Koran Sulindo – Kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) terus bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) DKI Jakarta meski diwarnai berbagai keganjilan sejak awal. Tidak hanya dengan terdakwa saat ini tetapi sejak 6 terdakwa yang kini telah divonis dari belasan tahun hingga seumur hidup.
Mereka adalah Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo, Syahmirwan, Joko Hartono Tirto, Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro. Keenamnya masih pula terus berjuang untuk mendapatkan keadialan atas diri mereka, apalagi proses hukum yang menjerat mereka dinilai tidak adil.
Kesaksian mereka pada pertengahan Juni 2021 di Pengadilan Tipikor Jakarta kembali menarik perhatian publik. Selain keterangan yang mereka sampaikan, jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan RI tidak dapat menunjukkan bukti tentang korupsi yang melibatkan mantan jajaran direksi Jiwasraya dan para swasta seperti Benny Tjokro, Heru Hidayat dan Joko Tirto.
Dalam kesaksian Hendrisman dengan terdakwa Piter Rasiman (pihak yang mengatur dan mengendalikan lawan transaksi atau counterparty dalam pengelolaan instrumen investasi saham dan reksa dana dari Jiwasraya), misalnya, mengatakan, perseroan telah melakukan kebijakan investasi saham sebelum menjabat sebagai Direktur Utama Jiwasraya periode 2008 hingga 2018. Termasuk investasi di luar saham LQ45.
“Ya boleh saja pak, karena sudah di analisa Divisi Investasi yang sudah dirapatkan di Komite Investasi secara berjenjang,” kata Hendrisman menjawab pertanyaan dari JPU.
Pembelian saham di luar LQ45 waktu itu, kata Hendrisman, karena kondisi Jiwasraya sudah tidak solvabilitas lagi. Jiwasraya kekurangan dana Rp 6,7 triliun, dan harusnya ada kewajiban pemerintah untuk menambah dana tersebut.
“Tapi, waktu itu pemerintah tidak punya uang, dan meminta kita untuk tetap menjalankan perusahaan ini supaya bisa survive tanpa melanggar undang undang (UU), sehingga kita lakukan supaya perusahaan bisa survive tentu yang sudah disetujui para pemegang saham,” kata Hendrisman.
Menurut Hendrisman, prinsip berinvestasi saham itu high risk high return sehingga apabila kebijakan berinvestasi saham itu tidak dilakukan, maka perusahaan akan bangkrut lebih cepat. Setelah investasi tersebut berdasarkan laporan keuangan Jiwasraya setiap tahunnya menguntungkan perusahaan.
“Dari laporan keuangan yang setiap tahunnya saya terima memang ada naik turunnya tapi menguntungkan uang pak, kalau nggak ada uang darimana bayar klaim pak. Uangnya pun ada dalam rekening Jiwasraya,” ujar Hendrisman.
Sementara fakta lainnya, kegagalan JPU menunjukkan bukti transfer atau aliran dana antara Heru Hidayat dan Benny Tjokro. JPU diketahui hanya mengajukan bukti adanya email permintaan dana, namun tidak dapat memberikan bukti transfer.
“Email tersebut berisi tentang permintaan transfer uang. Pak Piter minta karena butuh uang, mau pinjam saya. Tapi praktiknya tidak pernah terjadi. Intinya, email tersebut kan baru permintaan tapi tidak pernah terjadi. Buktinya Pak Benny kan juga sudah membantah, mohon JPU dapat menghadirkan bukti transfernya,” kata Heru.
Soal ini JPU hanya menjawab “Izin majelis, kami hanya menemukan data itu saja (email),” kata JPU.
Soal fakta ini, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar menyebut seharusnya kasus ini dihentikan. Apalagi dasar pengajuan perkara minimal dua alat bukti untuk menunjukkan terjadinya tindak pidana korupsi.
Alat bukti itu, kata Fickar, keterangan saksi, alat bukti surat, keterangan ahli dan/atau keterangan tersangka. “Artinya jika hanya ada satu laporan saksi saja tanpa didukung alat bukti lainnya maka penyidikan tidak dapat diteruskan,” kata Fickar pada Juni 2021.
Email, kata Fickar, tentu saja bisa dijadikan alat buktiasal ada konfirmasi pembayaran atau transfer lebih dari satu orang.
Sementara analis senior CSA Research Institute, Reza Priyambada menyebut, pihak yang tidak mengerti dunia investasi pasti menganggap seolah-olah bahwa investasi di surat berharga itu berutang dan jika hasilnya tidak memuaskan, maka banyak pelanggaran.
“Padahal kan kalau melihat seperti itu apapun namanya transaksi pasti ada potensi pelanggaran. Tapi, jangan dianggap bahwa yang namanya transaksi atau investasi itu melanggar. Jadi tidak bisa serta merta kita katakan berinvestasi di surat berharga atau saham itu melanggar hukum. Karena kan yang namanya investasi tidak melanggar hukum, sepanjang berinvestasi sesuai dengan koridornya,” kata Reza.
Dalam pengelolaan dana, kata Reza, ada yang namanya standar operasional prosedur. Kejaksaan seharusnya melihat hal itu dalam hal investasi. Jika penanganan kasus ini disamaratakan, maka yang ada investor jadi takut untuk berinvestasi.
