Presiden Soekarno saat berpidato di Jakarta pada 3 Mei 1964 silam, menolak pembentukan negara Federasi Malaysia.
Presiden Soekarno saat berpidato di Jakarta pada 3 Mei 1964 silam, menolak pembentukan negara Federasi Malaysia.

Koran Sulindo – Pada 3 Mei 1964, Presiden Soekarno dengan tegas menolak pembentukan negara Federasi Malaysia. Sebagai pemimpin besar revolusi, Soekarno memandang proyek tersebut sebagai bentuk neokolonialisme dan imperialisme yang bertujuan untuk memperkuat pengaruh asing di kawasan Asia Tenggara.

Penolakan ini bukan hanya sebatas diplomatik, tetapi juga diiringi dengan semangat revolusioner yang mendorong tindakan nyata.

Untuk menegaskan sikapnya, Soekarno mengeluarkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) di hadapan 21 ribu massa yang berkumpul di Jakarta. Dalam pidatonya, ia memberikan dua perintah utama yang menjadi dasar konfrontasi terhadap Malaysia.

Kebijakan ini dikenal dengan semboyan “Ganyang Malaysia,” yang menyerukan peningkatan ketahanan revolusi Indonesia serta dukungan terhadap perjuangan rakyat di Malaysia, Singapura, Sabah, Sarawak, dan Brunei.

Soekarno memandang pembentukan Federasi Malaysia sebagai langkah yang tidak demokratis, bertentangan dengan hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Manila, serta tidak sejalan dengan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai dekolonialisasi.

Dilansir dari laman rri.co.id, penolakan keras Soekarno terhadap Federasi Malaysia juga dipicu oleh insiden demonstrasi di Kuala Lumpur. Pada saat itu, massa anti-Indonesia menginjak-injak lambang negara Indonesia, yang semakin memperburuk hubungan antara kedua negara.

Kemarahan Soekarno atas penghinaan tersebut membuat Indonesia dengan percaya diri mengumumkan konfrontasi secara terbuka terhadap Malaysia, dengan dukungan penuh dari Uni Soviet.

Soekarno tidak gentar meski Malaysia didukung oleh kekuatan militer Inggris dan Australia. Meski beberapa pihak dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sempat menolak Dwikora, kebijakan tersebut tetap dijalankan, terutama di daerah Kalimantan Utara dan Semenanjung Malaya.

Dari Mei hingga Oktober 1964, ketegangan antara Indonesia dan Malaysia memuncak dengan adanya konflik di beberapa wilayah perbatasan Kalimantan.

Seiring berjalannya waktu, konfrontasi fisik perlahan-lahan mereda. Hal ini terjadi karena beberapa pihak menentang pendekatan konfrontasi yang digunakan. Akhirnya, cara diplomatik ditempuh untuk menurunkan ketegangan, dengan campur tangan pihak ketiga seperti PBB.

Kemunduran kekuasaan Soekarno akibat Gerakan 30 September 1965 juga menjadi faktor utama yang meredakan konflik antara Indonesia dan Malaysia.

Akhir dari konfrontasi ini tercapai melalui kesepakatan damai yang ditandatangani oleh kedua negara pada 12 Agustus 1966. Tidak lama setelah itu, Indonesia kembali bergabung dengan PBB pada 28 September 1966, setelah sebelumnya keluar pada 20 Januari 1965 sebagai protes atas diterimanya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia ini menjadi salah satu momen bersejarah yang memperlihatkan ketegasan Soekarno dalam menolak segala bentuk kolonialisme dan imperialisme di Asia Tenggara.

Meski demikian, resolusi konflik ini akhirnya tercapai melalui diplomasi, menandai akhir dari periode ketegangan antara kedua negara tetangga ini. [UN]