Peringatan 12 Tahun Tragedi Lumpur Panas Lapindo di Porong, Sidoarjo, 29 Mei 2018. Foto: Antara

Koran Sulindo – Lama tak terdengar beritanya, nama perusahaan Lapindo Brantas muncul lagi ke ruang publik. Ternyata, pada Jumat ini (3/8), PT Lapindo Brantas Inc. menandatangani perpanjangan kontrak dengan pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Kontrak Lapindo untuk mengelola Blok Brantas di Jawa Timur diperpanjang hingga tahun 2040. Kontraknya menggunakan sistem bagi hasil gross split.

Lapindo adalah pemilik saham terbesar dari konsorsium yang diberi hak oleh pemerintah untuk mengelola blok tersebut. Lapindo memiliki 50% saham, sementara PT Prakarsa Brantas 32% dan PT Minarak Brantas 18%.

Penandatanganan perpanjangan kontrak tersebut sebelumnya didahului oleh penandatanganan tiga kontrak Wilayah Kerja (WK) Minyak dan Gas Bumi (Migas) terminasi lain yang berakhir kontraknya pada 2020, yakni WK Malacca Straits, Salawati, dan Kepala Burung Blok A, 11 Juli 2018 lalu.

“Selamat, kami hari ini menandatangani WK Brantas, salah satu dari 6 WK yang akan berakhir 2020,” ujar Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial seusai penandatanganan di kantornya, Jakarta, Jumat (3/8).

Dari perpanjangan kontrak bagi hasil WK Brantas, pemerintah menerima total bonus tanda tangan (signature bonus) sebesar US$ 1 juta atau setara Rp 13,4 miliar, dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menggunakan asumsi dalam APBN 2018, Rp 13.400.  Adapun perkiraan total nilai investasi dari pelaksanaan komitmen kerja pasti lima tahun pertama sebesar US$ 115,5 juta.

Menurut Ego, penandatanganan kontrak kerja sama itu akan membuat operator meningkatkan produksi. “Kenapa WK yang akan berakhir ini namun diproses 2 tahun sebelum berakhir? Ini untuk memberikan kepastian dan ruang fleksibel bagi investor. Perpanjangan ini tujuannya menjaga produksi tidak turun, bahkan bisa naik,” katanya.

Ditambahkan Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto, nantinya 10% participation interest (PI) yang dimiliki kontraktor WK Brantas akan ditawarkan secara proporsional kepada Badan Usaha Milik Daerah setempat. “Itu PI-nya nanti sharing ke daerah 10 persen. Jangka waktu kontrak 20 tahun, terhitung sejak tanggal efektif,” ujar Djoko.

Seperti tertera dalam kontrak perjanjian, pemerintah akan mendapatkan 53% minyak dan 48% gas. Akan halnya bagian untuk kontraktor adalah 47% untuk minyak dan 42% untuk gas. Untuk domestic market obligation (DMO)-nya nanti sebesar 25% dari bagian kontraktor.

Djoko Siswanto juga mengatakan, sebelum memperpanjang kontrak kerja sama itu, pemerintah mempelajari betul proposal yang diajukan konsorsium Lapindo dalam mengelola WK Brantas. Kementerian ESDM, kata Djoko lagi, serius mengecek kesiapan Lapindo agar bencana Lumpur Sidoarjo 13 tahun lalu tak terjadi lagi.

“Berdasarkan pengalaman Lapindo itu, pemerintah mempelajari betul proposal kegiatan dan kami turun langsung supaya kejadian itu tidak terulang,” kata Djoko.

Pihak Lapindo menjelaskan, untuk meningkatkan keamanan Blok Brantas, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) telah memand mereka langsung. Pihak SKK memberikan standard prosedur operasional (SOP) dalam pengeboran migas. Prosedur itu telah diikuti, agar semburan lumpur panas tak lagi terjadi.

“Sudah dipandu SKK Migas, SOP-nya segala macam, semuanya sudah dikondisikan oleh SKK Migas dan kami ikuti apa yang mereka syaratkan,” kata Presiden Direktur Lapindo Brantas Inc., Faruq Adi Nugroho.

Ada enam sumur di WK Brantas, lanjutnya, dengan kapasitas produksi gas 25 million standard cubic feet per day (MMSCFD). Hingga, saat ini, pihak konsorsium kontraktor telah mengeluarkan dana hingga Rp 1 triliun untuk mengeksplorasi blok tersebut.

Untuk penjualan hasil produksi gas, pengelola menjual ke pemerintah, baik ke Pertamina, PGN, maupun Pertagas. Bahkan, untuk wilayah Jawa Timur, gas dijual langsung ke masyarakat melalui jaringan gas (jargas). “Kami juga untuk masyarakat. Di Jawa Timur, kami ada jargas, yang telah melayani 12 ribu keluarga, mungkin yang efektif sekarang ini baru 10 ribu keluarga,” ungkap Faruq.

Terkait bencana lumpur panas, yang dikenal sebagai Lumpur Panas Lapindo, sejumlah warga Sidoarjo yang menjadi korban bencana itu pada 29 Mei 2018 lalu memperingat 12 tahun tragedi tersebut. Mereka menyeru ke pemerintah agar kasus Lapindo segera dituntaskan, khususnya yang terkait dampaknya terhadap masalah kesehatan.

Yang juga terlibat dalam peringatan itu adalah aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Menurut data Walhi, hingga kini masih ada 244 berkas yang belum jelas pembayaran ganti ruginya terkait bencana dari pengeboran itu, yang nilainya mencapai Rp 54,33 miliar. [PUR]