Koran Sulindo – Puluhan pemimpin suku Arab di Suriah menggelar konferensi di kota Deir Hafer menentang intervensi Amerika wilayah Suriah.
Hadir dalam konferensi sedikitnya 70 pemimpin suku di wilayah Aleppo, Al-Raqqa, dan Al-Hasakah.
Menurut kantor berita yang dikelola pemerintah, SANA, selama konferensi mereka menyerukan kewajiban pejuang suku berpihak pada Tentara Arab Suriah (SAA) dan mesti berpartisipasi melawan upaya pendudukan Suriah oleh tentara Turki, Prancis, dan AS.
Mereka juga mengecam rencana Presiden AS Donald Trump untuk mengganti tentara AS di Suriah dengan pasukan dari negara-negara Arab.
Di akhir konferensi, pemimpin-pemimpin suku itu merilis sebuah pernyataan bersama, di mana mereka menekankan penolakan kehadiran militer asing yang tanpa persetujuan Damaskus.
Sebelumnya, mengutip sumber-sumber lokal, SANA menyebut tentara aliansi Kurdi (SDF) menahan pemimpin suku dan tokoh Arab yang berencana menghadiri konferensi di Deir Hafer iyu.
Pengamat lokal menganggap insiden tersebut merupakan langkah menyabotase konferensi. Mereka memprediksi konferensi di Deir Hafer itu meningkatkan tekanan publik pada SDF yang didominasi Kurdi yang terus menghadapi ketegangan dengan populasi Arab di wilayahnya.
Dengan 60-70 persen populasi Suriah dipengaruhi ikatan suku atau klan, pihak-pihak yang saling bertikai di Suriah mencoba merebut simpati mereka.
Ketika konflik semakin gencar, semua pihak terlibat upaya ekstensif untuk menghidupkan kembali identitas-identitas tersebut untuk merebut dukungan dari mereka.
Di sepanjang Upper Mesopotamia di timur laut Suriah, suku menjadi faktor terpenting yang tidak bisa diabaikan. Suku terbesar di wilaya ini adalah Suku Jubur yang diikuti Tayy, Bakara, Anazzah, Shammar dan lain-lain.
Sejak awal revolusi loyalitas mereka terbelah antara bersikap membela Bashar al-Assad atau melawannya.
Di sisi lain, sebagian mereka menggagas pemerintahan sendiri seperti yang dinyatakan suku-suku Kurdi. Termasuk suku-suku Arab yang paling menonjol di wilayah ini yang bergabung dengan Kurdi adalah Pasukan al-Sanadid yang dipimpin seorang sheikh dari suku Shammar.
Di selatan, langkah serupa terbukti gagal dengan pengecualian aliansi suku yang terbentuk atas inisiatif Tentara Pembebasan Suriah (FSA) yang didukung Saudi dan Yordania. Aliansi ini aktif di daerah Lajat dengan melestarikan identitas Baduinya.
Di wilayah gurun Suriah, suku-suku yang dominan adalah Mawali dan Hadidiyin di samping klan dari Bani Khalid dan al-Sakhana yang kesetiannya terbelah sejak 2011.
Perpecahan sengit terjadi di level kepemimpinan suku setelah sebelumnya terkait erat dengan rezim Assad. Namun di sisi lain, mayoritas masyarakat tetap netral akibat minimnya keterlibatan mereka dalam konflik sejak awal.
Di akhir 2015 ketika wilayah Upper Mesopotamia berhasil direbut rezim, hampir semua suku-suku di wilayah berpaling kesetiaan kepada Damaskus.
Sangat wajar, kesetiaan klan berulang kali berubah dari satu sisi ke sisi lain, karena bahkan pertempuran acap kali terjadi antara anggota klan yang sama. Kejadian yang sebelumnya bahkan tak pernah terbayangkan.
Mudahnya beralih kesetiaan suku-suku itu dianggap sudah menjadi karakteristik yang khas di wilayah ini.
Di daerah Eufrat seperti Deir Ezzor, Raqqa dan pedesaan Aleppo tenggara dengan suku-suku yang paling terkenal adalah Akidat, Qays dan Bakara di awal-awal konflik melawan rezim, kecuali di Raqqa.
Ketika ISIS berkuasa mereka juga segera bergabung dengan organisasi ini sebelum akhirnya berpindah kesetiaan kepada SDF yang mengalahkan ISIS.(TGU)