Kisah Bung Hatta dan Sepatu Bally Impiannya

Bung Hatta. (1902 - 1980)

Koran Sulindo – Pada tanggal 14 Maret 1980, Indonesia kehilangan salah satu tokoh besar dalam sejarahnya, Mohammad Hatta, yang lebih dikenal sebagai Bung Hatta. Wakil Presiden pertama Indonesia ini bukan hanya seorang proklamator kemerdekaan, tetapi juga sosok yang dikenal dengan kesederhanaan, kejujuran, dan dedikasi yang tak tergoyahkan terhadap prinsip-prinsip moral.

Seorang pahlawan yang dikenal luas di Indonesia ini siapa sangka mempunyai impian sederhana. Bung Hatta mempunyai keinginan memiliki sepatu Bally namun sampai akhir hayatnya keinginan itu tidak terwujud.

Kisah tentang Bung Hatta dan sepatu Bally menjadi salah satu refleksi paling mendalam tentang nilai-nilai yang ia pegang erat sepanjang hidupnya. Pada tahun 1950-an, sepatu Bally merupakan salah satu barang mewah yang hanya bisa dimiliki oleh kalangan tertentu.

Bung Hatta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden, memiliki keinginan sederhana untuk memiliki sepatu tersebut. Keinginannya ini bukan karena gengsi atau keinginan untuk menunjukkan status, melainkan karena sepatu Bally dikenal berkualitas tinggi dan nyaman, sesuai dengan kebutuhan seorang pemimpin yang kerap harus berjalan jauh dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Namun, meskipun memiliki jabatan tinggi dan pengaruh yang besar, Bung Hatta tetap hidup dalam kesederhanaan. Gajinya sebagai pejabat negara sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan membantu kerabat serta kawan-kawan yang datang kepadanya untuk meminta bantuan.

Keputusan ini menunjukkan betapa besar kepeduliannya terhadap orang lain, bahkan ketika itu berarti mengorbankan keinginannya sendiri.

Setiap kali uang tabungannya hampir cukup untuk membeli sepatu Bally yang diidamkannya, selalu ada kebutuhan lain yang lebih mendesak. Bung Hatta dengan rela melepaskan impian kecilnya untuk sepatu tersebut demi membantu orang lain.

Bahkan, hingga akhir hayatnya, keinginan itu tak pernah terpenuhi. Keluarga Bung Hatta menemukan sebuah lipatan iklan sepatu Bally di dalam dompetnya setelah ia wafat sebuah bukti betapa sederhana namun teguhnya keinginan seorang proklamator yang tak pernah terwujud.

Kesederhanaan Bung Hatta tidak hanya tercermin dalam keinginannya untuk memiliki sepatu Bally, tetapi juga dalam wasiat terakhirnya. Sebagai pemegang Bintang Republik Kelas 1, Bung Hatta berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP), tempat peristirahatan terakhir bagi para pahlawan bangsa.

Namun, Bung Hatta memilih untuk tidak dimakamkan di sana. Ia lebih memilih untuk dimakamkan di pemakaman umum Tanah Kusir, Jakarta, sebuah pilihan yang mencerminkan ketidakinginannya untuk diperlakukan secara istimewa meskipun telah banyak berkontribusi bagi bangsa ini. Harian Kompas, 15 Maret 1980 memberitakan, keinginan Bung Hatta yang diwasiatkan adalah dimakamkan di Jakarta.

Pemakaman Bung Hatta di Tanah Kusir dilakukan dengan upacara kenegaraan, sebuah penghormatan terakhir dari negara kepada sosok yang telah memberikan seluruh hidupnya untuk kemerdekaan dan pembangunan Indonesia.

Namun, lebih dari sekadar penghormatan, kisah Bung Hatta ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua akan pentingnya integritas, kesederhanaan, dan kepedulian terhadap sesama.

Kisah tentang sepatu Bally yang tak pernah terbeli dan pemakamannya yang sederhana adalah cerminan dari seorang pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan rakyatnya dibandingkan kepentingan pribadi.

Bung Hatta telah meninggalkan warisan yang jauh lebih berharga daripada harta benda atau penghargaan. Ia meninggalkan contoh nyata tentang bagaimana seorang pemimpin seharusnya hidup dan bertindak dengan integritas, kerendahan hati, dan cinta yang tulus kepada sesama. [UN]