Makam KH Ahmad Rifai di Pekuburan Jawa Tondano di Minahasa, Sulawesi Utara.

Koran Sulindo – Berhasil mengalahkan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa pada tahun 1830, Belanda benar-benar bak tanpa lawan.

Jawa sebagai kekuatan ekonomi, politik dan militer, benar-benar jatuh dalam ketiak pemerintah kolonial.

Walaupun hanya berlangsung selam lima tahun, Perang Jawa bagaimanapun benar-benar menguras kekayaan dan membuat pemerintah Hindia Belanda terancam bangkrut.

Guru Besar Sejarah Asia Tenggara Universitas Nasional Singapura, M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 menyebut periode ini sebagai babak baru penjajahan Belanda atas Jawa.

Di sisi lain, apakah semangat anti-kolonial orang Jawa surut dengan kekalahan Pangeran Diponegoro?

Tentu saja tidak, semangat anti-kolonial itu tetap lestari di benak orang Jawa. Salah satu di antaranya yang paling keras adalah K.H. Ahmad Rifai dari Kalisalak, Batang. Dalam beberapa literatur, ia dikenal juga dengan nama Ahmad Ripangi atau Ahmad ar-Rifai.

Ketika kebijakan culturestelsel mulai diberlakukan Pemerintah Hindia Belanda untuk mengisi kasnya yang kerontang, Ahmad Rifai yang kala itu berusia kurang lebih 40 tahun sudah menjadi seorang kyai.

Menganggap Pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintahan kafir karena zalim memeras tenaga rakyat, Rifai juga tak pernah cocok dengan golongan priyayi dan penghulu yang membebek bangsa Eropa.

Rifai tak segan-segan mengkritik Belanda dengan keras sementara wilayah dakwanya makin meluas dari Kendal hingga ke Wonosobo dan wilayah Jawa Tengah bagian selatan.

Sakuasané préntah ridané Allah kang diarah, ngedohi saking periyayi kang padha fitnah,” tulis Rifai dalam Tarekat yang merupakan salah satu karangannya.

Berkali-kali kena tegur dan diperingatkan pemerintah, ia tak menggubrisnya dan bahkan harus masuk penjara tanpa pengadilan. Selepas dari penjara, ia memutuskan untuk memperdalam ilmunya di Mekkah dan Madinah dan berangkat pada tahun 1833.

Delapan tahun di Mekkah, Ridai menuntut ilmu kepada banyak ulama seperti Syaikh Abdurrahman, Syaikh Abu ‘Ubaidah, Syaikh Muhammad bin ‘Abd ‘Aziz al-Habsy, Syaikh Ahmad Utsman, Syaikh ´Abdul Malik, dan Syaikh Isa al-Birawi.

Bekal ini menambah pengetahuan yang dia dapat ketika mengaji sejak kecil di pesantren milik kakak iparnya, K.H. Hasyim Asy’ari atau yang lebih dikenal sebagai Kyai Guru di Pesantren Kaliwungu, Kendal.

Sekembalinya dari Mekkah dan mengajar di pesantren kakak iparnya, Rifai mengubah metode pembelajarannya. Meski mengantongi lebih luas pengetahuan Islam dan bahasa Arab ia justru menggunakan bahasa Jawa ketimbang membacakan kitab berbahasa Arab agar lebih efektif.

Memenuhi keperluannya mengajar, Rifai menulis banyak kitab hingga berjumlah 69 buah dalam bentuk sajak Jawa yang ditulis dengan huruf Arab pegon. Umumnya, karya-karya tersebut merupakan terjemahan dari karya ulama Mekkah dan Aceh yang berisi doktrin-doktrin Islam dan etika sosial keagamaan.

Hampir dari semua karya-karya Rifai terlihat jelas kecenderungan semangat anti-kolonial.

Di sisi lain meskipun menguasai banyak ilmu tentang Islam, Rifai justru lebih dikenal sebagai ahli tasawuf dan masyhur sebagai pemrakarsa tarikat yang dinisbahkan atas namanya, Rifaiyah. Penekanan karyanya, Tarekat menurut Ripangi guru tarikat bukan syaikh atau mursyid namun haruslah seorang yang alim-adil.

Konsep ini diadopsi dari fikih yang menyebutkan jika alim adalah orang yang menguasai pengetahuan, meskipun hanya satu, maka adil adalah orang yang tak melakukan dosa besar dan juga tidak membiasakan dosa kecil.

