Konflik penguasaan lahan antara TNI AL dengan masyarakat adat di Marafenfen, Maluku berlanjut. Masyarakat desa Marafenfen sebagai penggugat melalui kuasa hukumnya menyatakan akan mengajukan banding atas putusan hakim Pengadilan Neger Dobo (17/11) yang menolak gugatan masyarakat.
Semua bukti yang diajukan masyarakat adat melalui kuasa hukum Semuel Waileruny dianggap lemah oleh majelis hakim. Atas putusan ini, tanah adat ratusan hektar tersebut akhirnya jatuh ke tangan TNI AL.
Sesaat setelah hakim membacakan putusan, tangisan dan teriakan terdengar dari luar halaman sidang. Masyarakat yang berkumpul di lapangan Yos Sudarso perempuan dan laki-laki saling merangkul menangis menyampaikan kekecewaannya.
“Itu katong pung tanah adat, kanapa kamong (Kalian) ambil, kamong bawa dari mana,”teriak salah satu pemuda adat yang menangis dan dirangkul oleh adik dan kakaknya.
Pihak TNI AL meminta tudingan perampasan tanah adat dibuktikan sesuai dengan fakta-fakta di pengadilan.
“Silakan saling tunjukkan bukti-bukti di pengadilan, saya sangat yakin majelis hakim akan mengambil keputusan secara obyektif,” kata Komandan Pangkalan Utama TNI AL IX/Ambon, Brigadir Jenderal TNI (Mar) Said Latuconsina di Ambon, Jumat (19/11) yang dilansir Antara.
Konflik Penguasaan Tanah Adat
Konflik lahan masyarakat Adat Marafenfen sudah berlangsung selama puluhan tahun, berawal dari Januari 1992 saat aparat TNI AL mengklaim sudah ada pembebasan lahan masyarakat di Desa Marafenfen Kecamatan Aru Selatan seluas 689 hektare untuk pembangunan Lapangan Udara TNI AL.
Rencananya akan dibangun bandara udara (bandara) dan berbagai fasilitas lainnya di lahan Desa Marafenfen, Kecamatan Aru Selatan, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku.
Wilayah Marafenfen adalah tempat hidup masyarakat secara turun temurun. Pada awalnya masyarakat secara bebas melakukan kegiatan berkebun dan mengambil sarang burung walet, serta menjadi wilayah perburuan binatang liar (babi, rusa dan lainnya) untuk kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anak.
Kawasan itu juga menjadi tempat hidup satwa liar yang dilindungi seperti Burung Cendrawasih, Kaka Tua Jambul Kuning dan Kaka Tua Raja. Setelah masuknya TNI AL tahun 1991, masyarakat tidak lagi bisa mengakses lahan secara bebas
Merasa haknya dirampas Masyarakat Adat Marafenfen menuntut hak atas wilayah adat mereka yang diduga telah diserobot secara sepihak oleh pihak TNI Angkatan Laut (AL).
Tuntutan Masyarakat Adat pun berujung pada pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri Dobo. Surat gugatan yang didaftarkan dalam Perkara Nomor 7/Pdt.G/2021/PN Dob bertanggal 31 Maret 2021 itu, menggugat TNI AL, Gubernur Maluku, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) atas objek sengketa berupa tanah seluas 689 hektar, sebagaimana dilansir RRI.
Masyarakat Adat Marafenfen menganggap pengambilalihan lahan oleh aparat dilakukan secara paksa, sehingga kehidupan warga setempat yang bergantung pada hutan jadi terganggu. [PAR]