Koran Sulindo – Perjalanan sejarah sering kali memaksa orang-orang untuk berpindah tempat, meninggalkan kehidupan yang mereka kenal, dan memulai kembali di tanah asing.
Begitulah yang dialami oleh orang-orang Belanda di Indonesia pasca-kemerdekaan. Repatriasi warga Belanda dari Indonesia pada periode 1946 hingga 1958 menjadi salah satu episode penuh dilema, ketika puluhan ribu orang Belanda yang lahir dan besar di Hindia Belanda harus menghadapi pilihan sulit antara kembali ke negeri yang hampir asing bagi mereka atau menetap di tanah air yang mulai memandang mereka sebagai orang asing.
Peristiwa ini tidak hanya berpengaruh pada nasib individu-individu, tetapi juga mengukir jejak sosial, budaya, dan politik yang panjang dalam hubungan antara Indonesia dan Belanda.
Dilansir dari beberapa sumber, Pasca-Perang Dunia II, ketika Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya dari Belanda, terjadi perubahan besar yang membawa dampak langsung pada penduduk Belanda yang tinggal di Indonesia.
Periode antara tahun 1946 hingga 1958 mencatat sebuah gelombang pemulangan massal atau repatriasi warga negara Belanda dari Indonesia ke Belanda. Proses ini menyusul revolusi, serta meningkatnya ketegangan politik hingga perebutan Irian Barat.
Di Belanda, keturunan dari para repatrian ini kini dikenal sebagai kelompok Indo atau Indisch, yang merupakan minoritas terbesar di negara tersebut.
Program Repatriasi: Pilihan Sulit bagi Warga Belanda di Indonesia
Pada tahun 1946, pemerintah Kerajaan Belanda memulai program repatriasi atau repatriering, yaitu pemindahan warga negara Belanda dari Hindia Belanda (sekarang Indonesia) ke Belanda.
Pilihan tersebut diberikan kepada sekitar 300.000 orang, yang sebagian besar merupakan keturunan Belanda-Indonesia atau Indo, yang lahir dan besar di Indonesia, sementara lainnya adalah warga negara Belanda yang menjabat sebagai ambtenaar (pejabat) atau bekerja di sektor militer.
Mereka dihadapkan pada dua pilihan: pulang ke Belanda atau memilih kewarganegaraan Indonesia dan tetap tinggal di Indonesia. Bagi para ambtenaar, pulang ke Belanda mungkin merupakan opsi yang logis.
Namun, bagi banyak orang Indo yang lahir dan besar di Indonesia serta tidak mengenal negeri Belanda, keputusan tersebut tidaklah mudah. Sentimen anti-Belanda yang tumbuh di Indonesia setelah kemerdekaan membuat mereka harus mempertimbangkan pilihan ini dengan hati-hati.
Proses Demobilisasi Tentara KNIL
Beberapa di antara para repatrian memiliki latar belakang militer, termasuk 3.500 tentara dari Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) yang berasal dari Maluku. Proses demobilisasi para tentara ini berlangsung sejak 1948, terhenti sejenak, dan dilanjutkan kembali pada 1949 hingga akhirnya kelompok terakhir dipulangkan ke Belanda pada tahun 1951.
Bagi mereka, Hindia Belanda adalah tanah air yang sebenarnya, dan pemulangan ke Belanda terasa asing karena banyak dari mereka hanya sedikit mengenal negeri yang kini akan mereka tinggali.
Namun, perjalanan dari tanah Hindia yang luas ke negeri Belanda yang kecil dengan lingkungan sosial dan budaya yang berbeda bukanlah hal yang mudah. Para repatrian sering kali merasa tidak diterima sepenuhnya, dan beberapa di antara mereka akhirnya memutuskan untuk pindah ke negara lain.
Desakan Repatriasi pada Akhir 1950-an
Pada akhir 1950-an, desakan untuk mempercepat repatriasi semakin meningkat, terutama setelah kegagalan negosiasi tentang Irian Barat. Beberapa peristiwa kunci semakin menguatkan sentimen anti-Belanda di Indonesia.
Pertama, pengunduran diri Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden pada 1 Desember 1956, yang diikuti dengan kebijakan Staat van Oorlog en Beleg (SOB) atau keadaan darurat perang pada Maret 1957.
Kedua, pada akhir tahun 1957, pemerintah Indonesia memberlakukan sejumlah larangan bagi orang-orang Belanda. Surat kabar berbahasa Belanda ditutup, maskapai Belanda Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) dilarang beroperasi di Indonesia, dan warga negara Belanda tidak lagi diizinkan memasuki wilayah Indonesia.
Puncaknya, pada 5 Desember 1957, melalui Kementerian Kehakiman, pemerintah Indonesia mengeluarkan perintah repatriasi terhadap seluruh orang Belanda di Indonesia.
Pada hari yang sama, yang bertepatan dengan perayaan Sinterklas, Presiden Soekarno mengumumkan larangan mengadakan pesta Sinterklas karena dianggap simbol budaya Barat. Pelarangan ini dikenal sebagai “Sinterklas Hitam” dan menandai meningkatnya sentimen anti-Belanda di kalangan masyarakat Indonesia.
Akhir dari Proses Repatriasi
Perintah repatriasi memaksa sebagian besar orang Belanda di Indonesia untuk segera meninggalkan tanah air mereka. Pada 6 September 1958, kapal Waterman membawa rombongan terakhir orang-orang Belanda dari Indonesia menuju Belanda, mengakhiri salah satu babak pemulangan massal terbesar dalam sejarah Indonesia dan Belanda.
Repatriasi orang Belanda dari Indonesia menandai akhir dari kolonialisme yang berlangsung lebih dari tiga abad di Hindia Belanda dan menciptakan diaspora Indo di Belanda yang masih terus berkembang hingga saat ini.
Sentimen, trauma, dan kesulitan beradaptasi menjadi tantangan besar yang harus dihadapi oleh para repatrian, yang meninggalkan tanah air mereka yang sesungguhnya dan memulai hidup baru di negeri yang sesungguhnya terasa asing bagi banyak dari mereka. [UN]