Kita Hanya Butuh 50 Bank Umum

Sulindomedia – Jumlah bank di Indonesia termasuk tertinggi di dunia. Saat ini tercatat ada 118 bank umum dan 1.800 bank perkreditan rakyat (BPR) yang tersebar di Tanah Air. Karena itu perlu langkah konsolidasi untuk mengurangi jumlah bank melalui merger dan akuisisi agar memudahkan dalam pengawasannya. Hal itu disampaikan Fauzi Ichsan, anggota Dewan Komisioner merangkap Direktur Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), menanggapi soal pengawasan terhadap bank gagal berdampak sistemik.

“Jumlah bank yang sekarang sangat banyak sehingga sulit untuk mengawasi semuanya. Idealnya, kita butuh sekitar 50 bank umum serta BPR setengah dari jumlah yang ada sekarang, supaya lebih efisien dan siap bersaing,” katanya.

Menurut Fauzi, disahkannya Undang-Undang tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) merupakan langkah positif untuk menciptakan bank yang sehat sekaligus mengamankan uang negara. Ini terlihat dari bergesernya mekanisme bail out yang diganti dengan bail in, ketika bank yang berdampak sistemik akan dipantau dan dipaksa menyelesaikan masalah keuangannya ketimbang mengandalkan suntikan dari APBN.

Selanjutnya, dana bail in yang berasal dari LPS dalam bentuk pinjaman harus dikembalikan melalui premi. Bail in lebih berfokus pada pencegahan krisis, sehingga suntikan likuiditas diberikan sebelum sebuah entitas dinyatakan gagal bayar.

Sejauhmana LPS memiliki kekuatan dana dalam mekanisme bail in tersebut serta kemungkinan terdapat bank yang gagal berdampak sistemik, berikut petikan wawancara wartawan Suluh Indonesia Aris Setianto dengan Fauzi Ichsan.

Sejauh ini adakah bank yang mengalami gagal berdampak sistemik?

Sejauh ini belum ada. Kami belum menerima laporan dari Otoritas Jasa Keuangan, OJK, terhadap bank yang berpotensi mengalami gagal dan berdampak sistemik. Sebelumnya ada, yakni Bank Century, yang berdampak sistemik dan perlu dilakukan penyelamatan. Kemudian, secara umum, LPS yang dibentuk tahun 2005 mencatat ada 67 BPR dan bank umum IFI yang dilikuidasi, tapi tidak berdampak sistemik.

Bagaimana mekanismenya sehingga bank dinyatakan gagal berdampak sistemik?

Selama ini, fungsi pengawasan lembaga keuangan ditangani OJK. Secara sederhananya, bank yang masih jalan diawasi OJK. Selama OJK belum melimpahkan bank gagal ke LPS, situasi perbankan masih aman.

LPS, sebagai lembaga yang menjamin simpanan nasabah di bank, baru akan dilibatkan OJK ketika bank dalam penanganan khusus. Saat itulah kami lakukan spesifikasi terhadap seluruh aset bank yang sakit, yang bisa dikonversi menjadi saham . Apabila dana tidak cukup, LPS menerbitkan obligasi yang bisa dijual ke pasar. Kalau masih tidak cukup juga, LPS meminta presiden untuk menggali sumber dana perbankan.

LPS dimungkinkan mengajukan pinjaman ke pemerintah, kemudian pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN). Hasil penerbitan SBN tersebut akan dipinjamkan ke LPS yang harus dikembalikan kepada pemerintah. LPS juga dapat mengajukan pinjaman ke Bank Indonesia dengan jaminan pemerintah.

Sejauh mana anjloknya rupiah berdampak pada bank? Bukankah berpotensi menimbulkan kredit macet?

Secara umum, tingkat kecukupan modal industri perbankan rata-rata masih bagus, di atas 20 persen. Gross NPL juga masih rendah, di bawah 2,6 persen. Jadi, belum ada potensi bank gagal yang dapat berdampak sistemik akibat pelemahan nilai tukar rupiah. Jadi, bisa dibilang masih aman.

Dana yang dihimpun LPS sekitar Rp 67 triliun. Apakah itu cukup untuk menanggulangi jika ada bank yang bangkrut?

Dana ini tertinggi dalam sejarah. Nilainya sekitar Rp 67 triliun. Dibandingkan saat LPS menangangi kasus Bank Century, dana yang ada di LPS hanya Rp 14 triliun. Terlebih lagi kondisi perbankan kita saat ini jauh dari krisis. Jadi, masih relatif aman.

Value paling signifikan apa yang bisa ditanggulangi dengan mekanisme bail in?

Yang signifikan adalah mengamankan uang APBN. Berbeda dengan bail out, yang upaya penyehatan bank dilakukan melalui suntikan likuiditas langsung dari APBN, mekanisme bail in berasal dari LPS dalam bentuk pinjaman. Dana bail in tersebut harus dikembalikan melalui premi. Dan yang juga perlu diingat, bail in lebih berfokus pada pencegahan krisis, sehingga suntikan likuiditas diberikan sebelum sebuah entitas dinyatakan gagal bayar. [PUR]