Koran Sulindo – Awalnya kita tidak begitu tertarik tentang sebuah kisah penembakan seorang pencuri yang menjadi buronan di Washington D.C. oleh seorang lelaki yang sedang membawa tas. Seorang pembawa pizza yang menyaksikan pembunuhan itu ikut bernasib nahas karena ikut ditembak kemudian mengalami koma.
Tidak ada yang aneh dalam peristiwa ini. Apalagi yang ditembak itu seorang buronan. Sampai pada saat seorang wanita muda ditemukan tewas di pagi hari karena tertabrak kereta. Ia diduga bunuh diri. Hasil penyelidikan sementara polisi Washington menyimpulkannya demikian.
Akan tetapi, kasus itu menarik perhatian wartawan investigasi setelah identitas wanita muda itu terkuak. Ia adalah Sonia Baker (Maria Thayer). Seorang wanita yang bekerja sebagai bawahan anggota Kongres Amerika Serikat (AS) Stephen Collins (Ben Aflleck). Collins punya pengalaman militer dan memimpin penyelidikan ke PointCorp, sebuah perusahaan kontraktor yang sarat dengan masalah.
Karena Baker merupakan seorang sekretaris anggota Kongres, kematiannya lantas menimbulkan banyak spekulasi. Terutama karena diduga punya hubungan “khusus” dengan Collins. Wartawan Cal Mccaffrey (Russel Crowe) dari Washington Globe mengetahui kematian Baker lewat pemberitaan. Pun begitu dengan Della Frye (Rachel McAdams) yang juga wartawan dari Washington Clobe.
Cal sudah lama mengenal Baker. Sudah berteman sejak mereka masih menjadi mahasiswa. Ia tidak percaya Baker bunuh diri. Terutama karena Baker bekerja untuk Collins, anggota Kongres itu. Ia karena itu membuat hipotesis bahwa Baker dibunuh. Dari situ pula ia memulai penyelidikannya.
Kisah ini mengingatkan kita atas apa yang terjadi dalam skandal jaksa Pinangki Sirna Malasari belakangan ini. Semua bermula ketika Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang tampak berkeluh kesah di Komisi III DPR tentang keberadaan buronan kasus korupsi cessie Bank Bali Joko Tjandra yang sudah di Indonesia selama tiga bulan.
Informasi itu, kata Burhanuddin, membuatnya sakit hati. Terlebih ia baru tahu perihal itu. “Baru sekarang terbukanya,” kata Burhanuddin seperti dikutip kompas.com dalam rapat dengan Komisi III pada akhir Juni lalu.
Persis seperti kematian Baker dalam film State of Play itu. Tidak ada yang aneh ketika seorang pejabat hukum menyampaikan tentang keberadaan seorang buronan yang mampu menyelundup ke Indonesia. Tetapi, karena itu diucapkan seorang pemimpin tertinggi Kejaksaan Agung, tentu saja menimbulkan spekulasi dan pertanyaan di publik. Mengapa Joko Tjandra bisa masuk Indonesia? Bagaimana caranya? Siapa yang membawanya masuk Indonesia? Bukankah sosok ini masih menyandang status buronan internasional?
Sejak itu, skandal masuknya Joko Tjandra menggelinding bak bola salju. Menghantam siapa saja. Kali pertama isu ini menghantam Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, lalu berlanjut ke Kepolisian RI hingga akhirnya terkuak foto-foto jaksa Pinangki bersama Joko Tjandra dan Anita Kolopaking di Malaysia. Nama terakhir ini merupakan kuasa hukum Joko Tjandra. Pernyataan Burhanuddin di Komisi III itu ibarat menepuk air di dulang terpercik muka sendiri.
Maksud Burhanuddin mungkin baik ketika bersuara di Komisi III pada waktu itu. Terutama ingin menyampaikan bahwa ada pihak-pihak secara sengaja “membantu” Joko Tjandra masuk ke Indonesia walau berstatus buronan. Benar, pernyataan Burhanuddin itu tidak menuduh orang atau lembaga. Namun, belakangan beberapa jenderal di Polri mendapat hukuman, selain membantu Joko Tjandra membuat surat palsu, mereka juga ditetapkan sebagai tersangka penerima suap.
Untuk membuat terang skandal tersebut, Polri meresponsnya dengan cepat. Tim yang dipimpin Kabareskrim Listyo Sigit Prabowo bergerak menjemput Joko Tjandra di Malaysia pada akhir Juli lalu. Sesampainya di Indonesia, penyidik Polri langsung memeriksa Joko Tjandra dan Anita Kolopaking. Hasilnya, Joko Tjandra, Anita Kolopaking, Brigjend Prasetijo Utomo, Tommy Sumardi dan Irjen Napoleon Bonaparte ditetapkan sebagai tersangka.
Setelah itu, bola salju skandal Joko Tjandra ini justru berbalik ke Kejaksaan Agung. Terutama karena foto-foto jaksa Pinangki bersama Joko Tjandra dan Anita Kolopaking itu. Juga muncul foto Anita Kolopaking bersama Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Anang Supriatna.
Tetapi, dari semua pemeriksaan di Kejaksaan Agung hanya Pinangki yang menjadi tersangka. Anang yang bertemu dengan Anita kuasa hukum Joko Tjandra itu pun dinilai tidak melanggar etika. Penetapan tersangka Pinangki pun tidak terlepas dari besarnya sorotan publik. Ia diduga menerima US$ 500 ribu. Menyusul Joko Tjandra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Lalu mengapa Kejaksaan Agung begitu lamban dalam memproses Pinangki? Siapa Pinangki? Apa hubungannya dalam kasus ini? Dan bagaimana ia bisa berhubungan dengan Joko Tjandra? Benarkah ia sosok yang “istimewa”? Bagaimana pula hubungan Pinangki dan Jaksa Agung Burhanuddin? Dan mengapa pada saat skandal ini menjadi sorotan, gedung Kejaksaan Agung terbakar?
Cerita jaksa seperti Pinangki ini bukanlah sesuatu yang baru. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono juga dikenal jaksa Cirus Sinaga yang ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan pemalsuan surat rencana penuntutan. Ia juga dikaitkan dengan dugaan mafia hukum dalam penanganan perkara Gayus Tambunan, mantan pegawai Dirjen Pajak yang memiliki kekayaan fantastis. Kasusnya pada waktu itu ditangani oleh Bareskrim Mabes Polri.
Seperti Cirus, Pinangki dalam skandal Joko Tjandra juga berada dalam pusaran mafia hukum. Ia hanya menjabat sebagai Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan. Pejabat eselon IV, level terendah di lingkungan Kejaksaan Agung. Akan tetapi, ia rupanya bisa menemui buronan kakap Joko Tjandra hanya berbekal jabatannya itu. Ia juga bukan seorang penyidik sehingga memunculkan pertanyaan besar, dalam rangka apa ia menemui Joko Tjandra.
Itu sebabnya, Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak tidak percaya Pinangki bermain sendiri dalam kasus ini. “Inilah yang harus dilakukan penyidikan pro-justicia untuk mengungkap semua, siapa yang terlibat di situ, termasuk yang diduga kekuatan besar itu siapa,” kata Barita seperti dikutip kompas.com pada akhir Agustus lalu.
Jejak Pinangki
Dari rekam jejaknya sebagai jaksa juga tidak ada prestasi yang istimewa dari Pinangki. Bahkan namanya justru acap menimbulkan kontroversi. Dalam kasus penangkapan jaksa Sistoyo dari Kejaksaan Negeri Cibinong oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 21 November 2011, nama Pinangki pun disebut-sebut terlibat dalam kasus itu. Sistoyo merasa dijebak mantan Kepala Kejaksaan Negeri Cibinong, Suripto Widodo waktu itu.
Selain itu, Sistoyo merasa ada yang janggal dalam perkara tersebut. Itu berawal dari Surat Perintah Dimulai Penyidikan (SPDP) berkas perkara yang dibawa seorang jaksa bernama Pinangki. Namun, anehnya ketika Sistoyo memerintahkan Pinangki menangani perkara itu justru ditolak. Alasan Pinangki waktu itu dilarang oleh temannya di KPK yaitu Nofel dan Bambang. Justru pada akhirnya Sistoyo ditangkap oleh Nofel dan Bambang.
Masih cerita di Kejaksaan Negeri Cibinong. Dalam sebuah dokumen yang didapatkan wartawan Koran Suluh Indonesia, Pinangki juga pernah kena sanksi penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun. Dalam dokumen tersebut, Pinangki disebut melangkahi wewenang atasannya Kepala Seksi Intelijen. Berduaan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya di ruang kerja atau di kamar istirahat kepala Kejaksaan Negeri Cibinong pada waktu jam kerja.
Selain itu, jejak Pinangki juga terekam menjadi staf di Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) pada 2012. Sementara pada periode 2011 hingga 2014, sosok yang menjabat Jamdatun adalah Sanitiar Burhanuddin yang kini menjabat sebagai Jaksa Agung. Dengan kata lain, perkenalan antara Burhanuddin dan Pinangki sudah terjalin setidaknya sejak 2012.
Jejak Pinangki, Burhanuddin dan Joko Tjandra juga terekam dalam kasus sengketa kepemilikan Gedung Wisma Antara dengan PT Anpa yang ditangani Jamdatun. Sengketa Wisma Antara itu berlangsung selama bertahun-tahun. Bermula dari pembangunan gedung yang dilakukan PT Anpa perusahaan joint venture LKBN Antara dengan Pabema, perusahaan asal Belanda. Komposisi kepemilikannya 20:80 dengan mayoritas milik Pabema.
Pada 1987, saham Pabema berpindah tangan kepada perusahaan C&P Realty Inc asal Singapura. Perusahaan ini di Indonesia diwakili Joko Soegiarto Tjandra dari Grup Mulia. Pada tahun yang sama Joko Tjandra mengajukan pengelolaan gedung dari penanaman modal asing menjadi penanaman modal dalam negeri. Bersamaan dengan pengalihan itu, maka saham PT Anpa yang dimiliki asing berpindah ke PT Mulia Pasific Prima milik Joko Tjandra. Burhanuddin sebagai Jamdatun waktu itu menunda untuk menggugat Joko Tjandra karena LKBN Antara tidak memiliki dokumen asli terkait dengan kepemilikan saham atas gedung itu.
Soal rekam jejak Pinangki dan perkenalannya dengan Burhanuddin yang sudah berlangsung lama, Kepala Pusat Penerangandan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono mengatakan, pihaknya harus mengecek terlebih dulu karena sudah lama. ”Jadi harus dilihat apa benar,” kata Hari saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Hari mengatakan, pihaknya akan fokus kepada perkara yang menjerat Pinangki. Berbeda dengan analisis berbagai pihak termasuk wartawan yang menghubungkan satu cerita ke cerita lain sehingga membuat kasus Pinangi tidak akan pernah selesai.
Lantas apa ujung dari semua ini? Seperti film State of Play itu yang mengungkap konspirasi pembunuhan yang melibatkan kekuasaan, publik juga berharap kebenaran akan terungkap dalam kasus skandal jaksa Pinangki dan Joko Tjandra. Juga menunggu skandal korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum mulai dari Polri hingga Kejaksaan Agung tuntas. Bahkan jika itu melibatkan pimpinan tertinggi dalam lembaga tersebut. Sebab, kita dan juga publik tidak ingin negeri ini dipimpin oleh mereka yang ingin “berkotor-kotor” dalam pusaran mafia hukum. [Kristian Ginting]