Koran Sulindo – Di media sosial Twitter pada Senin ini (11/7) muncul hastag atau tanda pagar #BersihkanJakarta. Isinya tentang dukungan terhadap Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisaris Jenderal Budi Waseso, untuk maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta dalam pemilihan tahun 2017 mendatang. Di beberapa lokasi di Jakarta juga sudah ada spanduk-spanduk yang berisi pernyataan keinginan Budi Waseso atau biasa disapa Buwas sebagai Gubernur DKI Jakarta, antara lain yang dibuat Aliansi Masyarakat untuk Jakarta Hebat dan Kuat.
“Kami Warga DKI Jakarta Mendukung Buwas sebagai Pemimpin Kami, Pemimpin yang Tegas dan Santun,” demikian antara lain bunyi spanduk itu.
Menurut pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing, Budi Waseso bila mendapat dukungan partai politik akan menjadi lawan yang tangguh bagi calon petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pilgub DKI Jakarta 2017. Karena, BNN selama di bawah kepemimpinan Buwas tidak pernah menimbulkan kegaduhan. Beda halnya dengan Ahok yang petahana, yang kerap menimbulkan kegaduhan. “Petahana selalu ada menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Ada pemimpin bekerja untuk citra sifatnya menimbulkan kegaduhan. Sedangkan Buwas mengatur kepemimpinan tegas namun—harus digaris bawahi—tidak menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Suatu yang bagus. Harus dipertimbangkan oleh partai,” kata Emrus seperti dikutip Sindonews, Sabtu [9/7].
Pada Mare 2016 lalu, pengamat politik senior dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, juga berpandangan yang sama. Arbi menilai, sosok Buwas layak diperhitungkan karena memiliki karater yang tegas, sehinggaberpotensi menjungkalkan Ahok dalam pemilihan 2017. “Budi Waseso diperhitungkan dan tergantung partai pendukung. Dia bisa mempersulit Ahok. Dari kepribadian pun sama galaknya,” kata Arbi sebagaimana dikutip Harian Terbit di Jakarta, Selasa (22/3).
Menurut dia, sosok Buwas memiliki rekam jejak sejak menjadi Kapolda Gorontalo. Saat itu, Buwas berani memerkarakan Gubernur Gorontalo Rusli Habibie. Kemudian, kata Arbi lagi, Buwas semasa memimpin Bareskrim Polri berani memerkarakan petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad dan Bambang Widjojanto serta mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana.
Warga Jakarta, tambahnya, memang membutuhkan perubahan cepat, namun tetap terkontrol dengan baik dan tidak melukai rakyat kecil. “Budi Waseso itu tokoh pribadi yang mirip Ahok dalam ketegasan, [tapi] Buwas lebih terkontrol,” tutur Arbi.
Ketika masih masih menjadi Kepala Bareskrim Polri, nama Komisaris Jenderal Budi Waseso memang sempat menjadi perbincangan publik. Misalnya ketika penyidik Bareskrim Polri yang ia pimpin menetapkan dua komisioner Komisi Yudisial sebagai tersangka atas dugaan pencemaran nama baik, yang dilaporkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin. Ketika itu, sejumlah pihak mnilai penetapan itu sebagai upaya kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh antikorupsi. Padahal, sebelum melaporkan kedua orang itu ke Bareskrim, kuasa hukum Sarpin telah melayangkan somasi terbuka agar pihak-pihak yang berkomentar negatif tentang Sarpin bersedia meminta maaf.
Menurut Budi Waseso ketika itu, pihaknya tidak akan menangguhkan kasus tersebut. “Enggak ada itu, terus lanjut. Masak kita diatur? Memang boleh ada yang ngatur? Makanya itu, saya bilang, kita harus profesional, tidak boleh membeda-bedakan,” ujarnya pada sebuah kesempatan pada tahun 2015 lalu.
Buwas menilai kasus itu sebenarnya kasus sederhana, yang bisa dihentikan jika terjadi pencabutan pelaporan oleh Hakim Sarpin. “Ini kasusnya sederhana. Kalau si pelapor mencabut laporannya, ya, sudah selesai. Tapi, saya sendiri juga enggak bisa, enggak boleh mencabut. Karena, ada delik aduan,” ungkapnya.Seperi diungkap Arbi Sanit, nama Budi Waseso juga sempat ramai diperbincangkan terkait penangkapan dan penahanan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto (BW). Ia juga menuai banyak kecaman karena penangkapan terhadap BW dinilai banyak pihak bak penangkapan terhadap tersangka teroris.
Belakangan, setelah terjadi kegaduhan atas sikapnya itu, Budi Waseso “melunak”. Ia mengatakan, dirinya kesulitan mengisi LHKPN. Menurut dia, pengisian LHKPN perlu dilakukan secara hati-hati agar perincian laporan kekayaan dapat terhitung dengan baik. “Tidak mudah. Begitu sulitnya mengisi itu. Semua itu harus jujur. Kalau tidak, itu namanya pembohongan publik,” kata Budi pada 2015 lalu.
Dalam kesempatan wawancara ketika Budi Waseso masih menjadi Kepala Bareskrim Polri, ia mengatakan bahwa soal kejujuran bagi dirinya memang sangat penting dan dipegang dengan teguh. “Itu pesan bapak saya ketika saya lulus dari Akabri Kepolisian tahun 1984 silam,” ujarnya.
