Koran Sulindo – Kesenjangan sosial-ekonomi tetap menjadi persoalan serius di Indonesia. Bahkan itu menjadi perhatian utama pemerintah Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo di tahun ini. Saking pentingnya, karena menyangkut kesenjangan antar-wilayah, kesenjangan yang kaya dan miskin, Jokowi sudah dua kali menyinggungnya di awal tahun ini.
Kali pertama Jokowi menyinggungnya dalam rapat kabinet paripurna di Istana Bogor, Rabu, 4 Januari lalu. Ia mengingatkan, kendati pertumbuhan ekonomi relatif stabil dan tingkat kesenjangan sedikit membaik, namun posisinya masih tinggi. Tingkat kesenjangan berdasarkan pengeluaran penduduk Indonesia pada Maret 2016 berada pada posisi 0,39.
Angka ini menurun jika dibandingkan dengan Maret 2015 yang berada pada posisi 0,41. Itu sebabnya pemerintah merancang dan membidik pemerataan pertumbuhan ekonomi di tahun ini dan tahun-tahun selanjutnya. Karena itu, Presiden Jokowi mengajak semua para menterinya untuk bekerja keras menurunkan tingkat kesenjangan itu.
Beberapa program yang dipersiapkan pemerintah untuk menurunkan kesenjangan itu adalah redistribusi aset dan legalisasi tanah; memperkuat akses rakyat untuk mendapatkan modal; meningkatkan keterampilan masyarakat; meningkatkan akses pendidikan; dan pembangunan karakter dan mental bangsa yang menjadi program pemerintah sejak awal.
Jokowi juga menyinggung soal ketimpangan ekonomi ini ketika berpidato dalam peringatan hari ulang tahun PDI Perjuangan ke-44. Kali ini, ia lebih detil. Di samping masalah kesenjangan, Jokowi memaparkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sempat mencapai 5,18 persen pada triwulan kedua 2016. Angka ini disebut tertinggi dalam delapan triwulan terakhir. Akan tetapi, pertumbuhan ini tidak kokoh karena terbantu hari raya (lebaran) dan tahun ajaran baru yang otomatis meningkatkan konsumsi masyarakat.
Pertumbuhan tersebut juga terbantu karena belanja pemerintah yang naik cukup drastis mencapai 6,28 persen. Pada triwulan selanjutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali melambat yang tumbuh hanya 5,02 persen. Pasang surut pertumbuhan ekonomi sepanjang 2016 ini menggambarkan perekonomian Indonesia belum mendapatkan waktu untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang tinggi di masa mendatang.
Paparan Jokowi tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia nyaris serupa dengan hasil kajian tim Dana Moneter Internasional (IMF) yang mengunjungi Indonesia pada November 2016. Setelah berbicara dengan berbagai pihak, IMF merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 hanya tumbuh di angka sekitar lima persen. Sementara tahun selanjutnya proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,1 persen. Kemudian tingkat inflasi akan naik sedikit dari 3,3 persen pada 2016. Itu dikarenakan penaikan tarif dasar listrik yang berlaku pada 2017.
Menurut Jokowi, di tengah perlambatan ekonomi dan ketidakpastian global, pertumbuhan ini patut untuk dibanggakan. Apalagi pertumbuhan ekonomi itu hanya kalah sedikit dari India dan Tiongkok. Tapi, jika dibandingkan Malaysia, Jepang, Brasil dan Meksiko, Indonesia jauh lebih baik. Untuk negara-negara G20, pertumbuhan Indonesia berada di posisi ketiga. Mungkin Jokowi benar soal itu. Akan tetapi, di waktu yang sama, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kesenjangan tertinggi di dunia.
Berdasarkan penelitian Credit Suisse Global Wealth Report 2016, sejak krisis keuangan dunia pada 2008, pemulihan ekonomi global gagal mewujudkan pemerataan perekonomian. Justru ketimpangan kian laju dan melebar. Rusia menjadi negara dengan tingkat kesenjangan tertinggi di dunia. Sekitar 74,5 persen kekayaan nasional hanya dikuasai satu persen orang kaya di negeri tersebut. Sementara untuk India dan Thailand, 60 persen kekayaan nasional dikuasai 1 persen masyarakat kaya di negara-negara itu.
“Sedangkan Indonesia dan Brasil, 50 persen kekayaan nasional dikuasai 1 persen masyarakat kaya negeri itu,” demikian independent.co.uk mengutip penelitian tersebut akhir tahun lalu. Kesimpulannya, ketimpangan ekonomi menjadi masalah besar di hampir setiap negara.
Pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri, juga mempertanyakan klaim-klaim perbaikan atas ketimpangan perekonomian selama dua tahun terakhir pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla. Rasio gini yang berada di bawah 0,4 pada Maret 2016 berarti tingkat ketimpangan tergolong baik. Rasio gini antara 0,4 hingga 0,5 masuk kategori ketimpangan sedang dan di atas 0,5 tergolong ketimpangan buruk, kata Faisal.
