Dr. Poempida Hidayatulloh, Anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan/Kliksaja

Koran Sulindo – Siapa yang menyangka Covid-19 menjadi pandemi? Tentu semua pihak hanya bisa membuat perkiraan dan prediksi. Bahkan berbagai kepala negara maju pun sebagian besar underestimate penyebaran virus ini pada awalnya. Setelah WHO mendeklarasikan bahwa wabah Covid-19 ini adalah pandemi barulah semua sadar betapa besarnya masalah yang kita semua hadapi. Pandemi Covid 19 ini telah menjadi “krisis”.

Dalam konteks krisis yang tidak boleh terjadi adalah terjadinya krisis dalam komunikasi publik. Terutama bagi penyelenggara negara yang senantiasa melakukan komunikasi publik agar terjadi satu kesatuan opini dan informasi. Tantangan yang sekarang dihadapi pun semakin kompleks dengan adanya teknologi informasi super-cepat dan media sosial.

Adalah benar langkah yang diambil pemerintah Indonesia untuk melarang orang secara sembarangan mempublikasi melalui media sosial tentang Covid-19. Apakah ini melanggar konstitusi Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan mengeluarkan pendapat? Penulis berpendapat tidak. Mengapa demikian?

Mari kita mulai dengan suatu pertanyaan, apakah ada seorang di Indonesia yang memang sudah diakui sebagai ahli sehingga patut didengar pendapatnya tentang  Covid-19? Tentu jawabnya tidak ada, karena Covid-19 ini suatu jenis virus baru dan wabahnya pun baru terjadi kali pertama di dunia ini.

Oleh karena itu upaya untuk menghindari terjadinya kerancuan informasi yang dapat berdampak pada terjadinya penyebaran wabah Covid-19 yang tidak terkendali, tidak ada cara lain kecuali dengan melakukan sentralisasi komunikasi. Satu sumber informasi yang dapat dipertanggungjawabkan pemerintah Republik Indonesia.

Ketika satu sumber komunikasi menjadi suatu kesatuan yang didengar dan dipercaya oleh publik, maka proses selanjutnya akan menjadi suatu hal yang lebih terkendali, mulai dari informasi pusat kesehatan yang menangani penderita Covid-19, social distancing, wilayah rawan Covid-19 hingga penyelenggaraan PSBB.

Terlepas dari berbagai suara miring tentang proses yang berjalan, namun perlu diingat bahwa semua proses ini adalah upaya pemerintah RI untuk menegakkan amanat pembukaan UUD 45, “…. melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.

Dalam keadaan krisis pun dibutuhkan cara berpikir yang non-linier dan pengorbanan. Pemerintah RI telah melakukan hal ini dengan mengalihkan anggaran yang cukup besar untuk penanganan wabah Covid-19 ini dan mengesampingkan agenda ekonomi. Keselamatan rakyat tentu menjadi pertimbangan yang sangat mendasar dari setiap langkah yang diambil. Hal ini perlu mendapatkan apresiasi.

Terlepas dari langkah-langkah positif yang sudah diambil, penulis bermaksud untuk mengingatkan semua pihak, terutama penyelenggara negara, bahwa dalam keadaan krisis seperti ini yang dibutuhkan adalah endurance (ketahanan) dalam menghadapi masalah ini. Karena sampai saat ini tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan wabah pandemi ini akan berakhir.

Yang jelas wabah ini akan berakhir ketika ada pengumuman bahwa vaksin Covid-19 ini telah tersedia massal dan telah lulus uji coba. Namun, sampai tulisan ini dibuat, kabar gembira tersebut belum kunjung tiba. Oleh karena itu dampak lanjutan dari Covid-19 harus segera diantisipasi dalam bentuk kesiapan bahwa kehidupan kita sebagai manusia Indonesia di masa depan harus senantiasa siap hidup dalam keadaan terancam wabah ini.

Komunikasi publik semacam ini akan menjadi dilema di mana dalam menyampaikannya tidak terkesan pesimis tapi harus menghasilkan opini yang realistis. Juga harus memberikan harapan tetapi juga tidak memberikan over-expectation (harapan yang berlebih). Karena masalah lanjutan dari dampak wabah ini secara ekonomi dan sosial sungguh sangat luar biasa bagi kehidupan kita semua di masa depan.

Selamat Pak Joko Widodo, Bapak telah membangun komunikasi dalam krisis bukan krisis dalam komunikasi! [Oleh Dr. Poempida Hidayatulloh, Anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan]