Sulindomedia – Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan Nawacitanya-nya sebenarnya secara konseptual memiliki peluang terhubung dengan gagasan sosialisme Bung Karno. Namun, ketika Nawacita disusun secara resmi menjadi dokumen negara melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), peluang itu terempas.
“Ternyata, RPJM sudah disusun sebelum Jokowi terpilih menjadi presiden. RPJM sudah disiapkan. Jadi, Nawacita hanya ditempelkan di bagian depan saja, sedangkan di belakangnya sudah disiapkan rencana sebelum Jokowi terpilih,” kata pengamat ekonomi politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Revrisond Baswir, dalam perbincangan dengan wartawan Suluh Indonesia, Yuyuk Sugarman, di kantornya, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, di Bulaksumur, Yogyakarta, akhir Februari 2016 lalu
Soni, begitu panggilan akrabnya, juga menyoroti sulitnya memberikan pemahaman kembali atas salah satu pedoman Pembangunan Semesta Berencana yang digagas Bung Karno, yakni keadilan, meski fakta telah menunjukkan terjadi kesenjangan yang lebar antara si kaya dan si miskin. Soni memang dikenal sebagai akademisi yang memilih sebagai bagian dari cendekiawan yang berpihak kepada rakyat kecil, meski ia mengenyam pendidikan magister-nya di Michigan University, Amerika Serikat, setelah lulus dari UGM.
Gelar doktornya diperoleh dari Universitas Airlangga, Surabaya. Disertasinya berjudul “Pengaruh Utang Luar Negeri Pemerintah terhadap Belanja Negara, Struktur Perdagangan, dan Kesejahteraan Rakyat Indonesia”.
Berikut petikan wawancara dengan pria kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat, pada 28 Februari 1958 ini tentang sosialisme Indonesia yang digagas Bung Karno, normalisasi kapitalisme, dan upaya mengembalikan Indonesia ke jalan ideologisnya.
Sosialisme Indonesia yang digagas Bung Karno masihkah relevan dengan situasi dan kondisi Indonesia hari ini?
Bicara tentang sosialisme Bung Karno menarik untuk menyimak pedoman yang digariskan ketika beliau menyampaikan amanat presiden mengenai Pembangunan Semesta Berencana. Ada enam pedoman, tapi saya mau ambil satu saja yang prinsip, yakni segala kegiatan ekonomi dan keuangan bertujuan untuk keadilan. Itu prinsip.
Saya kira, kalau itu kita jadikan pedoman, justru hari ini, dan itu bukan hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia, sosialisme Bung Karno semakin relevan. Kenapa? Karena, justru hari-hari ini di seluruh dunia, apalagi yang lebih parah Indonesia, ditandai dengan semakin melebarnya kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Ini terjadi baik di negara Amerika Serikat, Thailand, maupun Cina.
Indonesia paling parah?
Berdasarkan hasil survei Bank Dunia yang diluncurkan akhir tahun 2015 lalu ditemukan fakta: 1 persen rumah tangga di Indonesia itu sudah menguasai aset nasional sebesar 50 persen rumah tangga. Ini gila sekali.
Dengan angka itu, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia. Nomor satu yang paling timpang adalah Rusia, nomor dua Thailand, baru kemudian Indonesia. Antara Thailand dan Indonesia itu selisihnya sedikit, Thailand itu 50,2 persen, sementara Indonesia 50,3 persen. Dari fakta obyektifnya itu justru penerapan sosialisme yang digagas Bung Karno semakin relevan.
Pertanyaan soal relevansi itu sering muncul. Ini menarik dan itu tidak hanya muncul dari masyarakat yang tidak mengenal Bung Karno, tapi juga dari orang-orang yang mengenal dekat Bung Karno. Apakah mereka gagal menghubungkan antara pemikiran-pemikiran Bung Karno dengan realitas yang ada sekarang atau ada faktor-faktor lain?
Kalau saya mencoba masuk ke pertanyaan seperti itu, jawabannya: memang kita ini tidak lagi sensitif terhadap fenomena kesenjangan, sudah kehilangan empati terhadap mereka yang terpinggirkan. Banhkan, saya kira, sudah masuk ke tahap lebih parah lagi. Kita sudah masuk suatu tahap yang saya sebut sebagai normalisasi kapitalisme.
