Tatiana Lukman (penulis) bersama Sobron Aidit, istri dan tiga kawan lainnya di depan hotel dalam salah satu kunjungan di Tiongkok. Tercerminkah wajah orang-orang yang “dihukum”, “disiksa” dan “sasaran” RBKP? [Foto: Dokumentasi Pribadi]

Koran Sulindo – Seorang teman memberi tahu tentang tulisan wartawan Irfan Teguh dengan judul Cerpen yang Memicu Perdebatan Lama tentang Trotskyisme. Tidak menyangka kritik terhadap cerpen Melarung Bro di Nantalu yang saya tulis lebih dari enam bulan lalu menarik perhatian reporter Tirto.id.

Kudeta merangkak yang disertai pembantaian, penghilangan paksa, penyiksaan dan pemenjaraan jutaan rakyat tak berdosa telah menegakkan kediktatoran militer fasis Soeharto. Perubahan drastis dalam haluan politik negara Indonesia telah membuat ribuan orang Indonesia yang ketika itu ada di luar negeri dan setia kepada pemerintah Soekarno tidak bisa pulang ke Tanah Air. Sejumlah besar dari mereka kebetulan berada di Tiongkok. Jumlahnya bertambah besar dengan kedatangan mereka yang tinggal di Uni Soviet dan negeri-negeri Eropa Timur.

Sejak pertengahan 60-an, rakyat Tiongkok di bawah pimpinan Mao melancarkan Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP). Tesis Mao yang mendasari RBKP adalah kontradiksi dan perjuangan kelas masih ada dalam periode transisi sosialis yang akan makan waktu panjang. Kemenangan sosialisme belum definitif, maka perlu meneruskan revolusi di bawah kondisi kediktaturan proletariat.

Pengkhianatan kaum revisionis modern Uni Soviet kepada sosialisme sejak Kongres Partai Komunis Uni Soviet ke-20, pada 1956, telah membuat rakyat berbagai negeri berpaling kepada Tiongkok sebagai sumber inspirasi perjuangan melawan neo-kolonialisme dan imperialisme. Klik revisionis modern Khrushchov telah mengakhiri peran Uni Soviet sebagai sumber inspirasi dan dukungan bagi perjuangan rakyat sedunia untuk pembebasan nasional dan keadilan sosial. Ini tercermin dalam sikap Uni Soviet yang tidak mengutuk kudeta militer Soeharto 1965. Inilah salah satu sebab timbulnya arus orang Indonesia meninggalkan Uni Soviet dan negeri Eropa Timur lainnya menuju pusat revolusi dunia ketika itu: Peking (Beijing).

Selama satu dekade berlangsungnya RBKP, semangat berontak kaum muda Tiongkok melawan kaum revisionis di dalam partai dan pemerintah yang mengambil jalan kapitalisme telah menginspirasi dan mendorong kaum pemuda di berbagai negeri untuk terjun dalam perjuangan mendobrak sistim yang berdasarkan pada penghisapan dan penindasan guna membangun hari depan sosialis.

Kalau mereka yang tidak langsung menyaksikan RBKP saja bisa merasakan pengaruh revolusionernya, apa lagi orang-orang asing yang tinggal di Tiongkok. Adalah normal kalau gelombang belajar pikiran Mao Zedong juga menyentuh masyarakat asing yang tinggal di berbagai kota di Tongkok. Itulah periode yang saya gunakan untuk mengenal dan mempelajari karya Mao. Berakhir periode belajar dan tidak ada lagi kemungkinan untuk menimba pengetahuan lebih jauh, maka saya tinggalkan Tiongkok.

Bahaya restorasi kapitalis sudah dicanangkan Mao selama RBKP berkobar. Bahaya itu tidak datang dari serangan kaum imperialis, melainkan dari dalam Partai Komunis Tiongkok. Mao meninggal 9 September 1976. Kemudian, 6 Oktober 1976, kudeta dilakukan oleh komplotan Hua Guofeng, Marsekal Ye Jianying, Jenderal Wang Dongxing, Li Xiannien dan pejabat tinggi partai dan tentara lainnya. Jiang Qing, istri Mao dan anggota politbiro, Zhang Chunqiao, wakil perdana menteri, Wang Hongwen, wakil ketua PKT dan Yao Wenyuan, anggota politbiro diundang untuk menghadiri rapat politbiro.Ternyata sebuah perangkap untuk menangkap keempat pemimpin dan pengikut setia garis revolusioner Mao.

