Koran Sulindo – Masih segar di ingatan bagaimana Partai Gerindra begitu ngotot menolak pembentukan panitia khusus hak angket untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu. Partai ini tidak sendiri, ada lima partai lain yang menemani.
Partai-partai itu adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), PKB, PPP, PAN dan Partai Demokrat. Berbekal penolakan mereka di sidang paripurna itu, keenam partai ini awalnya menolak mengirimkan perwakilan mereka untuk duduk dalam pansus.
Akan tetapi, hanya berselang beberapa waktu, hanya tinggal dua partai yang tetap bertahan tidak mengirimkan perwakilannya yaitu PKS dan Partai Demokrat. Selebihnya “bersekutu” di pansus angket untuk “menelanjangi” borok-borok KPK kalau ada.
Kendati awalnya Gerindra yang paling ngotot menolak pembentukan pansus angket KPK itu, justru partai ini pula yang paling awal “berkhianat” atas keputusannya beberapa waktu lalu. Partai bentukan Prabowo Subianto – yang disebut tegas itu – berdalih ingin mengawal KPK agar tidak dilemahkan.
Juru bicara Partai Gerindra di DPR Sodik Mudjahid mengatakan, pihaknya merasa bisa dirugikan jika tidak mengirimkan wakil ke pansus. Tak lama kemudian, PPP membuntuti sikap Gerindra. Alasannya berbeda. PPP merasa perlu mengirimkan wakil karena KPK pernah menolak permintaan Komisi III DPR untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani soal korupsi e-KTP.
Alasan yang lainnya, semua fraksi di DPR akan mengirimkan wakilnya ke pansus sehingga PPP mengubah keputusannya. Lalu, seperti Gerindra, PPP juga tak ingin KPK dilemahkan. Setidaknya itu yang disampaikan Ketua Umum PPP Romahurmuziy.
PAN juga demikian. Awalnya ngotot menolak mengirimkan wakil ke pansus angket KPK. Akan tetapi, PAN mendadak berubah sikap setelah nama Amien Rais, sesepuh partai ini disebut dalam sidang korupsi pengadaan alat kesehatan dengan terdakwa bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Alasannya ingin “melindungi” walau Amien Rais menuduh KPK sebagai lembaga busuk.
Begitulah wajah partai-partai yang sepertinya “garang” dan seolah-olah mengusung semangat pemberantasan korupsi. Menjadi partai pelopor itu memang tidak mudah. Pasalnya, menuntut kesatuan perkataan dan perbuatan. Hak angket hanya sekadar menjadi alat untuk politik pencitraan. Jika DPR benar-benar ingin menggunakan hak politiknya, hak angket adalah jalan untuk mengawasi kekuasaan negara yang dianggap terlalu berlebihan. Lalu mengapa hanya KPK?
Apa yang diperlihatkan partai-partai itu hanya mengingatkan rakyat pada kisah pewayangan yang sama sekali tidak mengubah jalan cerita. Dalam cerita itu, sosok Cakil, seorang tokoh dalam perang kembang yang selalu mati karena tertusuk kerisnya sendiri. Dalam “perang kembang” pansus angket KPK ini, rakyat sudah paham betulnya hasilnya. Seperti Cakil, partai-partai itu juga pasti mati untuk menggenapi keniscayaan takdir bagi para penipu. [KRG]