Sekarang ini banyak orang, entah itu di luar Indonesia atau di dalam Indonesia, melalui proses yang cukup panjang sudah masuk ke dalam satu tahap melakukan normalisasi terhadap kapitalisme. Kapitalisme sudah diterima sebagai sesuatu hal yang normal. Jadi tidak lagi bicara soal fakta-fakta empiris, tapi sudah bicara mindset.
Kalau dipandang dari sudut kapitalis, sejak dulu pun sosialisme Bung Karno dipandang tidak relevan. Sudah dari sononya enggak relevan bagi mereka. Sejak pertama kali gagasan sosialisme itu muncul sudah ditolak oleh mereka yang menganut kapitalisme.
Yang menjadi masalah sekarang ini, terjadinya migrasi dari mereka yang seolah-olah pada suatu masa dulu pernah mengatakan sosialisme Bung Karno itu relevan tiba-tiba sekarang ini “murtad”, ganti aliran. Tapi, mereka tidak menyadari.
Menurut saya, yang mereka persoalkan itu bukan pemikiran Bung Karno itu sendiri atau pemikiran Bung Karno itu dikaitkan dengan kenyataan. Tapi, mereka memang berubah. Mereka mengalami suatu proses—termasuk pendidikan harus bertanggung jawab dalam hal ini—menormalkan kapitalisme.
Proses menormalkan kapitalisme itu mulai terjadi sejak kapan?
Dalam konteks Indonesia, saya kira periode yang bertanggung jawab atau proses normalisasi kapitalisme itu periode pemerintahan Soeharto. Kita tahu, ketika Bung Karno merumuskan ekonomi berencana dalam pidatonya di tahun 1959, beberapa waktu setelah keluarnya dekret presiden yang menegaskan kembali ke UUD 1945, termasuk di dalamnya pasal 33, pemerintah pada tahun 1961 resmi membentuk Dewan Perencanaan Nasional, cikal-bakal Badan Perencana Pembangunan Nasional sekarang ini, yang mengimplementasikan gagasan itu.
Hanya saja, tidak lama setelah itu meletus Gestok [Gerakan Satu Oktober] dan terjadi pengalihan kekuasaan. Nah sejak saat itulah terjadi suatu proses yang dalam satu sisi kita sebut proses de-soekarnoisasi, yang intinya adalah segala hal yang bernuansa sosialisme itu dibekukan. Mulailah dikenalkan cara berpikir baru yang mengarah ke kapitalis.
Karena proses itu berlangsung cukup lama, 32 tahun, itulah yang kemudian pelan-pelan mengendap dalam bawah sadar masyarakat, termasuk di lingkungan keluarga, anak-anak dari masyarakat yang dulu merasa pendukung Soekarno. Mereka mengalami proses transformasi yang kemudian meninggalkan ajaran Soekarno dan mulai menormalkan kapitalisme. Ini yang terjadi.
Lalu, bagaimana setelah berakhirnya era Soeharto?
Juga tidak ada tanda-tanda kita mencoba kembali ke ajaran sosialisme Bung Karno. Bahkan, setelah kejatuhan Soeharto, kita malah masuk ke situasi yang lebih parah, yakni masuknya neoliberalisme. Maka terjadilah normalisasi kapitalisme secara lebih massif, terstruktur, dan sistematis. Yang mencolok sekali, adanya privatisasi, yang kemudian ada perdagangan bebas.
Maka, kesenjangan antara kaya dan miskin pun semakin melebar….
Ya. Yang menarik adalah perkembangaan indeks gini. Selama pemerintahan Soeharto, indeks gini yang menggambarkan kesenjangan antara si kaya dan si miskin itu tidak pernah sampai pada angka 0,4. Hanya berkisar 0,32, 0,35, atau 0,37. Justru setelah era Soeharto dan terutama sekali pada tahun-tahun terakhir ini, indeks gini naik kencang sekali. Sudah tidak lagi naik 0,37, tapi sudah naik ke 0,40, 0,41, dan 0,42. Inilah yang kemudian menjelaskan, dilihat dari sudut tujuan mewujudkan keadilan, era pasca-Soeharto justru jauh lebih jelek. Angka-angka dengan jelas sekali menunjukkan itu.
