Ilustrasi/setkab.go.id

Koran Sulindo – Tekanan dolar Amerika Serikat (AS) baru-baru ini rupanya menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Berbeda dengan akhir 2016, kali ini Jokowi berkomentar bahwa pelemahan rupiah terhadap dolar AS disebabkan faktor eksternal. Dan buktinya: mata uang negara lain juga tersungkur ketika berhadap dengan dolar.

Faktor eksternal yang dimaksud Jokowi antara lain kenaikan suku bunga di AS, perang dagang AS dan Tiongkok dan berkaitan dengan krisis nilai mata uang di Turki dan Argentina. Ia bersama dengan pihak terkait akan mewaspadai gempuran dolar itu. Termasuk menjaga ekonomi dalam negeri.

Presiden Jokowi juga akan berkoordinasi di sektor fiskal, moneter, industri dan pelaku usaha. Koordinasi yang kuat menjadi kunci agar semuanya berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Fokus utama pemerintah dalam jangka pendek adalah mengurangi defisit transaksi berjalan. Juga dengan meningkatkan investasi agar fondasi ekonomi menjadi kuat.

Pernyataan Jokowi kali ini berkebalikan dengan yang pernah disampaikannya pada 2016. Ketika itu, ketika rupiah melemah terhadap dolar, ia menyebutkan itu bukan menjadi kekhawatiran besar. Dalam acara “Sarasehan 100 Ekonom” yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), dolar AS, kata Jokowi, tidak bisa lagi menjadi patokan nilai tukar rupiah untuk mengukur ekonomi Indonesia.

Ia meminta agar masyarakat juga mengukur nilai tukar rupiah dengan mata uang negara lain, seperti yuan renminbi — mata uang Tiongkok. Jokowi beralasan bahwa dolar tidak lagi menjadi tolok ukur yang tepat, antara lain, karena ekspor Indonesia ke Amerika Serikat saat ini tinggal 10 persen.

Sementara kebijakan ekonomi Amerika Serikat di bawah Trump penuh ketidakpastian. Dengan demikian, nilai tukar rupiah terhadap dolar kian tidak mencerminkan dasar ekonomi Indonesia. Namun, hanya menggambarkan kebijakan ekonomi Amerika Serikat yang berjalan sendiri.

Masyarakat dan dunia usaha, kata Jokowi, mulai perlu mengukur Indonesia dengan mitra dagang terbesarnya. Yang disebut sebut sebagai mitra dagang terbesar Indonesia tak lain adalah Tiongkok. Presiden menyebut total ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai 15 persen. Sedangkan untuk Eropa 11,4 persen, dan Jepang 10,7 persen.

Itu sebabnya, nilai tukar rupiah semestinya lebih relevan dengan yuan renminbi. Pernyataan Jokowi ini sempat membetot perhatian kalangan dunia usaha dan ekonom. Apalagi pernyataan tersebut tanpa penjelasan memadai. Dan faktanya neraca perdagangan dengan Tiongkok, justru Indonesia mengalami defisit. Data BPS menyebutkan dalam 5 tahun terakhir perdagangan Indonesia dan Tiongkok selalu mengalami defisit. Indonesia masih kesulitan menembus pasar Tiongkok

Fakta yang lain menyebutkan, cadangan devisa negara-negara dunia 63 persen menggunakan dolar. Lalu, transaksi perdagangan global setiap harinya hampir 88 persen menggunakan dolar. Juga perdagangan minyak, emas dan perdagangan komoditas, umumnya menggunakan dolar AS. Sejak krisis ekonomi menghantam Yunani pada 2011, euro belum menjadi saingan serius bagi dolar AS.

Cadangan devisa dalam bentuk euro di dunia ini hanya 20 persen. Ekonom Rusia, Valentin Katasonov dalam War and the Dollar pada 2015 menyebutkan, kendati kontribusi perekonomian Tiongkok untuk PDB dunia melampaui AS yang mencapai 20 persen dalam PDB dunia, penggunaan yuan di pasaran dunia hanya 2,2 persen pada April 2013. Meski tidak ada data yang mencatat jumlah pasti tentang seberapa banyak cadangan devisa dunia disimpan dalam bentuk yuan. Para pakar, kata Katasonov, memperkirakan tidak lebih dari 1 persen. Merujuk kepada fakta ini mengapa Jokowi bilang dolar tidak perlu menjadi rujukan? [KRG]