Komisi III DPR Optimistis RUU KUHP Rampung pada September

Ilustrasi/liputan6.com

Koran Sulindo –  Komisi III DPR optimistis pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) rampung pada masa keanggotaan DPR sekarang. Sebelumnya, Komisi III menargetkan pembahasan RKUHP ini rampung sebelum 30 September

“Kami optimistis RUU KUHP selesai sekarang karena tidak ada lagi pasal-pasal yang krusial,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Herman Herry, di kompleks Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu (28/8/2019), seperti dikutip antaranews.com.

Menurut Herman, Komisi III DPR dalam penyelesaian UU tidak bisa diintervensi untuk dipercepat ataupun diperlambat prosesnya.

“Terkait dengan RUU KUHP, tidak ada yang didorong untuk mempercepat prosesnya. Semua berjalan profesional sesuai dengan proses. Kalau bisa segera diselesaikan, kenapa harus ditahan?” katanya.

Herman juga menyangkal kekhawatiran terdapat beberapa pasal dalam RUU KUHP dianggap bisa melemahkan kerja pers.

“Dalam sebuah negara demokrasi, seperti Indonesia, kata Herman, kebebasan pers adalah kebebasan rakyat sehingga tidak boleh ada pihak yang menghalangi kebebasan pers, termasuk produk UU,” kata Herman.

Sebelumnya, lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama meminta DPR menunda pengesahan RUU KUHP tersebut.

Kitab Pidana Asli Indonesia

Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengadakan pertemuan dengan tim ahli RUU KUHP pada 14 Agustus 2019 lalu.

Dalam pertemuan yang antara lain dihadiri Dirjen HAM Kemenkumham Harkristuti Harkrisnowo dan pakar hukum Muladi di Bina Graha itu, Moeldoko mengatakan RUU KUHP itu untuk pertama kali akan menjadi kitab pidana asli Indonesia. RUU KUHP ini juga disesuaikan dengan kondisi Indonesia  sekarang dan menyesuaikan dengan kondisi aktual dunia internasional.

“Ini adalah RUU prioritas Presiden dan bukan hanya legasi Presiden semata tapi legasi semua orang, baik yudikatif, legislatif maupun masyarakat secara keseluruhan. Maka ini penting untuk disahkan pada September nanti sebelum masa reses DPR,” kata Moeldoko, seperti dikutip ksp.go.id.

Sementara itu Muladi mengatakan terdapat 4 perubahan yang signifikan dari KUHP sebelumnya yang merupakan warisan zaman kolonial.

“Perubahannya ada pada filosofi zaman kolonial. Misalnya rumusan tindak pidana kejahatan yang tidak sesuai dengan masa kemerdekaan dihapuskan, lalu masalah pertanggungjawaban pidana yang dalam KUHP baru nanti bukan hanya perorangan tapi juga korporasi. Dan tentu saja saksi hukum pidana akan diatur sesuai dengan perkembangan kriminologi,” kata Muladi.

Sementara Harkristuti mengatakan RUU KUHP ini memperhatikan keseimbangan masyarakat dengan memisahkan antara 3 kelompok tindak pidana yakni dewasa, anak-anak dan korporasi.

“Kami juga mengambil perundangan yang masih berlaku di Indonesia dan pidana ini berprinsjp tidak merendahkan harkat dan martabat manusia,” kata Harkristuti.

Latar Belakang

Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan Wet Wetboek van Strafrecht di Indonesia sejak 1918. Setelah merdeka, Wet Wetboek van Strafrecht berubah nama menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Berdasarkan Laporan Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional ‘Politik Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan’ yang dikeluarkan Kemenkum HAM, per Agustus n20219 ini, upaya mengganti KUHP mulai disusun sejak 1982. Silih berganti Menteri Kehakiman terus melakukan usaha mengubah KUHP, dari Menteri Ali Said, Ismail Saleh, Oetojo Oesman, Muladi, Yusril Ihza Mahendra, hingga Yasonna Laoly. Semua draf yang disodorkan pemerintah ke DPR selalu mental.

Pada 1991, Menteri Kehakiman Ismail Saleh membentuk tim dan menyusun ulang RUU KUHP-KUHAP dan dibuatlah RUU-KUHP versi 1993. Namun lagi-lagi draf itu mentah di DPR.

Menteri Kehakiman Muladi juga membentuk tim antardepartemen kembali dalam rangka mengkaji ulang RUU-KUHP 1993. Harapannya, beberapa substansi yang mungkin akan menimbulkan kontroversi dapat dibahas secara lebih arif dan bijaksana.

Pada akhirnya, terbentuklah RUU-KUHP 1999-2000 kemudian disosialisasi kembali, dengan harapan masyarakat menelaah secara saksama dan memberikan masukan.

Tim kembali dibentuk setelah menteri silih berganti, tapi lagi-lagi semua terpental di DPR. [Didit Sidarta]