Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga punya pandangan yang sama. Ia mengatakan, pembangunan infrastruktur dipacu untuk mengatasi ketertinggalan dibanding negara lain, untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, serta mengurangi kemiskinan dan kesenjangan.  “Di antara anggota negara G20, infrastruktur kita paling belakang dan paling rendah, mau dilihat dari indeks kompetitif global, belanja negara, sampai mobilisasi belanja negara infrastruktur,” tutur Sri Mulyani dalam acara “Sewindu Bakti PT SMI untuk Negeri” di Jakarta, 22 Maret 2017.

Dalam kesempatan yang berbeda, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution pun mengungkapkan hal yang senada. Untuk mendorong pertumbuhan nasional, kata Darmin, perlu menggenjot infrastruktur. “Kenapa infrastruktur? Karena, itu yang tidak dibangun selama ini. Kita sudah tertinggal banyak. Kalau kita tidak membenahi, tak punya dasar membangun. Konektivitas tak jalan, pelabuhan kurang, pelabuhan udara kurang, jalan raya, semua serba-kurang. Listrik apalagi. Telekomunikasi juga sama,” ujar Darmin dalam acara “Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial” di Jakarta, 26 Maret 2017 silam.

Namun, Sri Mulyani mewanti-wanti. Jangan sampai pembangunan infrastruktur menimbulkan ketimpangan tinggi. Ini dapat terjadi jika perencanaan dari sebuah proyek pembangunan infrastruktur sampai tata kelolanya berjalan buruk. “Seolah pembangunan infrastruktur bisa mengurangi ketimpangan. Tapi, perencanaan yang salah dan tata kelola yang tidak baik, apalagi untuk skala besar, malah bisa meningkatkan ketimpangan. Jadi, kita harus memberi manfaat sambil terus membangun tata kelola yang baik,” ungkap Sri Mulyani.

Masalahnya, proses lelang atau tender banyak proyek infrastruktur saja sudah menguarkan bau busuk. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sudah dari jauh-jauh hari memperingatkan. Menurut KPPU, proses lelang atau tender proyek-proyek infrastruktur di era pemerintahan Joko Widodo menjadi ladang aksi praktik usaha yang tak sehat, lewat beragam bentuk persekongkolan.

Alih-alih mengadakan lelang proyek, menurut komisioner KPPU Munrokhim Misanam, para kontraktor justru melancarkan aksi persekongkolan pemberian hak konstruksi di tengah banjirnya proyek infrastruktur. “Yang bermain di sini banyak sekali. Kita itu ‘kreatif’, seolah-olah bersaing di dalam lelang tapi direkayasa untuk mengakali aturan. Bahkan, jumlahnya mengalahkan kartel yang non-tender,” ungkap Munrokhim dalam jumpa pers di Jakarta pada 13 Desember 2016 lampau

Aksi persekongkolan dalam proyek infrastruktur itu, lanjutnya, telah diketahui KPPU dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Data KPPU mencatat, selama 2015 saja ada sekitar 70% sampai 80% proyek infrastruktur terindikasi kasus persekongkolan tender proyek yang justru difasilitasi oleh pemerintah. Data KPPU tersebut hampir sama dengan data KPK, yang menyebutkan sekitar 80% kasus korupsi yang ditangani KPK merupakan korupsi tender proyek pemerintah, baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Diungkapkan Munrokhim, kondisi itu terjadi karena difasilitasi oleh pemerintah, misalnya perusahaan yang sudah dijagokan. “Sekalipun banyak melakukan kesalahan, tetap diloloskan. Tapi, yang tidak dijagokan, baru ada kesalahan sedikit, langsung gugur,” ujarnya.

Contohnya, dalam pemenangan lelang proyek terdapat perusahaan konstruksi tertentu yang telah memiliki spesifikasi produk tertentu yang biasa digunakan dalam proyek infrastruktur pemerintah. Dengan begitu, perusahaan ini dimenangkan dalam lelang.

Selain itu, ada juga persekongkolan perusahaan kontruksi dengan pemerintah terkait manipulasi dana proyek. Akibatnya, terjadi ketidakefisienan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Manipulasinya itu tinggi, ini membuat bocor APBN kita sehingga yang terjadi, sudah tidak ada persaingan usaha yang sehat,” kata Munrokhim.

Menurut dia, ada teori, ketika terjadi persekongkolan tender, diduga mark-up-nya sampai 30%. “Tidak mengherankan, ketika dulu APBN kita bocor sampai 30% sangat masuk akal, karena tendernya bersekongkol semua,” ujarnya.