Dalam konteks inilah Rifai menantang priyayi dan penghulu yang meskipun kasat mata alim namun ketika bersekutu dengan Belanda mereka layak disebut fasik.

Salah satu dampak dari sebutan ini maka pernikahan yang dilakukan di hadapan penghulu tidak sah karena mereka diangkat pemerintah kafir.  “Pancené alim fasik meksih belilu, ora éling ngegoné fitnah kena penglulu,” tulis Rifai dalam Tarekat.

Ia kembali masuk penjara di Semarang gara-gara keteguhan sikapnya itu.

Dua kali masuk penjara akhirnya Rifai memilih pindah ke daerah pedesaan di tempat istrinya di Kalisalak, Batang, Jawa Tengah.

Di sisi lain, meski jelas-jelas mengusung sikap tegas membenci Belanda, gerakan Rifai tak memicu perlawanan fisik seperti halnya H. Abdul Karim, Haji Tb. Ismail di Banten. Rifaiyah , dan lainnya dalam perlawanan petani di Banten pada 1888.

Gerakan Rifaiyah ini memusuhi mereka dengan cara menjauhi dan menghindari pemerintah Belanda yang karena berbasis di pedesaan justru membuat gerakan itu lebiha kokoh. Sikap anti-Belanda itu dilakukan dengan membentuk kekuatan rakyat yakni para santri di Kalisalak dengan ciri utama melakukan isolasi dengan budaya kota yang berbau pemerintah.

Tak hanya juga menulis kitab, Rifai juga membuat teguran keras kepada bupati dan pemimpin agama meski di sisi lain mulai membuat pemerintah gerah.

Tercatat, empat kali Residen Pekalongan, Franciscus Netscher melaporkan secara rahasia kegiatan Rifai ini kepada Gubernur Jenderal Duymaer van Twist dan kemudian Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud. Sang residen juga mendesak agar Rifai diasingkan namun tak dituruti karena permintaan tersebut dianggap belum memenuhi syarat.

Tak hanya orang Belanda totok yang gerah, bahkan pejabat pribumipun tak geramnya termasuk Wedana Kalisalak yang melaporkan kepada Bupati Batang tentang pengajian yang makin banyak pengunjung dari berbagai daerah tanpa izin.

Ketika akhirnya Wedana Kalisalak dan Bupati Batang kembali mengajukan keluhan tentang keresahan yang ditimbulkan oleh Ahmad Ripangi terhadap komunitas Islam dan sikapnya yang tidak menghormati polisi lokal pengadilan segera digelar.

Dalam pembelaan di pengadilan, Rifai menyatakan bahwa dirinya mendukung prinsip jihad melawan pemerintah non-Muslim dan menyebut prinsip-prinsipnya itu memiliki dasar yang kuat dalam Islam.

Pengadilan melalui surat keputusan tertanggal 19 Mei 1859 akhirnya memutuskan untuk membuang Rifai ke Ambon, Maluku. Dalam keputusan itu pengadilan menyebut. Rifai mengajarkan Islam dengan semangat yang mengandung permusuhan pada pemerintah.

Meski Rifai harus menjalani pembuangan, reputasinya sebagai ulama yang memiliki sentimen anti-kolonial tetap hidup tak hanya dikalangan santri dan pengikutnya, namun juga dalam diskursus Islam di Jawa.

Kisah RIfai bahkan tercatat dalam salah satu versi dari Serat Cebolek. Dalam teks tersebut Rifai dilukiskan sebagai tokoh yang tak memiliki pengetahuan keislaman yang memadahi dank arena mengalami kekalahan dalam perdebatan melawan pemerintah Kalisalak dan Batang.

Hal yang paling menarik, perdebatan yang digambarkan dalam Serat Cebolek berkenaan dengan isu-isu yang diungkap pada pengadilan tersebut menegaskan bahwa sikap anti-kolonial Ripangi tersebut tetap hidup bahkan di kalangan priyayi Jawa.

Beberapa tahun di Ambon, Rifai akhirnya dipindahkan ke Sulawesi hingga akhir hayatnya pada 1870 dan dimakamkan di sebuah bukit sekitar satu km dari Kampung Jawa Tondano, Minahasa, Manado, Sulawesi Utara.[TGU]