Koran Sulindo – Saya memiliki seorang sahabat yang juga suka mengoleksi lukisan. Dia punya tempat khusus di hati saya, karena lukisan yang dia kumpulkan bukan lukisan yang harganya mahal. Koleksinya lahir dari banyak pilihan, yang dia pilih satu demi satu lukisan itu dengan mata dan hatinya. Saya yang juga menyukai lukisan tahu lukisannya memang berkelas.
Ada banyak kawan yang juga senang mengoleksi lukisan. Namun, lukisan-lukisan itu adalah karya dari para pelukis terkenal. Kadang sulit menilai, apakah lukisannya memang bagus, pelukisnya yang terkenal, atau karena harganya yang mahal.
Dengan sahabat yang satu ini, saya kerap bertukar lukisan. Setiap kali perjalanan ke luar negeri, kerap kali oleh-olehnya berupa lukisan.
Suatu hari, saya ke Moskow. Di sebelah Gorky Park dan tepat di pinggir Sungai Moskow ada tanah lapang luas yang dipenuhi oleh para pedagang lukisan. Mirip Pasar Seni Ancol atau lukisan-lukisan yang sering dipajang di pagar Hyde Park di London.
Sebagai penggemar lukisan yang masih amatir, saya katakan kepada seorang kawan, “Coba berhentilah kita lihat lukisan-lukisannya.”
Begitu lima menit saya berkeliling, saya melihat lukisan-lukisannya cukup bagus. Serta-merta, saya menjadi ingat sahabat saya dan saya pun menelepon dia. “Hai, saya lagi di pasar lukisan di Moskow nih, mau lukisan enggak?”
Langsung dia menjawab, “Mauuu!”
“Gambar apa?” saya kembali bertanya.
“Gambar wanita,” katanya.
Langsunglah saya mencari-cari lukisan bergambar wanita dan itu wanita Rusia tentunya. Lebih satu jam berkeliling, ada empat atau lima lukisan yang saya anggap cukup bagus. Terakhir, dari semuanya lukisan itu ada satu yang terbaik. Lukisan itu begitu hidup dan ini dibenarkan kawan yang mengantar saya—seorang diplomat dari Kedutaan Besar Republik Indonesia.
Saya tanyakan harganya kepada si penjual. Namun, rupanya, prinsip “ada harga, ada rupa” juga berlaku di Moskow. Saya tidak sebutkan di sini, tapi harga yang disebut si penjual itu jelas melebihi uang yang ada di dompet saya. Juga bukan hal yang aneh kalau mereka memang tak menerima debet card atau credit card. Saya pikir selesai sudah.
Saya berjalan sebentar melihat-lihat dan siap untuk pulang. Saya melewati kios lukisan. Ajaib, lukisan itu seolah-olah hidup dan seperti mengatakan kepada saya, “kok, saya ditinggal.”
Tak hanya saya, kawan saya yang diplomat juga berperasaan dan mengatakan hal yang sama. Saya berpikir, “Ah, ini hanya pikiran kita saja.”
Entah bagaimana, ketika sampai di mobil, sang pengemudi tidak kami temukan sehingga kami harus mencari dia dulu dan kembali melewati lukisan tersebut. Sang pedagang menganggukkan kepalanya ketika saya mencoba menawar lagi. Memang bisa turun, tapi harganya tetap masih belum terjangkau uang di dompet saya.
Ketika akhirnya kami temukan sang pengemudi dan kembali ke mobil, kami melewati kios lukisan itu lagi. Kali ini, saya melihat “pandangan” wanita di lukisan itu begitu sendu dan seolah-olah berkata, “kok saya enggak dibawa pulang”.
Akhirnya, saya dan sang diplomat kembali menemui pedagangnya. Sang diplomat menawarkan kepada saya untuk meminjamkan uangnya dulu.
Hitung punya hitung, ditambah dengan uang pinjaman itu ternyata masih kurang sedikit untuk membeli lukisan tersebut. Tapi, saya langsung tunjukan uang itu kepada si penjual. Deal. Lukisan itu saya beli.
Keesokan harinya, pada saat saya sudah siap pulang ke Tanah Air, sang diplomat menelepon. “Penjual lukisan menelepon saya. Katanya, model lukisan berkenan untuk berkenalan dengan kita,” tuturnya.
Saya katakan, “Saya sudah mau pulang. Sudahlah, karena lukisan itu dibeli sebagian pakai uang kamu, kamu saja yang berkenalan. Saya enggak sempat lagi.” Entah dia kemudian mengunjungi sang model atau tidak, saya tidak tahu lagi ceritanya.
Sampai di Tanah Air, lukisan siap saya antar ke kawan saya. Saya memang berniat agar dia mengganti harganya. Ternyata, dia menjawab, “Wah, aku belum ada uang kalau segitu. Kamu simpan saja. Nanti kalau saya sudah punya uang, saya tebus.”
Sampai hari ini, lukisan itu belum ia tebus memang dan tetap saya simpan saja. Masih seperti semula, lukisan itu betul-betul tetap masih “hidup”. Saya menunggu kapan kawan saya punya uang.
Sebetulnya, mestinya sekarang dia sudah punya uang, karena dia sekarang adalah seorang menteri dari kabinet Presiden Joko Widodo. Masa menteri enggak bisa menebus lukisan dari saya? Saya percaya, kalau dia membaca tulisan ini mungkin pasti langsung ia tebus lukisan itu. Dan soal harganya; saya akan naikkan dua kali lipat.
Kalau Pembaca ada yang menanyakan siapa menterinya, jawaban saya hanya satu: tebak saja sendiri! [Emir Moeis]