Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, memang terjadi penurunan pendapatan riil, khususnya masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perkotaan, sehingga terjadi penurunan daya beli masyarakat. Menurut ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal, data yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, inflasi yang selama semester I 2017 mencapai 2,4% membuat pendapatan riil masyarakat berpendapatan rendah tergerus 1,4%. “Buruh bangunan, misalnya, meski secara nominal rata-rata upah mereka mengalami kenaikan,” katanya, 30 Juli 2017.
Diungkapkan Faisal, data BPS tersebut mematahkan argumen pemerintah jika inflasi tahun 2017 ini terkendali. Memang benar jika inflasi bahan pangan (volatile food) tahun ini sangat rendah, lanjutnya, tapi kenaikan tarif listrik, Elpiji, dan lain-lain justru membuat inflasi meningkat dua kali lipat. “Kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yang diatur oleh pemerintah, administered prices, seperti tarif dasar listrik dan gas Elpiji, justru mendorong inflasi selama enam bulan pertama tahun ini lebih tinggi dua kali lipat dibanding inflasi di periode yang sama tahun lalu,” ungkapnya.
Soal penurunan daya beli itu, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyatakan, memang hal itu itu terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Ini terlihat dari anjloknya pertumbuhan sektor bisnis, seperti properti, ritel, serta industri makanan dan minuman. “Yang terjadi sekarang itu sebenarnya penurunan daya beli, makanya di properti tidak tumbuh, di sektor ritel pertumbuhannya minus, dan juga industri-industri basic, seperti pangan juga mengalami perlambatan,” katanya.
Salah satu faktor penurunan daya beli masyarakat, lanjutnya, adalah keterbatasan lapangan kerja. Meski tingkat pengangguran terbuka tidak naik, masyarakat banyak yang beralih ke sektor nonformal. ”Kenapa terjadi penurunan daya beli? Karena, keterbatasan lapangan kerja sehingga, sekalipun orang tidak masuk ke pengangguran terbuka, mereka terlempar ke sektor nonformal. Sektor ini tentu tidak menghasilkan penghasilan yang memadai sehingga, kalau penghasilannya tidak memadai, barang-barang yang mampu dibeli sangat terbatas. Itu yang disebut penurunan daya beli,” tutur Enny.
Penurunan daya beli masyarakat ini juga, tambahnya, menyebabkan harga-harga relatif tidak banyak bergejolak. Karena itu, dalam beberapa tahun terakhir, inflasi nasional relatif rendah. ”Penurunan daya beli ini menciptakan kurva demand yang menurun, itu menyebabkan harga-harga relatif tidak mengalami gejolak sehingga, dalam tiga tahun terakhir, inflasi kita relatif rendah. Tapi, pemerintah menilai, dengan inflasi rendah berarti ada ruang untuk menaikkan harga-harga yang bisa ditentukan pemerintah, seperti listrik, tarif air minum, termasuk biaya pengurusan STNK dan BPKB, yang sebenarnya tidak signifikan, tapi berdampak pada daya beli masyarakat,” katanya.
Sebelumnya, Enny juga telah memprediksi, penyesuaian tarif listrik untuk pelanggan 900 VA dapat menyebabkan efek domino. Dengan kenaikan itu, biaya produksi barang-barang kebutuhan akan ikut naik. “Terkait juga terhadap upah tenaga kerja. Untuk bisa mempertahankan daya belinya, tenaga kerja pasti meminta upah naik,” ujar Enny, 8 Juli 2017.
Dengan demikian, katanya lagi, daya beli masyarakat berada dalam tekanan. Itu bisa dilihat dari pertumbuhan sektor ritel. “Walaupun ada Lebaran, pertumbuhannya tidak lebih dari 7 persen, termasuk juga penjualan di pasar-pasar tradisional,” katanya. [RAF]