Kisah John F Kennedy dan Mentornya dari Indonesia

Presiden John F Kennedy dan Presiden Soekarno, Gedung Putih, 1961/Life

Koran Sulindo – Megawati Soekarnoputri diajak bapaknya mengikuti Konferensi Non Blok di Beograd, Yugoslavia pada 1961. Usai acara, tokoh-tokoh pemrakarsa gerakan itu dibagi dua, satu delegasi berangkat ke Amerika Serikat, yang lain ke Uni Soviet (kini Rusia).

Presiden Soekarno kebagian memimpin delegasi ke AS, didampingi Presiden Mali Modibo Keita, bertemu Presiden John Fitzgerald Kennedy (JFK). Megawati terus menyertai. Pada salah satu kesempatan Bung Karno meminta JFK berbicara 4 mata di kamar pribadinya di lantai atas Gedung Putih.

“JFK sangat dekat dengan beliau, dan selalu katakan BK adalah mentornya. Makanya BK sedih sekali ketika Presiden JFK terbunuh ketika melakukan perjalanan ke kota Dallas,” kata Megawati, di acara ‘Bung Karno Jiwa Kita’ di Jakarta, 21 Juni 2014 lampau.

Kedekatan BK dan JFK bermula setelah kasus pesawat B-26 yang dipiloti Allan Pope ditembak di sekitar Pulau Morotai, kepulauan di timur Indonesia, pada saat pemberontakan PRRI-Permesta sekitar 1958.

Rakyat AS mendesak pemerintahnya membebaskan Pope. Sejak itu AS melakukan lobi-lobi politik, bahkan BK sempat diundang Presiden Eisenhower pada September-Oktober 1960. Namun semua mentok, Pope tetap mendekam di sebuah penjara di Jakarta, dan BK sempat marah pada Presiden AS yang akrab dipanggil Ike itu gara-gara harus menunggu sekitar 10 menit di ruang tunggu Gedung Putih.

JFK yang menjabat Presiden AS sejak Januari 1961, langsung menghubungi BK, mengundang, dan menerima dengan keramahan berlebih saat BK menjadi tamu resmi negaranya 3 bulan kemudian, pada April.

Ilustrasi: BK dan JFK setelah naik helikopter putar-putar Capital dan sekitar Gedung Putih, Washington DC, AS/jfklibrary.org

Bung Karno tersanjung ketika JFK mengajaknya naik helikopter berkeliling di atas Capital, dan merayunya akan memberi 10 heli sejenis yang sedang ditunggangi itu untuk Indonesia sebagai tanda persahabatan. JFK juga menawari bantuan ekonomi dan militer. BK setuju membebaskan Pope dalam waktu yang ditentukan kemudian.

“Saat makan malam kenegaraan, presiden melakukan toast untuk Presiden Sukarno, dan menyebutnya sebagai George Washington-nya Indonesia,” kata Marshall Green, dalam bukunya “Indonesia, Crisis and Transformation 1965-1968” (Washington, D.C.: The Compass Press, 1990).

Pulang ke tanah air BK membawa oleh-oleh 10 buah Hercules tipe B yang merupakan cikal bakal armada Hercules AURI, program pelatihan untuk Brimob Polri, beras 37.000 ton, dan janjian bantuan ekonomi berkelanjutan.

Belakangan, menurut Duta Besar AS untuk Indonesia saat itu, Howard Jones, JFK mengatakan padanya, Soekarno lebih seorang nasionalis ketimbang komunis.

Kedua presiden itu kemudian bersahabat erat dan sering bertukar komunikasi melalui Jones. Soekarno memandang Kennedy lebih sekadar presiden. Ia sahabatnya.

“Kamu tahu apa yang paling saya sukai dari anak muda, sensitif, brilian, dan ganteng yang sekarang menghuni Gedung Putih itu? Ia pemimpin pertama Amerika yang memperlakukan saya sebagai manusia, bukan sekadar angka yang bisa ditambahkan atau dikurangkan dalam pembukuan AS dalam perang melawan komunisme,” kata BK suatu ketika.

Dalam buku autobiografi BK yang disusun Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia; 1966): ada juga bagian yang diceritakan Megawati di atas.

“Ia memahami saya. Saya merancang dan membangun paviliun khusus di Istana untuk John F. Kennedy, yang telah berjanji akan datang ke sini dan menjadi Presiden AS pertama yang melakukan kunjungan kenegaraan ke negara ini. Sekarang ia tidak akan pernah datang,” kata Soekarno pada Cindy Adams,”Katakan pada saya, kenapa mereka membunuh Kennedy?”

Mengapa Kennedy Dibunuh?

Pada 22 November 1963, Kennedy ditembak. Ia tidak pernah datang ke Indonesia. Soekarno yang mendengar kabar pembunuhan itu sangat sedih. Sambil mengusap airmatanya, Soekarno berbisik, “the good die young”.

Kennedy meninggal dunia di mobil bak terbuka yang dinaikinya, di samping istrinya Jackie.

