19 itu memang panjang sehingga penyakit ini tidak bisa dianggap enteng seperti flu biasa walau kita tidak perlu khawatir berlebihan. Tapi, harus tetap waspada. Ketiga, dampak Covid-19 setelah dinyatakan negatif. Sebagian menyebutnya sebagai long Covid-19 syndrome.
Terakhir, saya berpikir untuk mencegah penyebaran Covid-19, kampanye menjalankan protokol kesehatan secara disiplin harus dilakukan secara masif. Juga menjaga jarak dan tidak berkerumun sangat perlu dilaksanakan. Hanya demikian penyebaran Covid-19 ini bisa dicegah, bahkan ketika vaksinasi sudah dilakukan, protokol kesehatan ini masih tetap perlu dilakukan secara disiplin. Dari pengalaman saya ini, semoga bisa memberi manfaat kepada masyarakat. [Kristian Ginting]