Kontroversi Kisah Jan Pieterszoon Coen dan Pembantaian di Banda

Jan Pieterszoon Coen (foto: wikipedia)

Jan Pieterszoon Coen bukan nama yang asing tentunya. Ia adalah seorang Gubernur Jenderal wilayah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang keempat dan keenam. Pada masa jabatan pertamanya ia memerintah pada tahun 1619 sampai 1623 sedang masa jabatan kedua berlangsung dari 1627 hingga 1629.

Coen lahir di Hoorn, Noord Holland kemungkinan di penghujung tahun 1586. Pada tahun 1607, diumur 21 ia mendaftar untuk bekerja di VOC, dan tanggal 22 Desember pada tahun yang sama ia berangkat ke Hindia Timur di bawah armada Pieter Willemszoon Verhoeff.

Pada tahun 1609, Verhoeff terbunuh di Banda-Maluku, setelah terlibat perselisihan dengan penguasa lokal. Coen pada waktu itu yang bertugas sebagai juru tulis berhasil menyelamatkan diri dan kembali ke Belanda, ia kemudian menceritakan pengalamannya kepada para petinggi VOC.

12 Mei 1612, Coen kembali ke Hindia Timur dengan memimpin armadanya sendiri dan mendarat di Banten pada tanggal 9 Februari 1613. Lima tahun sesudahnya di tanggal 18 April 1618, ia diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC meskipun pengangkatan tersebut baru disahkan setahun kemudian.

Seusai menaklukkan Jayakarta, rencana Coen berikutnya adalah memonopoli pembelian pala di Banda. Namun sayang langkah-langkah yang dilakukan untuk monopoli dilakukan dengan brutal. Coen memaksa petani di Banda untuk menjual hasil palanya hanya kepada Kompeni.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa alasan pemaksaan petani di Banda adalah karena sistem pemerintahan di sana tidak seperti di Jawa. Jumlah desa di Banda saat itu ada 40 desa dan memiliki hak sendiri untuk menjual hasil pala kepada siapa saja. Coen merasa sulit mengatur, walaupun ada beberapa desa yang bersedia menjual, namun ada juga desa yang tidak bersedia. Maka satu-satunya cara Coen untuk memonopoli, adalah dengan memaksa dan membantai penduduk Banda.

Ditambah pula dengan pengalaman pribadi Coen saat mendampingi Laksamana Verhoeff yang berujung pada pembantaian puluhan orang Belanda oleh masyarakat Banda, membuatnya tambah bertekad untuk membalas dendam.

Maka dengan niatnya itu pada tahun 1621, J.P. Coen memimpin langsung armadanya yang terdiri dari 13 kapal angkut dan beberapa kapal pengintai ke Banda.  Dengan membawa paling tidak 1.600 tentara, 300 narapidana dari Jawa, 100 orang ronin (samurai bayaran dari Jepang) serta 285 orang budak.

Pasukan J.P Coen pun menghabisi hampir semua penduduk di Kepulauan Banda yang pada saat itu berjumlah sekitar 15 ribu orang. Diperkirakan kurang dari 1.000 orang yang selamat dari pembantaian tersebut.

Kematian Coen Awal Kontroversi

Kontroversi atas Coen sebenarnya dimulai pada kematiannya. Jan Pieterszoon Coen meninggal di Batavia pada tanggal 21 September 1629, ada dua versi menyangkut sebab kematiannya. Menurut versi pihak Belanda, Coen meninggal karena kolera, sedangkan versi lainnya meyakini bahwa kematian Coen akibat serangan bala tentara Sultan Agung dari Mataram. Berangkat dari kedua versi ini kemudian diyakini bahwa Coen meninggal karena terjangkit wabah kolera yang sengaja disebarkan oleh pasukan Mataram di Sungai Ciliwung setelah peristiwa Serangan Besar di Batavia tahun 1628.

“Coen meninggal akibat senjata balatentara Mataram. Kemudian kepalanya dibawa ke Mataram, dan dikuburkan di tangga Imogiri, makam raja-raja kesultanan Mataram. Ini simbol, bila orang hendak ke pemakaman itu terlebih dulu seakan-akan menginjak kepala Coen,” menurut catatan Alwi Shahab dalam Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2001).

