Kisah Di Balik Cerutu Soeharto

Selain rokok kretek, Presiden Soeharto gemar mengisap cerutu. Gayanya dalam mengisap cerutu bisa menunjukkan suasana hatinya. Larry Burrows memotret Soeharto di kediamannya pada Desember 1967.

Soeharto, Presiden Republik Indonesia dengan masa jabatan terlama, telah menjadi sosok yang penuh teka-teki bagi banyak orang. Selama 32 tahun memimpin, kehidupan pribadi serta kebiasaannya sering kali memancing rasa ingin tahu, termasuk gaya hidupnya sebagai seorang ayah dari enam anak.

Salah satu kebiasaan yang menonjol adalah kegemarannya mengisap cerutu, sebuah kebiasaan yang tak hanya dikenal di dalam negeri tetapi juga oleh pejabat asing.

Dalam buku Off The Record Vol.1 karya Suryadi A.P, diceritakan bahwa Perdana Menteri Italia, Giovanni Goria, memberikan cinderamata berupa tempat cerutu antik kepada Soeharto saat kunjungannya ke Indonesia pada 6-7 Januari 1988.

Kebiasaan Soeharto mengisap cerutu ini bahkan menjadi semacam barometer suasana hatinya.

Setelah kesehatannya menurun dan dokter melarangnya untuk merokok, Soeharto tidak sepenuhnya menghentikan kebiasaannya. Ia beralih dari mengisap cerutu menjadi menggigitinya.

Kebiasaan menggigiti cerutu ini memiliki makna tersendiri. Menurut berbagai kesaksian, jika Soeharto menggigit cerutu kecil, itu menandakan ia sedang banyak pikiran dan menghadapi masalah. Sebaliknya, jika yang digigit adalah cerutu besar, suasana hatinya sedang baik.

Jenderal Rudini, mantan Menteri Dalam Negeri pada periode 1988-1993, mengungkapkan bahwa ketika Soeharto mengisap cerutu sambil mondar-mandir saat para menteri menghadap, itu pertanda suasana hatinya baik.

“Kalau kita lapor, suasananya pasti enak,” ujar Rudini dalam buku Dari Soekarno Sampai SBY karya Tjipta Lesmana.

Soeharto dan Ajudan yang Tak Terlupakan

Kenangan menarik tentang Soeharto juga disampaikan oleh Letnan Jenderal (Purn) Soerjadi, Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat.

Pengalaman pertamanya sebagai ajudan Soeharto pada tahun 1981, ketika pangkatnya masih Letnan Kolonel, memberikan kesan mendalam yang tak pernah terlupakan.

Suatu hari, Soerjadi duduk di mobil bersama Soeharto. Ia duduk di depan, sementara Soeharto di belakang. Dalam perjalanan melintasi rel kereta api di Jalan Cut Meutia, Jakarta, Soerjadi memberanikan diri untuk membuka percakapan.

“Mohon maaf Pak, kalau laporan saya berlainan dengan sebelumnya, ada yang kurang berkenan,” ujarnya.

Tanpa disangka, Soeharto tidak langsung memberikan jawaban, melainkan hanya menyemburkan asap cerutu ke arah Soerjadi. “Saya deg-degan tidak berani menoleh ke belakang,” kenang Soerjadi.

Namun, saat perjalanan pulang ke Cendana, Soeharto akhirnya memberikan jawaban yang melegakan hati Soerjadi, “Di sini memang tempatnya belajar.”

Selama hampir lima tahun menjadi ajudan Soeharto, dari 1981 hingga 1985, Soerjadi mengaku tidak pernah tahu kapan Soeharto tidur. Setiap kali ia melapor, baik pagi, siang, maupun tengah malam, Soeharto selalu ada dan siap menerima laporan.

“Di tangannya selalu ada buku, entah koran, laporan, atau buku. Bahkan ketika saya datang beliau sedang ganti baju, selalu ada buku, di meja, di lantai, ada saja buku yang terbuka,” kenangnya.

Soeharto: Pemimpin yang Percaya pada Bawahan

Sebagai seorang pemimpin, Soeharto dikenal sangat percaya pada bawahannya. Salah satu contoh kepercayaan ini ditunjukkan saat insiden pembajakan pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 206 di Bandara Don Mueang, Bangkok, yang dikenal sebagai Peristiwa Woyla pada akhir Maret 1981.

Pada dini hari sekitar pukul 03.00, Soerjadi menerima telepon dari Bangkok yang meminta petunjuk dari Soeharto. Ketika hendak melapor, Soeharto sudah berdiri di pintu kamar, siap mendengarkan laporan.

Namun, bukannya memberikan petunjuk, Soeharto hanya menjawab singkat, “Benny wis ngerti,” yang merujuk pada LB Moerdani, salah satu kepercayaannya.

Itu adalah salah satu bentuk kepercayaan Soeharto kepada bawahannya, yang begitu dikenal oleh Soerjadi selama masa baktinya sebagai ajudan.

Kenangan-kenangan ini disampaikan oleh Soerjadi sebagai kesaksian untuk buku Pak Harto, The Untold Stories, yang diluncurkan pada 8 Juni 2011. Bagi Soerjadi, pengalaman bersama Soeharto adalah pelajaran yang tak ternilai tentang kepemimpinan, disiplin, dan kepercayaan.

Dengan gaya kepemimpinan yang kuat dan kebiasaan yang unik, Soeharto telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah Indonesia, baik sebagai seorang pemimpin maupun pribadi.

Kenangan orang-orang terdekatnya, seperti Soerjadi, memberikan gambaran lebih jelas tentang sisi lain dari sosok yang hingga kini masih menjadi bahan perbincangan. [UN]