Koran Sulindo – Persoalan cadangan devisa negara dan defisit neraca perdagangan harus tetap menjadi agenda utama pemerintah di masa mendatang. Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, maka peningkatan daya saing nasional, baik perdagangan maupun industri harus menjadi proritas.

Soetrisno Bachir, Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) mengatakan, dengan meningkatnya daya saing nasional juga akan memperkuat daya tahan terhadap guncangan dari luar.

Apalagi daya saing tersebut diarahkan untuk kemandirian ekonomi, berbasiskan ekonomi lokal, dan betorientasi lokal.

“Kita akan kuat apabila mampu mengurangi ketergantungan dari negara lain dan mampu mendorong daya saing di pasar global,” kata SB setelah acara Seminar dan Workshop Kemitraan Ekonomi Umat yang diselenggarakan PP Pemuda Muhammadiyah di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Jumat (26/7).

Harmonisasi kebijakan antara sektor perdagangan dan industri menjadi prasyarat penting dalam mendorong daya saing.

“Sayangnya, koordinasi dan harmonisasi tersebut belum terjadi secara optimal,” tambah SB. Masing-masing sektor masih jalan sendiri-sendiri, kurang terkoordinasi.

Presiden Joko Widodo pada awal Juli lalu sempat menyinggung tentang defisit neraca perdagangan senilai US$ 2,14 miliar periode Januari hingga Mei 2019.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Jokowi mengatakan, ekspor dari Januari hingga Mei 2019 year on year turun 8,6 persen. Sedangkan impor pada periode yang sama mencapai 9,2 persen. Ada defisit sekitar US$ 2,14 miliar, kata Presiden.

Untuk mengatasi persoalan itu, di samping yang sudah disebutkan, menurut SB, keadilan juga menjadi kata kunci dalam memperkuat daya saing ekonomi nasional. Oleh karena itu, kebijakan industrialisasi harus bersifat inklusif, melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam pembangunan industri.

“Industrialisasi jangan hanya dinikmati segelintir pelaku usaha dan meminggirkan peran sebagian besar anak bangsa. Dengan memasukkan nilai-nilai keadilan dalam kebijakan dan industri, maka daya saing nasional bisa diperkuat secara berkelanjutan serta menekan ketimpangan ekonomi,” kata SB menambahkan.

SB menuturkan, industrialisasi harus berupa penciptaan nilai tambah atas komoditas utama. Untuk memperkuat industri bisa dilakukan dengan 2 orientasi. Pertama, substitusi impor dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan dari negara lain. Kedua, industri harus diarahkan kepada orientasi ekspor sehingga industru bisa memberikan kontribusi positif pada neraca perdagangan.

“Menguatkan rantai nilai, substitusi hulu-hilir yang masih bergantung impor harus menjadi fokus kebijakan dalam industri nasional. Oleh karena itu diperlukan harmonisasi yang kuat dan terukur antara kebijakan perdagangan dan industri. Di aspek ini, harmonisasi kebijakan harus diperkuat,” tutup SB.

Untuk diketahui, Indonesia menempati urutan 32 dari 63 negara dalam IMD World Competitiveness Yearbook (WCY) 2019 dengan skor 73,59. Peringkat ini meningkat tajam dari posisi 42 pada 2018. IMD WCY telah melakukan penilaian daya saing global sejak 1989 dan menjadi rujukan peringkat daya saing global.

Sebanyak 63 negara dievaluasi peringkat daya saingnya berdasarkan overall ranking dari empat faktor daya saing yaitu kinerja ekonomi, efisiensi pemerintahan, efisiensi bisnis, dan infrastruktur. (Didang Pradjasasmita)