Massa membakar mobil polisi saat berunjuk rasa di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025). Foto: Aji Styawan/ANTARA FOTO
Massa membakar mobil polisi saat berunjuk rasa di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025). Foto: Aji Styawan/ANTARA FOTO

JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menurunkan tim ke Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada 14–15 Agustus 2025 untuk menelusuri prosedur pengamanan unjuk rasa besar yang berlangsung pada Rabu (13/8). Tim dipimpin langsung oleh Komisioner Komnas HAM, Pramono Ubaid Tanthowi.

Selama dua hari di Pati, tim Komnas HAM menggelar pertemuan dengan berbagai pihak, termasuk Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, Polresta Pati, serta pihak RSUD Soewondo Pati. Komnas HAM juga meninjau langsung lokasi unjuk rasa dan menghimpun keterangan dari warga sekitar.

Pada Kamis (14/8) petang, Komnas HAM mendalami keterangan dari perwakilan aliansi massa terkait latar belakang dan motif aksi, proses konsolidasi antar kelompok, hingga kronologi pecahnya kericuhan. Pihak aliansi juga menyampaikan dugaan perlakuan aparat terhadap peserta aksi.

Keesokan harinya, Jumat (15/8), tim Komnas HAM bertemu dengan Wakapolresta Pati, AKBP Petrus Silalahi, beserta jajaran di Mapolresta. Dalam pertemuan tersebut, Petrus memaparkan persiapan aparat dalam mengamankan unjuk rasa, termasuk jumlah personel, peralatan yang digunakan, hingga tahapan tindakan pengendalian massa, mulai dari penggunaan water canon hingga gas air mata.

Merespons paparan tersebut, Pramono Ubaid melontarkan sejumlah pertanyaan kritis.

“Apakah polisi telah memberikan peringatan sebelum menembakkan water canon dan gas air mata? Apakah polisi sekadar membubarkan massa dengan memukul mundur atau juga mengejar sampai ke gang-gang?” tanya Pramono.

Ia juga mengklarifikasi dugaan pengeroyokan terhadap salah satu tokoh aksi oleh aparat yang kemudian disekap di ruangan tertutup. Selain itu, ia menanyakan jumlah penangkapan dan status hukum para peserta aksi.

Menjawab hal itu, Wakapolresta menyebut pihaknya menangkap 22 orang namun tidak ada yang dijadikan tersangka.

“Mereka memang diamankan di ruangan terpisah, tetapi tidak benar jika disekap. Semuanya sudah dilepaskan,” ujar Petrus.

Sebelum menutup pertemuan, Pramono menegaskan pentingnya aparat bertindak sesuai prinsip hukum dan HAM.

“Tidak boleh melakukan penyiksaan, sebagaimana masa Orde Baru dulu. Karena hak untuk bebas dari penyiksaan termasuk HAM yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi (non-derogable rights),” tegasnya.

Selain bertemu aparat, Komnas HAM juga mendatangi RSUD Soewondo untuk menggali informasi terkait jumlah korban, jenis luka, tindakan medis, hingga siapa yang menanggung biaya perawatan.

Komnas HAM menekankan bahwa korban aksi massa berhak memperoleh pemulihan, dan pemerintah berkewajiban memastikan langkah-langkah pemulihan tersebut. [IQT]