Ketimpangan dan Ilusi Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi Indonesia [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Kendati pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 masuk dalam tiga besar di antara negara-negara G20, tidak serta merta menyelesaikan berbagai persoalan. Justru pertumbuhan ekonomi sejak 2000 itu, pada saat yang sama memicu dan meningkatkan ketimpangan sosial, bahkan lebih cepat dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara sejak dua dekade terakhir.

Itu sebabnya, pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo menjadikan penurunan ketimpangan sebagai prioritas utama pada 2017. Pertumbuhan ekonomi yang diklaim sebagai prestasi di tengah perlambatan ekonomi global juga menyisakan persoalan. Institute for Development of Economic and Finance (Indef) justru melihatnya itu bukan karena kinerja pemerintah.

Menurut Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati, dalam dua tahun terakhir pemerintah justru gagal meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berbagai jenis paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan Jokowi disebut tidak fokus pada sektor yang dituju. Semestinya percepatan pertumbuhan ekonomi pada 2016 sangat potensial terutama karena paket kebijakan perekonomian itu.

Kegagalan pemerintah memanfaatkan kesempatan itu, kata Enny, karena tidak menyelesaikan banyak persoalan seperti daya beli dan investasi. Maka, hal serupa sangat mungkin terjadi pada tahun ini apabila pemerintah tidak menyelesaikan berbagai persoalan itu. Ahmad Heri Firdaus, rekan Enny di Indef menyebutkan, paket kebijakan ekonomi sejak awal dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

“Akan tetapi, dalam dua terakhir pertumbuhan justru macet atau tak bergerak meski dengan berbagai paket kebijakan,” kata Ahmad Heri pada awal bulan Februari lalu.

Ahmad Heri mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,02 persen pada 2016 sesungguhnya belum menggambarkan upaya maksimal. Angka tersebut ditopang konsumsi rumah tangga yang pertumbuhannya mencapai 5,1 persen. Itu berarti, pertumbuhan ekonomi karena masyarakat. Bahkan jika pemerintah tidak melakukan apa-apa, ekonomi akan tetap tumbuh. Namun, pada faktanya, kata Ahmad Heri, investasi melambat, ekspor menurun dan lebih kecil dibanding impor.

Soal ketimpangan, International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) bersama Oxfam akhir bulan Februari 2017, merilis laporan ketimpangan di Indonesia. Laporan itu menyebutkan empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih dari 100 juta penduduk termiskin. Ketimpangan itu, demikian Infid, tidak saja memperlambat pengentasan kemiskinan, tapi juga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan berpotensi menimbulkan gejolak sosial.

PDB dan IPM Meningkat
Meski akhir-akhir ini terjadi perlambatan ekonomi, pertumbuhan produk demostik bruto (PDB), demikian Infid, rata-rata mencapai lima persen selama periode 2000 hingga 2016. Pertumbuhan ini terutama karena pertumbuhan industri jasa. Indonesia relatif memanfaatkan pertumbuhan ini ke dalam peningkatan pembangunan manusia. Kendati masih yang terjelek untuk wilayah Asia Timur dan Pasifik, Indonesia mampu memperbaiki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antara 2010 hingga 2014. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan perbaikan itu.

Pada 2010, IPM Indonesia berada pada posisi 66,53, selanjutnya 67,09, kemudian 67,70, lalu 68,31 dan 2014 berada pada posisi 68,90. Berdasarkan ini pula, jumlah penduduk miskin menurun 40 persen pada 2000 dan delapan persen pada 2014. Walau begitu, manfaat pertumbuhan ekonomi tersebut belum merata dan masih banyak yang tertinggal jauh di belakang terutama perempuan. Jika merujuk pada ukuran Bank Dunia yang menggunakan US$ 3,10 atau Rp 40.300 pendapatan per hari per orang sebagai batas kemiskinan, jumlah penduduk miskin akan meningkat menjadi 93 juta atau setara 36 persen dari total penduduk.

Banyak penduduk miskin yang hidup di atas garis kemiskinan yang membuat mereka rentan jatuh miskin. Di saat yang sama dengan pertumbuhan ekonomi jurang antara kaya dan miskin meningkat secara tajam. Baik berdasarkan koefisien Gini maupun Indeks Palma – kendati tidak menunjukkan tingkat ketimpangan yang sesungguhnya – menurut Infid, ketimpangan cenderung meningkat selama dua dekade terakhir. Dan ketimpangan di perkotaan secara konsisten lebih tinggi dibanding pedesaan.