Segera setelah itu, dimulai gelombang penangkapan dan persekusi terhadap hampir semua pengikut Mao yang mencapai puluhan juta. Mereka ditangkap dan dianiaya dengan kejam. Ambil contoh di Provinsi Zhejiang, dari 1976 sampai 1980, semua wakil rakyat yang duduk dalam pimpinan di berbagai tingkat, tak perduli dari massa, tentara, kader veteran partai, aktivis akar rumput di tim produksi desa menjadi sasaran persekusi dan penangkapan. Aktivis RBKP yang ditangkap dan dianiaya mencapai lebih dari empat juta orang. Di wilayah Taizhou, hanya di lembaga pemerintah, dua orang ditembak, 11 orang bunuh diri, 23 orang dijatuhi hukuman penjara, 50 orang dipecat dari partai, 3.200 guru dipecat dari pekerjaannya. (The Paris Commune in Shanghai: the Masses, the State, and Dynamics of “Continuous Revolution” oleh Hongsheng Jiang)

Sejak klik revisionis yang dipimpin Deng Xiaoping memegang kekuasaan dalam partai dan negara, dimulailah reformasi kapitalis yang setahap demi setahap menghancurkan basis ekonomi sosialis yang sudah dibangun rakyat Tiongkok di bawah pimpinan Mao. Perubahan watak kelas Partai Komunis tercermin dalam kebijakan dan keberpihakannya. PKT di bawah pimpinan Mao adalah partai kelas buruh dengan kaum tani sebagai sekutu terpercaya dan terdekat. Mao tidak takut massa berdemonstrasi atau buruh mogok, malah mendorong mereka untuk mengeluarkan pendapatnya dengan bebas. Mao tidak akan pernah mengizinkan Tentara Pembebasan Rakyat menindas aksi protes di lapangan Tiananmen 1989.

Sebaliknya, PKT di bawah Deng Xiaoping berpihak kepada kaum kapitalis untuk melakukan pengisapan terhadap kaum buruh dan kaum pekerja lainnya. Kaum buruh dan kaum tani yang berani menuntut hak-haknya, kaum Maois yang mendirikan grup-grup studi Marxisme-Leninisme dan Fikiran Mao Zedong mengalami penindasan dan persekusi.

Orang-orang Indonesia yang mendapat perlindungan pada zaman Mao, begitu Deng berkuasa, dihadapkan pada pilihan: kalau ingin terus tinggal di Tiongkok, dilarang melakukan kegiatan politik. Kalau masih mau berpolitik, akan dibantu untuk meninggalkan Tiongkok. Deng tahu bahwa orang-orang ini tinggal di Tiongkok karena pilihan politik, bukannya karena mau berturisme. Deng ingin menunjukkan kepada Jenderal fasis Soeharto kesediaannya untuk memulihkan hubungan diplomatik melalui tindakan mengusir orang-orang komunis dan progresif dari negerinya.

Kisah Bro di Cerpen Martin
Sampailah akhirnya kita pada cerita si Bro di cerpen Martin Aleida yang saya kritik karena pemutarbalikan fakta dan fitnah terhadap Tiongkok sosialis dan Mao Zedong yang telah mengulurkan tangan solidaritasnya kepada orang-orang Indonesia yang menentang kudeta militer Soeharto. Bro termasuk mereka yang meninggalkan Tiongkok setelah Deng berkuasa. Kalau mau membenci Tiongkok, bencilah Tiongkok kapitalis Deng yang telah mengusirnya. Jangan mencampur aduk Tiongkok sosialis dengan Tiongkok kapitalis-imperialis!

Sejak tinggal di negeri Belanda, bergaul dan turut serta dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan komunitas Indonesia, perlahan-lahan saya menjadi sadar akan perubahan sikap dan pikiran orang-orang yang dulu ideologinya (saya anggap) sudah tinggi dan punya kedudukan tertentu dalam organisasinya, dibanding dengan saya yang tidak tahu apa-apa.

Ketika terjadi pembantaian pada 1965/66, tak terhitung jumlahnya mereka yang mengalami penyiksaan kejam di tangan para algojo sadis. Tak heran mereka yang tak tahan siksaan akhirnya mengkhianati keyakinan dan kawan-kawannya. Ternyata itu tidak terjadi di Indonesia saja. Tanpa mengalami kelaparan, kedinginan, atau siksaan, dengan suka rela sementara orang bersedia to sell his soul to the devil.