Menurut Faisal Basri lagi, yang perlu diingat rasio gini yang dihitung Badan Pusat Statistik (BPS)– seperti yang dinyatakan Jokowi pada awal tahun ini– adalah ketimpangan pengeluaran. BPS tidak mengukur tingkat ketimpangan pendapatan maupun ketimpangan kekayaan. Lembaga ini hanya menghitung rasio gini berdasarkan pengeluaran yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional. Karena itu, kata Faisal, ketimpangan pengeluaran tentu lebih rendah ketimbang ketimpangan pendapatan maupun ketimpangan kekayaan.
“Karena perbedaan konsumsi orang terkaya dibandingkan konsumsi orang termiskin cenderung jauh lebih kecil dibandingkan perbedaan pendapatan dan kekayaannya,” kata Faisal, seperti dikutip dari laman resminya.
Faisal menuturkan, perbedaan data pengeluaran dan kekayaan berdasarkan data BPS tampak sangat berbeda. Kelompok terkaya sekitar 20 persen menyumbang 47 persen pengeluaran, sedangkan kelompok 40 persen termiskin hanya menyumbang 17 persen dengan kecenderungan menurun dan stagnan dalam enam tahun terakhir. Fakta itu menegaskan, pertumbuhan ekonomi yang disebut tertinggi ketiga di antara negara-negara G20 hanya dinikmati 1 persen masyarakat kaya Indonesia.
Celakanya, kelompok miliarder Indonesia meraup dua pertiga kekayaannya dari praktik bisnis di sektor kroni yang dimungkinkan karena kedekatan dengan kekuasaan. Itu sebabnya, tidak perlu kaget bila indeks crony-capitalism Indonesia berada di posisi ketujuh dunia pada 2016. Peringkat ini memburuk jika dibandingkan pada 2007 dan 2014.
Hasil pembangunan itu, kata Faisal, tidak mampu mengangkat kehidupan rakyat miskin yang hidup pas-pasan. Dan petani yang merupakan mayoritas rakyat Indonesia justru mengalami penurunan kesejahteraan. Dengan kata lain, hasil penjualan produk pertanian yang dihasilkan petani tidak mampu menutupi harga barang yang menjadi kebutuhannya. Itu sebabnya, nilai barang dan jasa yang mereka beli dari pendapatannya semakin berkurang.
Pun demikian dengan nasib buruh tani yang terus merosot. Upah yang mereka terima selama dua terakhir terus menurun. Kelompok ini termasuk pekerja informal di pedesaan. Seperti buruh tani, nasib pekerja informal perkotaan juga tidak jauh berbeda. Upahnya juga mengalami penurunan kendati lebih kecil jika dibandingkan dengan upah buruh tani di pedesaan. Sekitar 58 % pekerja di Indonesia merupakan pekerja informal dengan status pekerjaan yang meliputi berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di nonpertanian, dan pekerja keluarga/tak dibayar.
“Penurunan upah riil paling tajam terjadi tahun 2015,” tutur Faisal.
Kendati ada kenaikan upah minumum setiap tahun, menurut Faisal, itu sama sekali tidak mampu meningkatkan kesejahteraan buruh. Ditambah lagi, pengusaha merespons hal tersebut dengan menurunkan jam kerja. Penurunan jam kerja juga disebabkan menurunnya tingkat produksi atau order. Pengusaha berupaya tidak memecat buruh karena ongkosnya relatif lebih mahal.
Pertanyaannya: bagaimana kaum buruh menghadapi tekanan hidup yang semakin berat? Menurut Faisal, lebih banyak anggota keluarga kemudian menjadi pekerja. Boleh jadi termasuk anak-anak yang terpaksa putus sekolah untuk membantu kehidupan keluarganya. Ini pula yang menyebabkan tingkat partisipasi angkatan kerja meningkat tajam sejak 2014. Selanjutnya, kaum buruh menambah jam kerja atau mencari kerja sampingan. Sekitar seperempat buruh Indonesia bekerja lebih dari 49 jam per minggu dan hanya kalah dari Korea Selatan dan Hongkong.
Jokowi sadar betul dengan kenyataan itu. Itu sebabnya, ia menekankan pentingnya meredistribusikan aset dan legalisasi tanah untuk kaum tani. Namun, Jokowi nampaknya lupa, berdasarkan data Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), sekitar 37,57 juta hektar dari 170 juta hektar daratan lahan Indonesia dikuasai korporasi swasta dan badan usaha milik negara (BUMN).
Penguasaan demikian – AGRA menyebutnya sebagai monopoli – akan menyebabkan 14 juta petani yang rata-rata hanya punya lahan 0,5 hektar tergusur dan kehilangan mata pencaharian. Dengan kata lain, para tuan tanah swasta dan BUMN mencengkeram kehidupan petani dan buruh tani sehingga kehilangan sandaran hidupnya.
Mampukah Jokowi memutus belenggu dan cengkeraman ketimpangan itu? Semua itu tergantung pilihan kebijakan yang pro-wong cilik, bukan pro-kaum elite ekonomi. [Kristian Ginting]