Bapaknya adalah perwira TNI Angkatan Darat. Dikisahkan Buwas, sang bapak sangat menginginkan Budi Waseso mengikuti jejaknya, menjadi tentara di Angkatan Darat. “Pangkat bapak saya terakhir kolonel dari RPKAD dan dia membenci polisi, seolah polisi itu pengkhianat negara,” tutur Budi Waseso. RPKAD adalah singkatan dari Resimen Para Komando Angkatan Darat, yang kini menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Waktu tahu anaknya berhasil masuk Akabri, sang bapak senangnya bukan main. “Bapak sampai mengirim anak buahnya dan adiknya untuk mengawasi saya agar masuk Angkatan Darat. Apalagi, saya menempati peringkat pertama dari 800 orang yang diterima di Akabri,” kisah Budi Waseso.
Tapi, rupanya, Budi Waseso punya niat lain. “Saya terobsesi untuk menjadi polisi. Karena itu, begitu masa pendidikan enam bulan pertama selesai, saya memilih Akademi Kepolisian. Dan, mengetahui itu, paman saya dimaki-maki Bapak, kenapa bisa ‘kecolongan’ membiarkan saya masuk Akademi Kepolisian,” ujarnya.
Kendati begitu, begitu Budi Waseso lulus dari Akabri Kepolisian dan berhak menyandang pangkat letnan satu, sang bapak mengucapkan selamat juga. “Bekerjalah yang baik. Anakku harus jujur. Walau menyakitkan, jujur itu harus. Dan, saya harus jujur kepada kamu, saya tidak bangga kamu menjadi polisi. Tapi, hidup adalah pilihan dan kamu telah memilih. Tunjukkan pilihanmu tidak salah,” kata sang bapak di hari kelulusan Budi Waseso dari Akademi Kepolisian, sebagaimana diceritakan kembali oleh Budi Waseso.
Budi Waseso mengaku, pesan bapaknya itu ia pegang teguh. Mungkin karena itu pula, Budi Waseso dalam wawancara ketika itu mengaku tidak memiliki rumah pribadi. Sebelum menempati rumah dinas sebagai Kepala Bareskrim Polri, ia dan keluarganya tinggal di rumah peninggalan bapaknya. “Di sana ada Vespa tua, skuter milik saya yang tidak akan saya jual karena banyak kisahnya. Saya pernah narik ojek dengan Vespa itu, walau ketika itu sudah perwira,” tutur Buwas.
Apakah ia benar-benar tak mampu membeli rumah padahal sudah menjadi jenderal ploisi? “Saya punya tabungan. Cukuplah untuk membeli rumah, tapi bukan untuk rumah sekelas perwira. Masalahnya, saya punya anak-anak yang masih perlu biaya sekolah. Karena itu, daripada membeli rumah, lebih baik uang itu buat biaya sekolah anak-anak saya. Alhamdulillah, saya mendapat rumah dinas. Tapi, saya sudah punya tanah pribadi, bersertifikat, ukurannya 1 meter x 2 meter untuk makam saya,” ungkap Budi Waseso dengan nada serius, ketika itu.
Dalam kesempatan terpisah, teman seangkatan Budi Waseso di Akademi Kepolisian, Inspektur Jenderal I Ketut Untung Yoga Anna, pernah mengatakan, Budi Waseso adalah orang yang suka prihatin sejak zaman pendidikan di Akademi Kepolisian. ”Sosoknya bersahaja dan apa adanya. Tegas soal aturan. Sejak di taruna sudah begitu. Kami dulu bersama-sama di Lembaga Musyawarah Taruna semasa taruna, semacam DPR yang menjembatani jika ada persoalan antara lembaga dengan taruna,” kata Untung Yoga, yang mantan Kepala Polda Nusa Tenggara Timur, seperti diberitakan beritasatu.com.
Diungkapkan Untung Yoga, sewaktu menjadi Kepala Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi Polri sebelum diangkat sebagai Kepala Bareskrim Polri, Budi juga tidak berubah. “Ya, selama itu juga lurus-lurus saja. Soal hobinya, paling suka dandanin mobil-mobil tua. Misal dibeli murah Rp 10 juta, lalu dijual kembali setelah dirawat,” ungkap Untung Yoga.
Diinformasikan juga dalam artikel di media itu, Kepala Pusat Inafis Brigjen Bekti Suhartono mengungkapkan, dirinya dan Budi Waseso dulu pernah sama-sama bertugas di Kalimantan Tengah. ”Kami dulu juga sama-sama dinas di Kalimantan Tengah. Beliau Kapolres Barito Utara dan saya Kapolres Barito Selatan. Di situ bisa dibilang kami itu kepala polres paling kere karena kami saling mengingatkan. Pernah kami ditawari mobil di showroom oleh bos kayu, tapi tak kami ambil karena sudah punya mobil dinas,” tutur Bekti.
Dengan rekam jejak yang seperti itu, wajar jika beberapa partai politik sudah ada yang melirik Komisaris Budi Waseso untuk diusung sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pada pemilihan 2017 nanti. Partai Gerindra, misalnya, meski belum secara resmi mengumumkan, sudah mengadang-ngadang nama Budi Waseso untuk diajukan sebagai calon gubernur. Bahkan, menurut Wakil Ketua Umum cum anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, partainya siap berkoalisi dengan partai politik lain untuk mengusung pasangan Budi Waseso dan Sandiaga Uno sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. “Kami juga akan berkomunikasi menjajaki koalisi dengan PDIP, PPP, PKB, dan PKS untuk mengusung pasangan tersebut,” katanya, Jumat lalu (8/7).
Tentu saja, Partai Gerindra harus berkoalisi karena kursinya di DPRD tidak mencukupi untuk mengusung calonnya sendiri. Yang dapat mengusung sendiri hanya PDI Perjuangan. Akankah PDI Perjuangan melirik Budi Waseso juga dan dipasangkan dengan kadernya, misalnya Djarot Saiful Hidayat, yang kini masih menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta?
“Semua terserah partai saja. Ini kan semuanya sedang menunggu keputusan partai,” kata Djarot, yang dihubungi via telepon. [KRG/PUR]