Pekan lalu, setelah 54 tahun kemudian, ribuan dokumen dirilis Arsip Negara AS (national Archive). Beberapa bagian dari 2.891 dokumen itu mencatat rincian penyelidikan pembunuhan JFK. Bagian terbesar adalah dokumen tentang Lee Harvey Oswald yang dinyatakan secara resmi oleh pemerintah AS sebagai pembunuh tunggal.

Ribuan dokumen ini dirilis atas perintah Presiden Donald Trump, sesuai mandat Kongres pada 1992, yang menetapkan semua dokumen penyelidikan kematian presiden AS ke-35 itu harus dibuka untuk publik paling lambat pada 26 Oktober 2017.

Kamis 26 Oktober 2017, pukul 19.30 waktu setempat dokumen itu memang dibuka, tapi Trump ingkar janji karena tetap saja tak semua dokumen dibuka untuk umum, konon karena tekanan biro intelijen AS (Central Intelligence Agency/CIA).

Dan, di luar harapan, hampir sebagian besar dokumen hanya berisi arsip soal Oswald. Mayoritas bahkan bertarikh sebelum 1963, sebelum pembunuhan Kennedy terjadi. Tak ada yang benar-benar penting yang memberi petunjuk baru pada pembunuhan presiden termuda dalam sejarah AS itu.

Namun terselip di antara catatan-catatan yang didigitalkan itu rencana untuk membunuh sejumlah pemimpin asing, terutama yang berseberangan dengan mereka seperti pemimpin Kuba, Fidel Castro, dan Presiden Dominika, Rafael Trujillo. Atau hanya sekedar bersikap netral seperti para pemimpin negara-negara non blok, termasuk Soekarno.

Dalam dokumen CIA itu pembahasan rencana pembunuhan Sukarno disebut dalam dokumen bertarikh 1975, ‘Summary of Facts — Investigation of CIA Involvement in Plans to Assassinate Foreign Leaders’.

Dalam halaman 5 dokumen setebal 83 halaman itu, tercatat hasil interogasi pada Richard Bissell, Wakil Direktur bidang Perencanaan CIA. “Bissell juga diinterogasi mengenai diskusi di dalam Badan tersebut mengenai kemungkinan upaya pembunuhan Presiden Sukarno dari Indonesia yang prosesnya sudah sampai pada titik identifikasi siapa yang bisa direkrut untuk upaya ini.”

Tangan CIA

Dokumen AS yang ditunggu-tunggu itu malahan kalah menohok daripada hasil investigasi Indonesianis dari Sunshine Coast University, Brisbane, Australia, Greg Poulgrain, dalam buku“Bayang-bayang Intervensi, Perang Siasat John F Kennedy dan Allen Dulles atas Sukarno (2017).

Menurut Poulgrain, pembunuhan JFK, penyingkiran Soekarno, naiknya Soeharto, dan pencaplokan gunung emas Grensberg Papua beberapa tahun kemudian ada hubungan saling mengkait. Dan CIA, paling tidak Direktur CIA waktu itu, Alllen Dulles ada di belakang semuanya.

Selama 30 tahun, Poulgrain membongkar fakta-fakta yang menguatkan dugaannya itu lewat sumber primer maupun sekunder bahkan mewawancarai langsung tokoh-tokoh kuncinya.

Poulgrain juga mengatakan Dulles juga di belakang kasus kudeta gagal pada 1 Oktober 1965 yang akhirnya membuat Soekarno digusur Angkatan Darat.

Penelitian itu juga membawanya pada kematian sekjen PBB Dag Hammarskjold dalam kecelakaan pesawat di Kongo pada 1961.

Menurut Poulgrain, dalam dokumen yang diungkap Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran (Truth and Reconciliation Commission) Afrika Selatan, ada tangan CIA dalam kematian Hammarskjold yang mencurigakan itu.

Saat itu Sekjen PBB tersebut sedang mengupayakan agar badan dunia itu mengirimkan orang-orang ke Papua terutama mengurus administrasi pemerintahan sementara. Rencana itu dikhawatirkan bisa memberi angin pada kemerdekaan Papua, yang akan mengganggu strategi Dulles menguasai Jakarta.

Hammarskjold makin menjadi masalah ketika ia mendukung gagasan gerakan non blok. Namun  upayanya membantu pembangunan Kongo yang kaya bahan tambang dan mineral itu diduga membuatnya menjadi target sesegera mungkin bagi Dulles dan perusahaan yang berhubungan dengannya.

Komite pencari fakta yang dibentuk Kongres (DPR di AS) menyatakan Dulles menyetujui pembunuhan Perdana Menteri Kongo Patrice Lumumba, sekitar 9 bulan sebelum pesawat terbang Hammarskjold jatuh.

Dalam pengantar buku itu, Poulgrain sekali lagi membujuk pembacanya bahwa Allen Dulles kemungkinan terlibat dalam pembunuhan JFK dalam rangka mencegahnya menjalin hubungan baik dan damai dengan Indonesia, hal yang akan membuatnya sulit menggagahi gunung emas di Grensberg Papua. [Didit Sidarta]