Ilustrasi menolak perdagangan manusia [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Kendati kisah tragis yang menimpa Adelina Sau, buruh migran asal Nusa Tenggara Timur (NTT) masih segar di ingatan kita, kabar sedih pada Minggu (11/3) kembali datang dari negeri seberang. Kabar duka tentang kedatangan dua jenazah buruh migran pada siang waktu NTT.

Kedua orang yang menjadi buruh migran di Malaysia itu adalah Milka Boimau (perempuan) asal Desa Kotabes, Kupang dan Mateus Seman, Desa Gunung Liwut, Manggarai Timur. Meski berbeda pesawat, waktu kedatangan jenazah kedua orang itu hampir bersamaan. Berbeda dengan Milka, keluarga Mateus sama sekali tidak kelihatan untuk menjemputnya di bandara.

Meski demikian, beberapa orang yang aktif dalam mendampingi korban perdagangan manusia ikut menjemput kedua jenazah tersebut. Dari beberapa aktivis yang ikut menjemput kedua jenazah adalah Pendeta Emmy Sahertian, Ketua Badan Pembantu Pelayanan Advokasi dan Perdamaian Sinode GMIT. Ia mendoakan jenazah Milka sebelum diberangkatkan ke kampung halamannya.

Pun demikian terhadap jenazah Mateus Seman yang didoakan Sr. Laurent yang dihadirkan para aktivis anti-perdagangan manusia. Seperti yang diberitakan media daring sergap.id, data kematian Mateus berdarkan Konsulat RI Tawau, Malaysia menyebutkan, meninggal karena

Data kematian Mateus Seman yang ditulis oleh Konsulat RI Tawau, Malaysia, menyebutkan pria tersebut meninggal karena penyakit jantung koroner (CAT). Ia dikatakan meningggal pada 5 Maret 2018 ketika dibawa ke rumah sakit Lahad Datu, Sabah. Sementara kisah Milka lebih menyedihkan lagi. Berdasarkan penuturan saudara kandungnya, Saul Boimau, pihak keluarga sama sekali tidak tahu sejak kapan Milka berangkat dan bekerja di Malaysia.

Itu sebabnya, berita kematian Milka mereka peroleh dari Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kupang. Itu pun setelah lembaga tersebut mendapat informasi dari perusahaan tempat Milka bekerja. Semua data Milka, kata Saul, dipalsukan. Dengan kata lain, Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) mengirim Milka ke Malaysia secara ilegal.

Diungkapkan Saul, data pribadi Milka yang dipalsukan antara lain asal desa. Dalam dokumen asal desa Milka disebut Desa Oasena. Padahal, Milka berasal dari Desa Nunbes. Kemudian, umur Milka disebut 38 tahun. Padahal, Saul memperkirakan umur Milka sudah mencapai 60 tahun. “Saya sendiri sudah 78 tahun,” tutur Saul sambil menangis seperti dikutip sergap.id pada Minggu (11/3).

Milka, lanjut Saul, merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara. Milka memang tidak menikah walau memiliki satu orang anak perempuan bernama Glorya Boimau yang kini berusia 36 tahun. Dari fakta itu, Saul dan keluarganya bingung siapa yang mengurus keberangkatan dan sejak kapan Milka berangkat ke Malaysia. Ia sungguh berharap aparat kepolisian memproses secara hukum orang yang merekrut Milka.

Salah satu staf BP3TKI Kupang mengatakan, Milka meninggal dunia di Penang pada 7 Maret 2018. KJRI baru mengetahui informasi tersebut sehari setelah kematian Milka. Untuk mengetahui penyebab kematiannya, KJRI lantas memverifikasinya kepada majikan Milka atas nama Khoor Choon Huat. Dari penuturan Huat, Milka meninggal disebabkan sesak napas.

Akan tetapi, ada yang janggal dari penjelasan Huat tersebut. Pasalnya, setelah membuka peti jenazah Milka, keluarga mendapati tubuhnya mulai dari leher hingga perut penuh dengan bekas jahitan. Fakta itu lantas menyebar secara masif di masyarakat. Juga menyebar di media sosial facebook.

Kepala Seksi Perlindungan dan Penempatan BP3TKI Kupang, Timoteus Kopong ketika menanggapi fakta itu, mengatakan, jahitan di tubuh Milka lantaran sesuai aturan Malaysia, pihak berwenang bisa mengautopsi jenazah tanpa perlu persetujuan dari keluarga. Itu sebabnya, pihak Indonesia tak bisa mencampurinya, ujar Timoteus.

Ia berdalih autopsi dilakukan oleh pihak kepolisian Malaysia. Berdasarkan undang undang di Malaysia, semua orang yang meninggal wajib diautopsi. Dengan demikian, semua warga negara termasuk buruh migran wajib tunduk terhadap aturan tersebut.

Kendati dianggap menjadi aturan, Pendeta Emmy dari GMIT tidak bisa percaya begitu saja. Terlebih ia menilai ada yang janggal dari kematian Milka. Itu sebabnya, ia akan mendorong keluarga agar jenazah Milka diautopsi ulang.

Berdasarkan catatan BP3TKI Kupang, sepanjang Januari hingga Maret 2018, jumlah buruh migran asal NTT yang dikembalikan dalam keadaan sudah menjadi jenazah mencapai 15 orang. Jumlah ini tentu saja tidak termasuk mereka yang tidak dipulangkan sehingga akhirnya dikubur di Malaysia.

Seperti tahun lalu, buruh migran asal NTT yang tewas – umumnya menjadi korban tindak pidana perdagangan orang mencapai 62 orang. Seperti Milka, identitas korban lainnya umumnya dipalsukan. Merujuk kepada jumlah itu, krisis perdagangan manusia di NTT sesungguhnya kian memprihatinkan dan meningkat saban tahun. [KRG]