Koran Sulindo – Citra pemimpin populis dan terkesan mewakili wong cilik rupanya bukan jaminan rakyat puas terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JK) selama 2,5 tahun terakhir. Berdasarkan survei Indo Barometer pada akhir Maret 2017 sebanyak 13,1 persen responden menyebut pemerintah Jokowi-JK sebagai pemimpin boneka. Mengapa?
Ada sekitar 20 indikator yang menjadi kegagalan Jokowi-JK selama memimpin 2,5 tahun terakhir. Salah satu indikator yang memunculkan persepsi tersebut lantaran pemerintah dianggap dikendalikan pihak lain. Sekitar 6,2 persen responden menyebut Jokowi-JK terlalu pro pada Tiongkok. Persepsi demikian mungkin tidak terlalu berlebihan mengingat Tiongkok akan menggarap berbagai proyek infrastruktur di Indonesia.
Pada tahun lalu dalam acara “The 2nd Meeting on High Level Economic Dialogue RI-RRC” Tiongkok disebut akan membiayai sembilan proyek infrastruktur senilai US$ 2,5 miliar atau setara sekitar Rp 33 triliun. Angka ini mencapai seperempat dari total pinjaman Tiongkok kepada Asean senilai US$ 10 miliar. Beberapa proyek yang rencananya dibiayai Tiongkok itu antara lain rel kereta api, jalan tol, bendungan, termasuk kereta cepat Jakarta – Bandung.
Proyek terakhir ini sempat menuai kontroversi dan menyeret nama Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno. Masih berdasarkan hasil survei Indo Barometer juga mengukur tingkat kepuasan kinerja kabinet nama Rini menempati posisi yang paling bawah. Bersama Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto kinerja Rini dinilai paling rendah. Hanya 0,4 persen responden yang menilai baik kinerja keduanya.
Sedangkan kinerja menteri yang paling baik menurut responden adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan nilai 26,3 persen. Lembaga ini melakukan survei nasional di 34 provinsi pada 4 hingga 14 Maret 2017 dengan jumlah responden 1.200 orang. Tingkat kesalahan survei tersebut kurang lebih 3,0 persen.
Ketika mewakili Rini di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada akhir bulan ini menyampaikan kinerja Kementerian BUMN pada 2016 dan rencana kerja 2017. Rini hingga hari ini masih dilarang memasuki kompleks parlemen. Dalam laporan itu, Kementerian BUMN mengaku menyerap hampir 100 persen anggaran pada 2016.
Pengakuan tersebut bertentangan dengan survei yang dilakukan Indo Barometer baru-baru ini. Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari memang tidak menjelaskan hal-hal apa saja yang membuat penilaian terhadap Rini buruk. Akan tetapi, jika menelusuri rekam jejak Rini, penilaian itu bukan sesuatu yang berlebihan. Rini, misalnya, dikaitkan dengan kasus korupsi proyek cepat Tiongkok di Thailand.
Di berbagai pemberitaan media internasional pada tahun lalu, petinggi China Railway Corporation (CRC) Ji Wenlin dan Zhou Yong Kang ditangkap karena kasus korupsi itu. Laporan Reuters menyebutkan Ji Wenlin bersama mantan pejabat tinggi Partai Komunis Tiongkok (PKT) Zhou Yong Kang terlibat beberapa proyek di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Ji dan Zhou menerima komisi 10 persen hingga 20 persen per proyek dari perusahaan Tiongkok yang mendapatkan proyek di negara-negara Asia. Salah satunya adalah China Rail Way Construction Limited.
Ji dan Zhou juga mengaku memiliki hubungan sangat dekat dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo, melalui “Ibu Negara Kedua” Rini Soemarno, yang menduduki jabatan penting dalam hal pembangunan jalur kereta api. Disebut-sebut, pada Januari 2016, Ji mengatur remitansi senilai US$ 5 juta atau sekitar Rp 65,475 miliar untuk Rini.
Menanggapi informasi itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan akan mengusut dugaan korupsi di proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, yang merupakan proyek kerja sama BUMN Indonesia dengan China Railway Construction.
Menteri Kontroversial
Presiden Jokowi telah meresmikan pembangunan kereta cepat ini di Kebun Teh Mandalawangi, Bandung Barat, milik PT Perkebunan Nusantara sejak awal Januari 2016. Namun, setelah itu, pengerjaan kereta cepat ini menguap. Tanpa kabar dan perkembangan. Padahal nilai proyeknya mencapai sekitar US$ 5,573 miliar dengan jarak 140,9 kilometer tanpa menggunakan uang negara. Pemerintah menargetkan proyek ini selesai pada 2018 dan bisa dioperasikan pada 2019.