Kemudian, kalau kita merujuk hasil survei Bank Dunia sebagaimana telah saya sampaikan tadi, itu juga menunjukkan pasca-Soeharto. Begitu pula pemberitaan dari majalah Forbes yang mengatakan pertumbuhan miliader indonesia termasuk paling cepat di dunia. Jadi, data-data itu saling mendukung.
Nah, dengan melihat fakta bahwa kesenjangan antara si miskin dan si kaya semakin melebar, semestinya, apa pun ideologinya, ajaran Soekarno perlu dihidupkan lagi.
Sejauh ini adakah upaya untuk memperbaiki situasi dan kondisi yang sekarang ini masih berjalan?
Saya kira, perlawanan terhadap rezim Soeharto, termasuk terhadap agenda-agenda neoliberal, tergolong massif dan sampai batas-batas tertentu hasilnya antara lain dengan dibatalkannya sejumlah undang-undang, seperti Undang-Undang Kelistrikan, Undang-Undang Migas, dan Undang-Undang Sumber Daya Alam. Ini fakta yang jelas: upaya perlawanan itu tidak sia-sia. Kemudian, pernah dalam masa kampanye 2009, koran The Straight Time di Singapura menurunkan berita “neoliberalisme menjadi ungkapan jorok di Indonesia’.
Jadi, perlawanan itu kencang dan didengar masyarakat internasional. Tapi, di dalam Indonesia sendiri tidak mudah untuk cepat-cepat membersihkan sisa dari normalisasi kapitalisme. Saya kira butuh waktu bagi kita untuk kembali ke kita sendiri. Ini bukan persoalan dulu dan sekarang. Persoalannya, kita ini sudah telanjur menjadi korban pencucian otak.
Sedikit memberi gambaran untuk ilustrasi, kita ambil Amerika Serikat sebagai negara yang menjadi otak kapitalisme. Pada tahun 2007 terjadi krisis di Amerika Serikat. Kemudian tahun 2008 terjadi aksi besar yang langsung dialamatkan ke Wall Street. Lalu, muncul propaganda antara 99 persen dan 1 persen. Yang menarik lagi ada sebuah film berjudul Capitalism Love Story. Film itu satire. Konklusi film itu: untuk menyelesaikan problem kesenjangan di Amerika Serikat adalah dengan sosialisme yang dipikirkan Soekarno itu. Ini jelas diungkapkan secara verbal dalam film itu bahwa perlu mengembangkan koperasi, serikat pekerja atau buruh membikin koperasi, memiliki saham perusahaan. Itu semuanya adalah Pasal 33 UUD 1945.
Ini mengungkapkan kepada kita, pemikiran Soekarno bukan sesuatu yang digali tanpa alasan. Ini sebuah pemikiran yang universal, yang tumbuh secara internasional.
Apa yang tejadi sekarang ini sebenarnya telah diantisipasi dengan baik oleh Soekarno. Kenapa Soekarno dulu pernah mengatakan, dengan proklamasi kita memang mengakhiri kolonialisme, tapi tantangan ke depan jauh lebih berat? Kenapa? Karena, beliau mengingatkan riak-riak kolonialisme itu akan kembali dengan neokolonialisme.
Apakah pemerintahaan sekarang ini dengan mengusung Nawacita sudah menggambarkan sosialisme yang digagas Bung Karno?
Saya harus jujur mengatakan, kita ini semuanya, presiden, wakil presiden, para menteri, berikut orang-orang di kementerian kan produk zaman. Saya kira kita sekarang ini kan enggak pernah ketemu Bung Karno. Kita lahir pada era sesudahnya. Sebagian besar dibesarkan oleh rezim Soeharto, yang tidak sempat lagi membaca buku Di Bawah Bendera Revolusi dan Indonesia Menggugat. Siapa yang pernah baca? Buku itu dihilangkan semua. Ada ketetapan MPR di era Soeharto yang melarang perluasan atau penyebaran. Maka, siapa yang bisa baca? Enggak ada.
Ketika masih kecil, semasa pasca-Gestok, saya masih ingat masyarakat diminta mengumpulkan buku di lapangan untuk dimusnahkan. Saya menilai ini sebuah kejahatan kebudayaan. Bukan hanya partai yang dilarang, tapi sampai karya-karya, pemikiran, buku-buku dimusnahkan.
