Konsistensi Berpartai Politik

Di masa pendaftaran calon legislatif untuk pemilu 2019, kembali publik menyaksikan banalitas para politisi negeri ini. Yaitu soal bajak membajak caleg, terutama kalangan artis.

Juga banyaknya politisi yang berpindah partai dengan berbagai alasan, terutama yang bersifat transaksional ataupun karena “sakit hati” tak dipakai lagi di partainya.

Terlepas dari kondisi partai politik yang masih belum ajek, kelakuan migrasi para politisi ini menunjukkan tidak hadirnya loyalitas atau kesetiaan kepada partai.

Hal ini lagi-lagi menunjukkan lemahnya konsistensi berpartai dan surutnya integritas dalam berpolitik.

Sebagai perbandingan, mungkin peristiwa yang terjadi di masa demokrasi parlementer ini bisa dijadikan contoh menarik: dimana ideologi, konsistensi berpartai, dan integritas para pemimpin partai mengalahkan kepentingan dan jabatan tinggi di pemerintahan.

Alkisah, ketika dibawah kepemimpinan Ketua Umum Sidik Djojosukarto (1952-1955) PNI selalu bersikap tegas dalam mengawal ideologi dan kebijakan partai. Bahkan, bila harus berhadapan dengan kawan separtai sekalipun.

Itu terjadi, misalnya, di masa pemerintahan Kabinet Wilopo, kabinet pertama yang dipimpin tokoh PNI pasca-kemerdekaan. Ada sejumlah kebijakan Perdana Menteri Wilopo (dilantik April 1952, dan berkoalisi dengan Masjumi) yang dianggap berseberangan dengan garis kebijakan PNI.

Antara lain, dalam masalah penanganan “Peristiwa 17 Oktober 1952”, peristiwa pengepungan sekelompok tentara terhadap istana kepresidenan dengan tuntutan membubarkan parlemen.

Awalnya, Kabinet Wilopo berusaha menutupi keadaan di tubuh di Angkatan Darat agar tidak semakin parah tanpa menindak para perwira yang berperan langsung dalam peristiwa tersebut.

Baru setelah kampanye yang dipimpin PNI mencapai puncaknya, Wilopo akhirnya memecat beberapa perwira teras Angkatan Darat.

Sejumlah kebijakan ekonomi Kabinet Wilopo juga mendapat tantangan dari DPP PNI yang dipimpin Sidik.

Seperti diungkap Rocamora, sikap partai terhadap tiga masalah utama yang timbul pada masa itu menunjukkan adanya tiga unsur pokok yang semakin menonjol dalam kebijakan ekonomi: dukungan bagi para pengusaha nasional, tuntutan nasionalisasi perusahaan-perusahaan besar asing, dan dukungan bagi para pemukim liar di daerah-daerah perkebunan.

Oposisi paling keras PNI terhadap Kabinet Wilopo berkenaan penyelesaian tanah perkebunan yang dikuasai para petani penggarap yang tidak punya tanah.

Pemicunya adalah meletusnya Peristiwa Tanjung Morawa, Sumatera Utara, 16 Maret 1953—peristiwa pembunuhan sejumlah petani yang menolak mengosongkan pemukiman yang telah mereka tempati dalam waktu lama, dengan pelakunya adalah polisi.

Persoalan yang sudah berlangsung begitu lama ini segera mencuat menjadi sorotan nasional. PNI Sumatera Utara termasuk yang berada paling depan dalam memihak para petani penggarap.

Dan ketika Peristiwa Tanjung Morawa mencuat menjadi sorotan nasional, jajaran kepemimpinan nasional PNI di bawah pimpinan Sidik mendukung sikap jajaran kepemimpinan PNI Sumatera Utara dan kemudian secara terang-terangan mengambil sikap anti-pemerintah. Karena oposisi PNI itu akhirnya Kabinet Wilopo jatuh pada Juni 1953.

Wilopo, yang dijatuhkan partainya sendiri, tidak lantas mutung dan keluar dari PNI. Ia bertahan di partai, memimpin ‘faksi konservatif” di PNI, dan bertahun-tahun kemudian bertarung untuk mempengaruhi garis politik PNI.

Konsistensi berpartai politik seperti ini selayaknya diteladani para politisi masa sekarang. Jangan hanya karena ditawari “dana transfer” dalam jumlah besar, apalagi karena sakit hati, lantas pindah ke partai lain.

Imran Hasibuan