Sebab-sebab ketimpangan ini, menurut Infid, sangat kompleks dan berlapis, mulai dari penyebab struktural hingga pilihan kebijakan yang lebih spesifik. Setelah melewati masa pertumbuhan yang relatif merata, fundamentalisme pasar yang diperkenalkan kepada perekonomian Indonesia pada saat krisis keuangan 1997 telah mendorong perekonomian yang memungkinkan mereka yang berada di lapisan sosial bagian atas meraup keuntungan terbesar dari pertumbuhan ekonomi.

Ini kemudian berdampak pada political capture yang artinya mereka yang berada dalam struktur sosial atas mampu memanfaatkan pengaruhnya karena kekayaannya untuk mengubah aturan agar menguntungkan mereka dengan mengorbankan orang banyak. Dengan demikian, ketimpangan semakin mengakar. “Ketidaksetaraan gender merupakan salah satu bentuk tertua ketimpangan, dan dapat ditemui dengan mudah di Indonesia. berperan sebagai penyebab sekaligus akibat dari ketimpangan ekonomi,” tulis Infid dalam laporan setebal 59 halaman itu.

Masalah ketimpangan tersebut semakin parah karena upah murah dan ketiadaan rasa aman dalam hal pekerjaan bagi masyarakat yang berada di lapisan paling bawah. Pekerja merasa tidak berdaya untuk mengangkat diri mereka dari jurang kemiskinan. Ketimpangan antar-daerah juga semakin lebar ketika akses infrastruktur seperti jaringan listrik dan jalan tidak merata. Penguasaan lahan yang berpusat pada segelintir perusahaan dan individu kaya menyebabkan penumpukan kekayaan pada mereka di lapisan atas dan mengorbankan masyarakat miskin di lapisan bawah.

Korporatokrasi
Apa yang menjadi temuan Infid itu tentu saja mengingatkan kita pada kisah yang diceritakan John Perkins, seorang perusak ekonomi dalam bukunya berjudul Confessions of an Economic Hitman yang diterbitkan pada 2004. Perkins menyebutkan sistem pemerintahan yang dikuasai para konglomerat sebagai korporatokrasi. Sosok yang sering dikutip mantan Menteri Koordinator Perekonomian Kwik Kian Gie itu mendefinisikan korporatokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dikendalikan, dikuasai atau dijalankan beberapa korporat.

Mereka – para korporat itu – umumnya para pengusaha kaya raya atau konglomerat yang memiliki dana lebih dari cukup untuk mengendalikan kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya dalam suatu negara. Para korporat ini juga umumnya membiayai para politikus, pejabat militer dan kepala-kepala instansi suatu negara. Kebijakan yang muncul dari sistem seperti ini hanya akan menguntungkan para konglomerat dan menindas golongan masyarakat yang lemah.

Sistem perpajakan juga menjadi bagian dari meningkatnya ketimpangan di Indonesia. Pasalnya, sistem perpajakan gagal memainkan peran pentingnya dalam menyebarkan kekayaan dan target penerimaan acap tidak tercapai sehingga sulit untuk membiayai layanan publik untuk mengurangi ketimpangan. Persentase pajak Indonesia dari PDB menempati peringkat terendah kedua di Asia Tenggara. Proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) potensi penerimaan pajak di Indonesia mencapai 21,5 persen. Jika ini bisa dicapai, maka anggaran kesehatan bisa dinaikkan menjadi sembilan kali lipat dari sekarang.

Selanjutnya, demikian Infid, basis pajak di Indonesia juga merupakan korban dari para penghindar pajak. Pada tahun 2014, misalnya, dana sebesar US$ 100 miliar mengalir dari Indonesia ke kawasan suaka pajak. Jumlah itu setara dengan hampir 10 kali lipat anggaran pendidikan pada tahun yang sama. Penerimaan pajak dibutuhkan untuk membiayai layanan publik yang vital untuk memberi kesempatan yang setara bagi semua warga.

Berdasarkan fakta itu, Infid mengingatkan ketimpangan yang semakin melebar berpotensi menimbulkan gejolak sosial dan politik. Ketidakadilan kekuasaan yang berakibat pada ketimpangan yang lebar antara kaya dan miskin hanya melanggengkan ketimpangan karena mereka yang berada dalam lapisan atas mendapatkan keistimewaan dan mampu mempengaruhi kebijakan untuk melayani kepentingan ekonomi mereka. Sementara kepentingan orang-orang yang berada di lapisan bawah cenderung tidak dihiraukan.

Pada gilirannya akan berakibat pada ketidakstabilan sosial karena ruang politik dan ekonomi digunakan untuk memenuhi kepentingan segelintir orang ketimbang kepentingan banyak orang. Meski faktanya demikian, Presiden Jokowi masih optimistis dengan kondisi perekonomian Indonesia. Optimisme memang sebuah keharusan, namun tanpa tindakan konkret, itu hanya sekadar omongan kosong tanpa isi. [Kristian Ginting]