Koran Sulindo – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menyatakan, 10 program kerja Kepala Kepolisian RI Tito Karnavian dalam 100 hari hanya omong kosong. Pernyataan Kontras ini buntut dari pengepungan asrama mahasiswa Papua oleh aparat Kepolisian Daerah Yogyakarta pada 15 Juli lalu.
Peristiwa pengepungan tersebut dilakukan bersama dengan anggota organisasi kemasyarakatan intoleran dan hanya berselang beberapa hari setelah Tito dilantik sebagai Kapolri. Ada 10 program prioritas yang ditetapkan Tito dalam waktu 100 hari kerjanya sebagai Kapolri.
Program itu antara lain pemantapan reformasi internal Polri; peningkatan profesional polri menuju keunggulan; dan penegakan hukum yang lebih profesional dan berkeadilan. “Pemblokadean asrama mahasiswa Papua itu adalah kegagalan dan hanya omong kosong,” kata Koordinator Kontras Haris Azhar melalui keterangan resmi di Jakarta, Senin [18/7].
Haris bercerita, berdasarkan informasi yang diperolehnya, pada 15 Juli lalu aparat kepolisian melarang aksi damai yang dilakukan Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB). Aksi itu rencananya dengan berjalan kaki dari asrama mahasiswa Papua menuju Titik Nol KM, Yogyakarta.
Setelah melarang aksi itu, polisi bersama dengan anggota ormas intoleran justru mengepung asrama mahasiswa Papua. Aksi PRPPB disebut makar dan berbahaya. Akibatnya, beberapa warga sipil yang berada di asrama terjebak dan tidak dapat beraktivitas. Bahkan warga sipil yang memberi simpati kepada mahasiswa Papua pun tidak lepas dari aksi intimidasi, dihadang dan ditangkap.
Mereka sempat mengalami tindak kekerasan disertai dengan kata-kata bernada diskriminatif baik dari aparat maupun kelompok-kelompok intoleran itu. Polisi juga sempat menembakkan gas air mata ke dalam asrama mahasiswa Papua, padahal sama sekali tidak ada tindakan berbahaya yang dilakukan para mahasiswa itu.
Aparat juga melarang warga sipil yang berada di sekitar asrama untuk bersolidaritas terjadap para mahasiswa. Terlebih pemblokadean dan pengepungan itu berlangsung hingga keesokan harinya.
Tindakan brutal ini, kata Haris, jelas bertentangan dengan UUD 1945, Undang Undang Hak Asasi Manusia, UU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan UU tentang Mengemukakan Pendapat di Muka Umum. Fakta ini menunjukkan bahwa sikap diskriminatif, represif masih umum terjadi yang dilakukan oleh aparat keamanan.
Peristiwa ini, terutama di awal kepemimpinan Tito Karnavian, menunjukkan bahwa 10 program prioritas yang diusungnya hanya omong kosong. Situasi di Papua serta sudut pandang aktor-aktor keamanan terhadap rakyat Papua tidak akan jauh berbeda dengan situasi sebelumnya. Tidakan diskriminasi dan represif akan terus berulang. Terlebih di masa Tito sebagai Kapolda Papua dan Kapolda Metro Jaya hak-hak berekspresi rakyat Papua cukup tinggi dan penanganannya juga kerap represif. [Kristian Ginting]