Kebohongan seperti yang diceritakan di Melarung Bro di Nantalu, saya temukan juga dalam wawancara Agam Wispi yang dimuat majalah Tempo. Begini fiksi Agam: ”Kami pergi ke desa-desa menjalani re-edukasi. Kami disuruh mengangkat tahi dengan tangan. Banyak yang diserang disentri dan lever. Bersama beberapa kelompok saya berontak.”

Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Seperti Bro, Agam Wispi juga pernah tinggal satu kompleks dengan saya. Saya kenal sekali Agam Wispi. Setiap hari ia selalu datang ke tempat Fransiska Fangiday yang tinggal satu gedung dengan saya. Saya senang sekali mendengar cerita dan pengalaman mereka dalam perjuangan. Di samping itu masih ada satu hal lagi yang mendekatkan kami: musik klasik. Obrolan berhenti kalau Fransiska pasang plat Chopin piano concerto Nomor 1. Sekeliling kami terasa sunyi, hanya terdengar alunan piano. Sesekali terdengar bisikan tante Siska: “aduuuh, manisnya.”

Saya jadi bertanya-tanya kapan Agam dipaksa angkat tahi dengan tangannya? Siapa yang kena disentri? Tak sekalipun saya dengar ada kawan yang kena disentri. Memang di antara orang Indonesia ada yang sakit lever. Tapi penyakit itu tidak didapatnya di Tiongkok atau disebabkan karena kerja keras, makan kurang dan angkat tahi di Tiongkok. Bisa jadi ditemukan penyakit itu ketika sudah di Tiongkok, tapi sebetulnya di Indonesia sudah kena lever, tapi tidak ketahuan.

Dan itu logis. Mana ada aktivis politik yang makanannya bergizi dan hidup sehat? Jangan lupa ketika itu ada orang-orang Indonesia yang memang datang ke Tiongkok untuk berobat. Delegasi orang sakit. Bukan hanya sakit lever. Ada yang sakit paru-paru, diabetes dan sebagainya. Saya tidak tahu penyakit apa saja yang mereka derita. Yang jelas perhatian tak kurang kepada mereka yang sakit. Juga tersedia sanatorium.

Kemudian tentang re-edukasi. Apa bentuk re-edukasi yang dimaksud Agam? Yang jelas kami sering diundang berkunjung ke desa untuk mendengarkan cerita bagaimana kaum tani turut serta dalam perjuangan kelas dan belajar Fikiran Mao Zedong. Kemudian diundang nonton opera Peking, balet, sendratari, konser piano dengan tema-tema baru yang lahir dalam RBKP. Tidak ada paksaan untuk menerima undangan ini. Siapa yang tak tertarik, bisa saja tinggal di asrama. Ketika itu sedang terjadi perubahan besar untuk merevolusionerkan seni dengan menampilkan buruh, tani dan prajurit sebagai tokoh-tokoh utamanya. Mereka bahagia dan bangga dikunjungi orang asing yang mendukung Revolusi yang sedang mereka lancarkan. Apakah ini yang dimaksud re-edukasi?

Agam bicara tentang pemberontakan. Saya tertawa terbahak-bahak ketika membaca Agam berontak. Berontak melawan siapa? Ia meninggalkan Tiongkok dan tunduk kepada orang-orang revisionis di Republik Demokratik Jerman. Padahal, ketika itu, pada umumnya orang Indonesia yang tinggal di Tiongkok sangat anti-revisionis, termasuk Agam. Tapi, demi izin tinggal di Jerman Timur, ia buang “anti-revisionisnya”. Sementara itu, orang-orang yang anti-revisionis, berbondong-bondong pergi ke Tiongkok. Maka itu timbul pertanyaan, Agam berani berontak melawan siapa?

Semua orang berhak meninggalkan keyakinan dan cita-cita yang pernah dianut dan diperjuangkannya. Yang memuakkan dan lebih lanjut merendahkan diri mereka sendiri adalah perbuatan menyebar kebohongan, fitnah dan pemutarbalikan fakta. Apakah sebuah tindakan terpuji mengejar kemenangan sayembara dengan menggunakan penderitaan orang yang dulunya satu barisan? Tatiana tidak menarik buat Martin Aleida karena menolak menceritakan kisah hidupnya untuk kemudian dijadikan objek guna lebih lanjut mengharumkan namanya. [Tatiana Lukman]