Nah, generasi yang dibesarkan pada era berikutnya, ya, tersesat. Dan, itu dilakukan secara terstruktur, masif, dan sistematis melalui lembaga pendidikan dari tingkat sekolah dasar. Saya ingat dulu, sewaktu sekolah dasar, diminta menonton film-film seperti pemberontakan G30S PKI. Jadi mau bilang apa kita?
Sebagai manusia biasa, mereka adalah anak zaman. Bagaimana kita mau menyalahkan mereka karena sejak sekolah sudah dikenalkan itu. Jadi, saya agak susah untuk menjelaskan. Kita ini korban dari proses de-soekarnoisasi oleh rezim Soeharto. Sudah sedemikian parahnya de-soekarnoisasi yang dilakukan rezim Seoharto, sehingga perlu kerja besar untuk mengenalkan kembali pemikiran-pemikiran Soekarno.
Mengulang pertanyaan, apakah dengan Nawacita bisa mengembalikan sosialisme Indonesia seperti yang digagas Bung Karno?
Secara tersamar, saya ingin mengatakan, ini sulit. Saya ingin bercerita, kebetulan saya jadi peserta Rapat Kerja Nasional PDI Perjuangan di Semarang. Saya ingat, keputusan rakernas pada waktu itu adalah Jokowi dan JK diminta menyusun kabinet Trisakti sebagai upaya untuk menyambung ke pemikiran Bung Karno. Saya berharap-harap cemas nama kabinetnya Trisakti. Ternyata tidak dan berubah menjadi Kabinet Kerja.
Sebenarnya, itu kan tanda-tanda awal yang membuat kita sedikit menjadi waspada. Lalu, kita melihat susunan anggota kabinetnya. Ternyata, dengan bahasa yang agak sopan, “ya, namanya pemerintahan koalisi”, ya, enggak bisa lagi dikawal bahwa semua anggota kabinet itu benar-benar paham Soekarno atau punya ketertarikan.
Nah, yang bisa kita jadikan harapan kemudian adalah visi dan misi presiden terlepas apa kabinetnya, siapa anggota kabinetnya. Visi dan misi presiden sudah dirumuskan dengan nama Nawacita itu.
Pada tingkat konsep sebenarnya peluang itu ada untuk menyambungkan ke Soekarno, Trisakti dan Nawacita. Tapi kemudian ada lagi kelirumologi ketika Nawacita disusun secara resmi menjadi dokumen negara melalui RPJM. Karena, ternyata,RPJM itu sudah disusun sebelum Jokowi terpilih menjadi presiden. RPJM sudah disiapkan. Jadi, Nawacita hanya ditempelkan di bagian depan saja, sedangkan di belakangnya sudah disiapkan rencana sebelum Jokowi terpilih.
Apakah itu tak bisa diubah?
Sebenarnya bisa. Tapi, itu kan baru satu dokumen yang kebetulan berhubungan dengan proses pergantian pemerintah. Yang lebih berat adalah pemerintahan yang dibentuk sekarang kan semuanya tidak bisa lari dari ribuan undang-undang yang harus dipatuhi. Kalau mau diubah, ya, diproses lagi perubahannya, apakah itu Undang-Undang Sistem Perencanaan Nasional, Undang-Undang BUMN, Undang-Undang Koperasi, atau undang-undang apa pun
Jadi, sebenarnya, harapannya, pemerintahan Jokowi- JK bisa bekerja secara konsisten dengan gagasan besar Bung Karno, yakni sosialisme Indonesia. Tidak bisa tidak, kita harus bekerja secara sistematis, terstruktur, dan masif.
Harus dikenali benar dengan diagnosa mendasar mengenai problem besar dan bahwa yang sekarang kita hadapi adalah warisan suatu rezim yang dimulai sejak Soeharto. Kemudian harus ada agenda yang jelas bagaimana melakukan rekoreksi. Kalau kita terus dengan kondisi kontekstual yang ada, ya, enggak ke mana-mana kita. Harus ada agenda yang jelas-jelas harus disusun untuk melakukan koreksi ulang terhadap apa yang telah diperbuat rezim Soeharto dan rezim sesudahnya. [PUR]