KPU memang hanya menindaklanjuti atau memverifikasi laporan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri. Padahal, pihak yang memasukkan nama pemilih itu adalah KPU, sebagaimana disinggung Zudan.
Menurut Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi, 17 provinsi itu sudah cukup untuk menyisir WNA yang masuk DPT. “Anda mau cari apa ke-514 KPU kabupaten/kota? DPT kita itu kan 192 juta. Masa mau disisir satu per satu? Kan kita sudah punya data 103 nama, sudah lebih target. Kan sudah ketahuan barangnya, berarti enggak perlu buka yang lain,” ujar Pramono, Selasa (5/3).
Ditegaskan Pramono, 103 itu data dari Kemendagri. “Yang kemudian kami buka satu per satu dan dari hasil penyisiran itu kami ketahui tersebarnya hanya di 17 provinsi dan 54 KPU kabupaten/kota. Karena yang kami cari sudah ada, tinggal ditemukan saja orangnya,” katanya.
Jadi, KPU hanya melakukan pengecekan ulang di 17 provinsi, tidak se-Indonesia. Padahal, masih tersedia banyak waktu bagi KPU untuk melakukan penyisiran ulang.
Apalagi, menurut anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Mochamad Afifuddin, tidak menutup kemungkinan data WNA yang masuk DPT dapat bertambah. Bawaslu bahkan terus melakukan pengecekan terhadap potensi tambahan data tersebut. “Jajaran kami tentu mengecek, 103 dari data yang dicek dari sebanyak 1.680 WNA yang sudah memiliki e-KTP berdasarkan data Dukcapil Kemendagri,” kata Afif kepada wartawan di Jakarta, Selasa lalu juga.
Diungkapkan Afifuddin, 103 WNA yang masuk DPT itu juga tercatat di Tempat Pemungutan Suara (TPS). “Nomor TPS-nya segala lengkap. Nama, segala macam,” ujarnya.
Bawaslu menilai, kasus ini ini berbahaya bagi keberlangsungan pemilu. “Berbahaya, makanya harus dibersihkan,” kata Afif.
Kasus ini, lanjutnya, mengindikasikan proses pencocokan dan penelitian daftar pemilih yang belum sempurna. Seharusnya, data pemilih yang tidak berhak harus sudah dipastikan sejak awal proses pencocokan dan penelitian DPT.
Ditegaskan Afif, potensi kecurangan pemilu rawan berasal dari DPT. Ini terbukti dari sejumlah pemilihan yang dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir. “Kecurangan paling dominan itu soal DPT ini dan ini terbukti berulang, kejadian-kejadian mengulang beberapa pelaksanaan pemilu sebelumnya, karena tantangan kita di pendataan,” ujarnya.
Namun, bagi Wakil Presiden Jusuf Kalla, masuknya nama WNA ke dalam DPT Pemilu 2019 akibat kesalahan administrasi pencatatan di tingkat bawah. Kemungkinan aparatur di daerah kurang cermat membedakan e-KTP untuk WNI dan untuk WNA.
Dijelaskan JK, WNA memang diberikan kesempatan untuk mendapatkan kartu identitas seperti KTP. “WNI yang punya izin tinggal di luar negeri, seperti di Amerika Serikat, juga mendapatkan kartu identitas,” kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jalan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (5/3), sebagaimana dikutip banyak media.
Hanya saja, kata JK lagi, fungsi kartu itu hanya sebagai kartu identitas. WNA tetap tak bisa punya hak pilih dalam pemilu. Kartu tersebut digunakan untuk memudahkan daripada setiap hari membawa paspor. Karena, cukup merepotkan bagi para WNA jika harus membawa paspor ke mana-mana setiap hari.
Mengapa aparatur di daerah bisa kompak tidak cermat di 17 provinsi? Tidakkah potensi munculnya masalah yang berbahaya ini telah diantisipasi jauh-jauh bulan atau tahun? [PUR]