Situasi ini memicu anggota Komisi V DPR Nizar Zahro pada awal tahun ini mendesak pemerintah untuk menyelesaikan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sebelum melanjutkan proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya. Proyek ini disebut mangkrak karena masalah pembebasan lahan.
Rekam jejak kinerja Rini yang lain dan sempat membuat gaduh adalah gagasan pembentukan superholding yang ujungnya akan membubarkan Kementerian BUMN. Dengan percaya diri, Rini menyebut gagasannya itu sebagai ide progresif walau mendapat kritikan tajam dari berbagai pihak. Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri, misalnya, menuding konsep Rini itu sangat tidak jelas, apalagi tidak didukung rencana induk pembentukan superholding.
Rini beralasan gagasan pembentukan superholding merujuk pada Temasek dan Khasanah, perusahaan milik negara Singapura dan Malaysia. Dengan demikian, perusahaan milik negara itu bisa bergerak cepat dan efektif. Juga diharapkan agar bisa lebih efesien dan selaras dengan sistem korporasi. Atas dasar itu, kata Rini, pembentukan superholding ini menjadi sebuah kebutuhan. Selain Faisal, Ketua Komisi VI DPR Teguh Juwarno juga mempertanyakan konsep tersebut. Gagasan Rini itu disebut menjadi sebuah persoalan politik karena perusahaan BUMN Indonesia berbeda dengan BUMN yang ada di Malaysia dan Singapura. Perusahaan BUMN, kata Teguh, mengemban amanah konstitusi terutama Pasal 33 UUD 1945.
Untuk menguji gagasan Rini itu, paparan James Petras, profesor emeritus sosiologi di Universitas Binghamton, New York, Amerika Serikat ini bisa menjadi pertimbangan. Petras lewat sebuah tulisannya di majalah serikat pekerja perusahaan listrik negara Meksiko Lux menganalisa keberhasilan agenda neoliberalisme lewat privatisasi atau swastanisasi Pemex, perusahaan minyak milik negara Meksiko. Seperti di Indonesia, alasan privatisasi tersebut karena tidak efisien dan efektif. Benarkah?
Menurut Petras, tuduhan pengelolaan perusahaan milik negara dengan berbiaya mahal itu tentu dibantah oleh kalangan wartawan, ahli dan akademisi. Pada kenyataannya, biaya produksi Pemex, perusahaan minyak milik negara Meksiko itu jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya produksi perusahaan minyak swasta. Secara produksi pun Pemex akan tumbuh lebih besar jika perusahaan milik negara ini diizinkan untuk berkembang dengan dukungan teknologi termutakhir.
Ketika pemerintah Meksiko mengumumkan kebijakan privatisasi terhadap perusahaan minyak dan listrik milik negara, perusahaan multinasional asing atau investor kapital keuangan internasional mengantre untuk membelinya. Dunia, kata Petras, merupakan persimpangan jalan yang berbahaya. Agenda neoliberalisme merupakan bagian integral dari kebijakan luar negeri sebuah negara, terutama Amerika Serikat bersama sekutunya. Itu sebabnya, AS bersama sekutunya kerap berpetualang secara militer dan mengancam masa depan kemanusiaan.
Buruknya kinerja Rini sebagai Menteri BUMN juga diabadikan Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu melalui jajak pendapat pada medio Juni 2015. Hasilnya 78,3 persen dari 937 responden menyebutkan Rini tidak kompeten sebagai Menteri BUMN. Kelemahan Rini itu antara lain tercermin dari buruknya komunikasi politik yang dibangun terhadap DPR serta partai pendukung yang memenangkan Jokowi-JK.
Hasil jajak pendapat itu, 80,2 persen responden menyatakan lemah dalam hal kepemimpinan. Itu, misalnya, tergambar dari tindakannya yang mengganti direktur Bulog begitu saja. Padahal, ia baru mengangkatnya sebagai direktur tanpa penilaian yang jelas. Itu berarti Rini gagal mempertanggungjawabkan keputusannya. Ia karena itu disebut sebagai Menteri BUMN pencitraan. Dengan segala rekam jejaknya itu dan hasil terbaru survei kinerja kabinet Indo Barometer, pertanyaannya, mengapa Rini masih dipertahankan? [Kristian Ginting]