Kebetulan, memang ada anak tangga berupa batu dan itu dipercayai oleh sebagian orang sebagai makam Coen. Walalupun sumber versi Belanda tidak mempercayainya. Memang pada tahun 1939, pernah diadakan penggalian makam Coen di Batavia yang sudah tiga abad sebelumnya mati, namun tidak ditemukan apapun. Maka mitos Coen dibunuh dan dikubur di tangga Imogiri oleh tentara Mataram pun semakin kuat berhembus.

Patung Sang Gubernur Jenderal

Untuk mengenang Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen, pemerintah kolonial Belanda mendirikan sebuah monumen atas pendiri Kota Batavia itu, bertepatan dengan 250 tahun usia kota Batavia.

Patung Coen yang dibangun di Lapangan Banteng atau Waterlooplein setinggi 4.1 meter berdiri dengan angkuhnya sambil menunjuk dengan jari telunjuknya bersama mottonya yang terkenal: Dispereert Niet (pantang berputus asa). Walaupun akhirnya dibongkar oleh Jepang pada siang hari tanggal 7 Maret 1943, setahun kurang sehari setelah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang.

Bahkan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen mendapat status sebagai pahlawan nasional Belanda pada akhir abad ke-19, lengkap dengan dibuatkan patung di kota kelahirannya, Hoorn, sekitar 51 kilometer sebelah utara Amsterdam.

Pembuatan patung untuk Coen di Belanda tersebut bukan tanpa kontroversi. Menurut para penentangnya, Coen dengan politik dagangnya yang penuh kekerasan di Kepulauan Nusantara tidak layak mendapat penghormatan.

Di Belanda, patung J.P. Coen di kota kelahirannya sudah diprotes sejak lama. Patung itu melambangkan penghormatan terhadap seorang pembantai terbesar dalam sejarah Belanda. Begitu pendapat Eric van de Beek, pemrakarsa Burgerinitiatief atau Prakarsa Warga yang ingin patung itu dipindahkan dari Alun-alun Hoorn ke museum. Sebagaimana dilaporkan Radio Nederland, Jumat 29 Juli 2011.

Setelah terjadi perdebatan sengit, Dewan Kotapraja Hoorn, Negeri Belanda, akhirnya mengambil keputusan; tidak menyebutkan aksi genosida oleh mendiang Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen di Kepulauan Banda. Keputusan tersebut diambil oleh Dewan Kotapraja Hoorn, kota kelahiran Jan Pieterszoon Coen, dalam sidangnya pada Selasa malam atau Rabu 14 Maret 2012 WIB.

Sebagian masyarakat Belanda di kota Hoorn menggugat teks pada patung Gubernur Jenderal VOC itu. Teks dinilai tidak menggambarkan siapa sebenarnya Coen, orang yang bertanggung jawab membantai habis ribuan rakyat Banda dan hal itu dinilai sebagai hal yang memalukan.

“Fakta bahwa rakyat Banda dibantai habis itu telah dibenarkan oleh 9 sejarawan Belanda terkemuka yang telah kami mintai konsultasi. Tak seorang pun pejabat Kotapraja meminta maaf pada masyarakat Banda. Suatu masyarakat yang kini tiada, karena telah dibantai habis dari muka bumi oleh Coen. Dalam teks yang telah disetujui Dewan pun tidak ada keterangan bahwa Gubernur Jenderal Coen telah membasmi habis rakyat Kepulauan Banda.” ujar Eric van de Beek dari Burgerinitiatief.

Pejabat Kotapraja Peter Westenberg dalam sidang komisi di Dewan menyatakan secara sadar menghindari terminologi ‘pembantaian etnik’ dan ‘genosida’, karena ia tidak mau menghukumi secara moral sepak terjang Coen. Semua parpol mendukung usulan ini, kecuali Partai Sosialis (SP).

“Hoorn dengan itu mengingkari genosida. Satu-satunya harapan kami pada pemerintah Kotapraja Hoorn adalah agar menyebutkan apa adanya sesuai fakta. Bahwa hal itu tidak dilakukan, sungguh memalukan untuk Hoorn dan seluruh Negeri Belanda. Hoorn melakukan apa yang dituduhkan pada Turki tentang genosida di Armenia”, kecam Van de Beek.  “Bukankah Mahkamah Internasional ada di Den Haag. Jadi Belanda seharusnya menjadi negeri teladan dalam hal ini”, demikian Eric van de Beek. [NoE]

Baca juga: