Semar, yang sering disebut sebagai tokoh utama Punakawan dalam pewayangan Jawa, Sunda, dan Bali, memiliki peran yang sangat penting dalam berbagai kisah epik seperti Mahabatara dan Ramayana. Legenda mengenai asal-usul Semar menemukan akarnya dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit, Sudamala.
Dalam cerita ini, Semar digambarkan sebagai abdi dari Sadewa, tetapi lebih dari sekadar abdi, ia dikenal sebagai sosok yang selalu menyebarkan humor untuk meredakan ketegangan.
Menurut Mahendra Sucipta dalam Kitab Lengkap Tokoh-Tokoh Wayang dan Silsilahnya, Semar dipercaya sebagai titisan Sang Hyang Ismaya. Pada suatu waktu, Sang Hyang Tunggal memerintahkan Semar untuk turun ke dunia.
Hal ini mengakibatkan transformasi wajahnya dari yang semula tampan menjadi buruk rupa, seperti yang dikenal dalam pewayangan. Namun, ada juga cerita lain yang menyebutkan bahwa tubuh Semar berubah menjadi besar, gemuk, dan bundar karena menelan gunung.
Dr G.A.J dalam buku Dunia Semar karya Ardian Kresna, mengungkapkan bahwa asal-usul Semar berasal dari Jawa. Semar adalah nama leluhur masyarakat Jawa yang digambarkan dalam pewayangan sebagai tokoh religius yang dianggap sebagai nenek moyang orang Jawa. Nama Semar konon berasal dari bahasa Arab, Ismar, yang dalam dialek Jawa menjadi Semar, yang berarti “paku” yang berfungsi sebagai penguat. Semar juga dikenal sebagai Badranaya, yang bermakna “wajah pucat seperti rembulan”. Hal ini mencerminkan sifat Semar yang tidak terpengaruh oleh hawa nafsu.
Asal-usul Semar juga terkait dengan lambang visualnya. Bentuk wayang Semar yang bulat melambangkan tekad bulat untuk mengabdi kepada kebaikan dan kebenaran. Jari kirinya selalu menunjuk, menandakan bahwa dia memberikan petunjuk yang benar. Tangan kanannya menggenggam, menunjukkan sifat subjektif. Matanya setengah tertutup, mengarah ke atas, yang dimaknai sebagai sosok idealis.
Dalam buku Cerita Galur Wayang Kulit Purwa Cirebon, mata sipit Semar menggambarkan orang yang senantiasa berzikir kepada Allah. Dagu dan mulutnya diikat dengan rantai sampai kaki, menandakan bahwa segala ucapan manusia harus selaras dengan perilaku sehari-hari. Semar juga memakai kuncung kencana sari, yang berasal dari kata kun dan muncung atau muncul dan timbul, yaitu kunfayakun.
Profesor Antropologi Sastra Universitas Negeri Yogyakarta, Suwardi Endraswara, menyatakan bahwa dalam khazanah spiritual Jawa, Semar adalah simbol guru sejati. Semar dianggap sebagai personifikasi hakikat guru sejati yang sejalan dengan konsep manunggaling kawula gusti. Karena itulah, Semar dan tokoh Punakawan lainnya diangkat sebagai pamomong para ksatria dalam kisah Mahabarata dan Ramayana, sebagai simbol pengendali seseorang agar tetap berada di jalan yang benar. [UN]