?

Koran Sulindo – Dari 8.500 konflik pertanahan dan perkara pengadilan yang terjadi di seluruh Indonesia ternyata keterlibatan perusahaan menduduki peringkat pertama dengan presentase mencapai 18 persen.

Menyusul berikutnya 15,8  persen konflik melibatkan instansi pemerintah dan 10 persen lainnya merupakan konflik perorangan.

Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Negara, Sofyan A. Djalil konflik yang terjadi tak semata-mata melibatkan perorangan namun antar orang, masyarakat, perusahaan bahkan instansi pemerintah. Konflik juga terjadi antar instansi pemerintah.

“Konflik itu tak lepas dari kepentingan untuk menguasai dan memiliki tanah untuk kehidupan, investasi usaha bahkan bahkan spekulasi. Inilah yang pada hakekatnya jika tidak terkelola dengan baik akan menimbulkan sengketa atau konflik tanah,” kata Sofyan di Jakarta, Kamis (29/11).

Menurut Sofyan, pemerintah berkepentingan untuk menyelesaikan konlik-konflik pertanahan itu untuk memberikan kepastian iklim berusaha di Indonesia.

“Pemerintah memiliki cara penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi yang prosesnya bisa lebih cepat tentunya masing-masing pihak harus bisa menerima,” kata dia.

Penyelesaian melalui mediasi ini merupakan alternatif tercepat menghindari mekanisme penyelesaian lewat pengadilan yang umumnya membutuhkan waktu yang lama.

Selain itu, meski sudah menempuh proses hukum tetap saja ada salah satu pihak merasa tidak puas dengan putusan pengadilan yang memicu berbagai upaya hukum lain. Ini membuat penyelesaian sengketa menjadi berlarut-larut.

Sofyan juga menyayangkan sampai saat ini penyelesaian sengketa tanah melalui jalur arbitrase belum ada yang memanfaatkannya.

“Butuh Mekanisme Alternatif dispute resolution lain menjadi penting di dalam konteks konflik pertanahan untuk memperoleh win win solution,” kata Sofyan.

Direktur Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah, R.B. Agus Widjayanto mengatakan banyak hal yang menjadi penyebab konflik lahan yang berujung di pengadilan.  Mediasi dilakukan untuk mencegah konflik berakhir menjadi kasus hukum.

“Masalah hukum selesai, konflik sosial masih belum selesai. Akhirnya tidak bisa tentukan siapa yang berhak atas putusan itu. Kebutuhan penyelesai mediasi menjadi hal penting.  Kami sarankan mediasi daripada pengadilan,” kata Agus.

Selain proses penyelesaian konflik, beberapa hal yang menjadi pemicu konflik pertanahan di Indonesia terutama disebabkan oleh kemiskinan dan distribusi kepemilikan tanah yang tak merata.

Selain itu soal tertib adminitrasi pengelolaan aset tanah baik dari pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD. Serta yang terakhir adalah putusan pengadilan yang berbeda-beda atas bidang tanah yang sama.

Dari 126 juta bidang tanah hingga saat ini yang terdaftar baru mencapai 50 persen itupun terdapat alas hak bukti kepemilikan tanah yang beragam, dan belum terdaftar menjadi sertifikat. Di sisi lain tak jarang aspek legalitas kepemilikan yang hanya didasarkan bukti formal tanpa memerhatikan produktivitas tanah.

Mengatasi permasalah-permasalahan itu Kementerian ATR/BPN meluncurkan berbagai program strategis antara seperti Reforma Agraria, Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, Tim Pemberantasan Mafia Tanah, Penertiban hingga pendayagunaan tanah terlantar.

Penyusunan RUU Pertanahan dilakukan untuk menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul sekaligus penyempurnaan penataan ruang untuk menghindari tumpang tindih penggunaan dan pemanfaatan.[TGU]