KIM Plus dan Demokrasi Seolah-olah

OPINI – Dari Pemilihan Presiden 2024 muncul gerakan bersama partai politik  pendukung Prabowo-Gibran. Sebagai partai pendukung mereka membentuk sebuah kolaisi dan memberi nama Koalisi Indonesia Maju (KIM). Usai perhelatan pilpres partai politik yang bersebarangan atau berlawan ikut merapat, koalisi diubah nama menjadi Koalisi Indonesia Maju Plus, menyisakan PDI Perjuangan di luar koalisi tersebut.

Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, koalisi partai politik terbesar di Indonesia—sebuah kelompok yang akan membawa negeri ini begitu-begitu saja dan tidak ke mana-mana.

Koalisi ini terus bergerak dalam pilkada serentak 2024, mereka mengajukan calon kepala daerah di beberapa wilayah, belum semua akur belum tampak hasil akhirnya.

Bergabung ke dalam KIM Plus adalah keputusan strategis partai politik yang ingin menabung bersama. Dan mereka punya alasan yang klise untuk gerakan mereka: demi stabilitas, demi membangun pemerintahan yang solid, demi efektivitas pengambilan keputusan.

Stabilitas adalah kata lain untuk menghindari tanggung jawab. Stabilitas artinya anda bisa berkuasa dan melakukan apa saja dengan kekuasaan anda tanpa diganggu.

Mereka tahu persis apa yang akan koalisi lakukan. Mereka tahu bahwa ini tidak ada urusannya dengan stabilitas dan segala macam itu. Koalisi besar ini juga bukan tentang membela rakyat, bukan tentang negara, dan bukan tentang nilai-nilai yang mereka perjuangkan. Ini melulu tentang kelangsungan hidup kelompok mereka sendiri. Mereka harus masuk dalam gerbong, harus ikut berkuasa. Itu saja.

Oposisi kering tak berdaya

Di luar KIM Plus memang masih ada PDI Perjuangan, dan beberapa gelintir partai non parlemen, yang tidak masuk koalisi, tetapi kekuatan mereka tidak akan signifikan sebagai oposisi. Yang jelas  signifikan adalah kekeringan mereka. PDI Perjuangan  pernah merasakannya pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Demokrasi tanpa oposisi bukan demokrasi sama sekali, demokrasi seolah-olah. Sebuah pertandingan tanpa ada pihak yang kalah kecuali rakyat. Dan para politisi akan berembug di bilik tertutup. Mereka tahu bahwa tanpa oposisi, atau dengan oposisi yang tidak berdaya, mereka lebih leluasa melakukan apa saja. Dan mereka akan melakukannya.

Kita masih ingat pemerintahan era Orde Baru, itu salah satu bentuk pemerintahan tanpa oposisi. Mereka juga menyebut diri demokrasi, tetapi bukan demokrasi sama sekali.

Orang bisa memberi alasan sebagus-bagusnya tentang KIM Plus, tetapi ia hanya gerombolan yang membunuh harapan. Ia merusak segala sesuatu yang kita harapkan dari sistem politik yang sehat—ideologi, oposisi, akuntabilitas, dan reformasi.

Ia sekadar pameran vulgar tentang bagaimana cara berdagang sapi; yang penting di sana adalah bagaimana bisa masuk ke dalam kekuasaan, bukan bagaimana kekuasaan itu digunakan.

Dalam hal ini, KIM Plus adalah cermin yang memantulkan secara sempurna wajah perpolitikan negeri ini, perpolitikan yang dipenuhi manuver-manuver dangkal, mudah ditebak, dan tidak menyisakan apa pun kecuali mentalitas kelas rendah: ambil banyak-banyak, kuasai banyak-banyak, kumpulkan semuanya.

Lima tahun nanti mereka akan menyerukan slogan-slogan perjuangan lagi, membela rakyat lagi, membela agama lagi. Rakyat akan sibuk mendukung mereka lagi, sambil pura-pura bertarung jika diperlukan.

Apakah ada yang menang dalam pilpres kemarin? Jika ada kemenangan itu selalu datang dengan harga. Dan KIM Plus adalah harga terlalu tinggi yang harus dibayar. Ini adalah harga dari sebuah bangsa yang kehilangan arah. Harga dari sebuah demokrasi yang kehilangan makna.

Saat KIM Plus terbentuk, sesuatu yang berharga hilang di negeri ini. Demokrasi bakal luntur perlahan-lahan, tidak akan ada cek dan koreksi pada penyelenggara negara, misal pun ada suaranya lirih dan dengan mudah diabaikan,  negeri seolah-olah demokrasi. [KS-07]