Kisah Tragis Anak-Anak Indonesia-Eropa di Masa Kolonial

Di balik gemerlapnya sejarah kolonialisme yang melibatkan Belanda di Nusantara, terdapat kisah kelam yang menyelimuti derita anak-anak Indonesia-Eropa hasil Nyai dan tuannya. Nyai, seorang wanita pribumi, hidup dalam rumah tangga tanpa ikatan pernikahan dengan pria Belanda, menjalankan tugas yang tak hanya sebatas membersihkan rumah atau mengawasi pembantu, tetapi juga ‘melayani’ tuan Belanda. Dampaknya, muncullah generasi anak Indonesia-Eropa, keturunan campuran antara pribumi dan Eropa, yang pada masa kolonial menjadi komunitas terbuang.

Anak-anak yang dilahirkan dari rahim nyai ini menghadapi ketidakjelasan status, tidak diakui oleh masyarakat kulit putih maupun masyarakat pribumi. Meski beberapa anak hasil pergundikan diakui ayahnya dan mendapatkan nama eropa. Contohnya seperti Annelies Mellema di sebuah film bumi manusia. Annelies Mellema seorang Indonesia-Eropa dari Herman Mellema dan nyai Ontosoroh.

Annelies Mellema di akui oleh ayahnya Herman Mellema sehingga Annelies bisa menyandang nama Mellema. Namun, sebagian besar anak yang tidak diakui terpinggirkan, terutama dalam hal pekerjaan. Mereka banyak yang terpaksa bekerja sebagai tukang, penjahit, dan dalam profesi-profesi rendah lainnya. Tingginya tingkat pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan menghantui kehidupan komunitas Indonesia-Eropa.

Sudah sejak masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), anak hasil hubungan tuan-gundik diperlakukan dengan buruk. Peraturan VOC tahun 1715 bahkan mencatat larangan mengangkat keturunan campuran menjadi pegawai VOC, terlebih bila terdapat orang kulit putih yang memiliki potensi yang sama. Gubernur Jenderal C Van der Lijn pada tahun 1649 juga mengeluarkan aturan yang melarang perempuan yang lahir di negeri jajahan, terutama anak perempuan hasil pergundikan, pergi ke Belanda tanpa izin khusus.

Anak-anak Indonesia-Eropa tidak hanya kehilangan hak istimewa untuk mengenyam pendidikan Eropa, terlebih di Royal Academy Delft, tetapi juga sulit meraih posisi tinggi di pemerintahan. Hanya lulusan Royal Academy Delft yang diangkat sebagai pejabat Eselon, meninggalkan anak-anak Indonesia-Eropa di pinggiran dalam kancah politik dan administratif.

Dalam perjalanan sejarah yang kelam ini, derita anak-anak Indonesia-Eropa di masa kolonial menjadi cermin ketidakadilan sosial dan kebijakan diskriminatif yang terus mengakar dalam sejarah bangsa. [UN]