Ahok di Mahkamah Konstitusi, Senin, 5 September 2016

Koran Sulindo – Pada Senin ini, 5 September 2016, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tampaknya tidak bekerja, karena sibuk dengan masalah hukum. Pada siang harinya, ia berada di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, menjadi saksi untuk kasus dugaan suap terkait reklamasi Pantai Utara Jakarta, dengan terdakwa Mohamad Sanusi.

Yang mengejutkan, dalam kesaksiannya, Ahok membeberkan adanya pertemuan dirinya dengan pendiri Agung Sedayu Grup Sugianto Kusuma alias Aguan, pemilik Agung Podomoro Land Trihatma Kusuma Haliman, dan anak-anaknya, termasuk Ariesman Widjaja, Suhendar dari Harapan Indah, dan pengusaha lainnya. Pertemuannya terjadi pada tahun 2013 lalu di sebuah hotel di Jakarta. “Saya ditugaskan oleh Pak Jokowi untuk membicarakan mengenai kontribusi tambahan karena bisa ada triliunan dana di sana. Saya ditugasan berkenalan sama mereka karena sebelumnya kita tidak kenal,” kata Ahok saat menjadi saksi.

Dari Pengadilan Tipikor Jakarta, Ahok kemudian ke Mahkamah Konstitusi, Jakarta, untuk menghadiri sidang judicial review Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Seperti diketahui, Ahok mengajukan peninjauan kembali undang-undang tersebut terkait soal cuti kampanye sebagai petahana, Pasal 70 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Padahal, sampai hari ini, Ahok belum memiliki pasangan untuk maju di Pilkada DKI Jakarta 2017 dan itu artinya juga belum didaftarkan secara resmi di ke lembaga yang berwewenang mengurus pemilihan kepala daerah.

Ahok meminta Mahkamah Konstitusi menafsirkan kewajiban cuti bagi pejawat ketika kampanye, seperti diatur dalam undang-undang itu, menjadi bersifat pilihan (opsional) saja. Dengan tafsiran semacam itu, dalam kampanyenya nanti, Ahok bisa mengambil cuti dan bisa juga tidak. Ahok menganggap cuti itu adalah haknya, bukan kewajiban pejawat. Karena itu, Ahok beralasan, cuti kampanye itu mengurangi haknya sebagai gubernur selama lima tahun. Selain itu, Ahok mengatakan dirinya punya tanggung jawab untuk membahas APBD DKI dan menjalankan tugas-tugas lain, sehingga dia tidak perlu cuti.

Bahkan, belakangan, Ahok menambah lagi alasannya. “Pemprov sedang menjalankan banyak program prioritas yang perlu dijalankan secara berkesinambungan, seperti antisipasi banjir, rob, dan genangan,” katanya 31 Agustus 2016.

Pada sidang Mahkamah Konstitusi itu, 5 September 2016, majelis hakim konstitusi mendengarkan keterangan pemrintah pusat dan DPR sebagai pihak terkait, yaitu pembuat undang-undang. Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri, Widodo Sigit, selaku kuasa hukum presiden, dalam keterangannya mengkritik langkah Ahok mengajukan judicial review itu.

Ahok sebagai kepala daerah, katanya, juga bagian dari pemerintah dan tidak berkoordinasi dengan pemerintah pusat, yang membuat Undang-Undang Pilkada itu bersama DPR. Seharusnya, jika tidak setuju, Ahok bisa berkoordinasi sebelum undang-undang itu disahkan. “Sangat tidak etis, demi kepentingan mempertahankan kekuasaan, petahana mengajukan judicial review tanpa berkoordinasi dengan pemerintah pusat,” ungkap Sigit di Gedung Mahkamah Konsitusi. Sigit juga meminta Ahok merenungkan ucapannya kembali saat hendak maju di Pilkada DKI 2012, yang saat itu meminta calon petahana, yaitu Fauzi Bowo, untuk cuti.

Soal siapa yang mengisi jabatan gubernur jika yang bersangkutan cuti, pemerintah pusat memastikan akan menunjuk orang terbaik untuk menjalankan roda pemerintahan. Atas dasar itu, pemerintah pusat pun meminta Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Ahok.

Diungkapkan Sigit, Presiden Joko Widodo meminta Mahkamah Konstitusi untuk menolak permohonan Ahok itu. Karena, pemilihan kepala daerah harus berjalan jujur dan adil, sehingga cuti bagi pejawat menjadi wajib.

Melalui kuasa hukumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan, pemilihan kepala daerah harus bebas dari segala penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang oleh calon pejawat. Karena itu, pilihannya hanya ada dua, yaitu pejawat mesti berhenti atau mengambil cuti. [HAZ]