Begitupun dengan proses penyitaan aset yang tak terkait perkara, Reza khawatir, akan mempengaruhi presentase buruk juga buat investor ke depannya. “Kayak tadi misalkan, anggaplah perusahaan A terindikasi terlibat dalam penyelewengan dana Jiwasraya. Nah orang kan jadi takut untuk buka rekening atau beli produk Reksadananya di manager investasi A ini. Padahal perusahaannya itu nggak ada masalah, jadi pelaku pasar akan khawatir dan takut untuk berinvestasi,” kata Reza.
Sebelum kejanggalan kasus tersebut diungkap hakim, Benny Tjokro dalam pledoi pribadinya telah menyampaikan bahwa kasus Jiwasraya ini sarat dengan konspirasi. Soal Wanaartha Life, misalnya, Benny Tjokro memastikan tidak pernah meminjam nama (nominee) Wanaartha Life dan bukan menjadi pemiliknya.
“Hanya karena Wanaartha punya portofolio saham grup PT Hanson International Tbk (MYRX) lalu dianggap nominee adalah salah besar. Tuduhan ini telah merusak dan menghancurkan sistem kepercayaan,” kata Benny Tjokro dalam surat pembelaannya pada Oktober tahun lalu.
Wanaartha Life masuk dalam pusaran kasus korupsi Jiwasraya lantaran dinilai terlibat dengan Benny Tjokro. Padahal, Benny Tjokro tidak pernah tahu bahwa Wanaartha bertransaksi saham MYRX dengan Jiwasraya.
Dalam keterangan berita acara pemeriksaan (BAP) Benny Tjokro disebutkan MYRX pernah menjual saham ke Wanaartha, Asabri, Tabung Haji Malaysia, fund manager dan lain sebagainya. Selain MYRX, Wanaartha juga membeli saham PT Rimo International Lestari Tbk (RIMO).
Berdasarkan data yang dimiliki Kejaksaan Agung, penyidik menunjukkan kepada Benny Tjokro data transaksi efek untuk saham MYRX. Dari data transaksi itu, Wanaartha tercatat 2 kali melakukan transaksi penjualan saham MYRX kepada Jiwasraya sebagai pembeli. Transaksi itu dilakukan pada 15 Desember 2016 dan 26 April 2017. Tiap-tiap transaksi sekitar Rp 175 juta dan Rp 69 juta.
“Terbukti pemegang saham publiknya ada lebih dari 8.000 individu. Ya kalau pun ada Wanaartha Life, apa ada larangan perusahaan asuransi beli saham?” kata Benny Tjokro yang diwakili kuasa hukumnya Muchtar Arifin pada Juli lalu.
Karena transaksi itulah, rekening efek Wanaartha disita Kejaksaan Agung. Berawal dari ketika nasabah tidak bisa mencairkan polisnya yang telah jatuh tempo sekitar 12 Februari 2020. Manajemen WanaArtha juga mengaku terkejut atas hal itu.
Lewat sebuah surat yang ditandatangani Presiden Direktur Wanaartha Life, Yanes Y. Matulatuwa, disebutkan pada 21 Januari lalu, manajemen mendapatkan informasi secara informal yang menyatakan bahwa ada perintah pemblokiran atas rekening efek milik perusahaan dari pihak yang berwenang.
“Pihak manajemen perusahaan sangat terkejut dengan berita tersebut, karena manajemen perusahaan tidak pernah mendapatkan informasi resmi baik lisan dan/atau tertulis dari pihak-pihak yang berwenang atas kejadian pemblokiran rekening efek tersebut,” tulis Yanes dalam surat itu.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut dan selama persidangan, menurut Benny Tjokro, tidak ada satu saksi dan bukti yang bisa menghubungkan dirinya dengan Wanaartha. Tetapi, dalam surat tuntutan jaksa penuntut umum justru menyebut Benny Tjokro terkait dengan Wanaartha.
“Ini menunjukkan bahwa JPU memanipulasi fakta dengan serangkaian kebohongan dan itikad buruk yang mengatasnamakan hukum untuk mengkriminalisasikan diri saya,” tulis Benny Tjokro.
Konspirasi
Setelah merenungkan semua itu, Benny Tjokro menilai, awal perkara ini muncul bermula dari laporan audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di mana salah satu auditornya diperintahkan untuk menghubungkan dirinya dengan salah satu terdakwa lainnya dalam kasus tersebut tanpa pembuktian.
Auditor BPK tersebut melaporkan bahwa hubungan MYRX dengan Jiwasraya hanya berkaitan dengan transaksi repurchase agreement (repo) yang sesungguhnya transaksinya sudah dibayar lunas oleh Benny Tjokro. Akan tetapi, auditor BPK tersebut diduga diarahkan berkali-kali oleh pimpinannya bahwa saham-saham yang dituduhkan dikendalikan oleh Benny Tjokro. Dan tuduhan itu diminta tak perlu dibuktikan.
Karena itu, kata Benny Tjokro, dalam kasus ini baik dakwaan maupun tuntutan yang dibacakan JPU merupakan konspirasi untuk menjeratnya sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang terjadi di Jiwasraya. “Dengan kata lain, saya adalah korban konspirasi dari pihak-pihak tertentu yang justru bertanggung jawab atas kerugian negara ini,” kata Benny Tjokro.
Benny Tjokro pada akhirnya divonis penjara seumur hidup karena dinilai terbukti melakukan korupsi pengelolaan dana dan penggunaan dana investasi di Jiwasraya yang merugikan keuangan negara senilai Rp 16,807 triliun. Benny Tjokro juga dinilai melakukan tindak pidana pencucian uang. [Kristian Ginting]