Kita semua pasti merasakan, betapa cuaca tempat kita tinggal kini semakin panas. Ruang kerja atau kamar tidur kita yang dulu terasa sejuk berubah hangat. Duduk atau tidur di situ dalam beberapa waktu saja, tubuh sudah mengeluarkan keringat. Pakaian pun harus dicuci lebih sering dari biasanya.
Bisa kita bayangkan, bagaimana rasanya cuaca tempat kita tinggal pada akhir dasawarsa nanti, saat perubahan iklim tak terkendali. Sudah lama para ahli memperkirakan, bumi bakal memanas 1,5 derajat Celcius atau 2,7 derajat Fahrenheit antara tahun 2032 hingga 2039.
Mereka memperkirakan suhu planet tempat kita tinggal ini akan melampaui patokan 3,6 derajat Fahrenheit (2 derajat Celcius) antara tahun 2050 hingga 2100. Bahkan, suhu di kawasan Timur Tengah akan memanas dua kali lebih cepat dibanding bagian dunia lainnya. Para ahli menyebut wilayah ini di ambang kiamat.
Dikutip dari The Guardian, Ahad (31/10/2021), para ahli memperkirakan jika prediksi yang lebih mengerikan terbukti benar, pada akhir abad ini, Makkah mungkin tak layak huni. Melakukan ibadah haji saat musim panas akan sangat berbahaya, bahkan bisa menimbulkan malapetaka.
Tak percaya, silakan simak fakta berikut ini. Oman bagian utara baru saja dihantam Topan Shaheen, siklon tropis pertama yang mencapai Teluk. Di sekitar Basra di Irak selatan, musim panas ini, paparan suhu hingga 50 derajat Celcius pada jaringan listrik menyebabkan pemadaman terus-menerus.
Kuwait memecahkan rekor hari terpanas sepanjang tahun 2016 dengan suhu mencapai 53,6 derajat Celcius. Banjir bandang terjadi di Jeddah, dan baru-baru ini di Makkah, sementara di seluruh Arab Saudi suhu rata-rata telah meningkat sebesar dua persen, dan suhu maksimum sebesar 2,5 persen.
Di Qatar, negara dengan emisi karbon per kapita tertinggi di dunia dan penghasil gas cair terbesar, orang berbondong memakai pendingin udara. Lalu di Teheran, polusi udara membunuh 4.000 orang setiap tahun, sementara di provinsi barat daya Khuzestan warga berdemo memprotes kekeringan.
Kondisi ini membuat para pemimpin dunia, setiap kali bertemu dalam konferensi tingkat tinggi, membahas dampak perubahan iklim. Terakhir, sejumlah kepala negara dan kepala pemerintahan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Roma, Italia, yang berakhir pada Ahad (31/10).
Sebagian dari mereka melanjutkan ke KTT Pemimpin Dunia COP26 (Conference of Parties) di Skotlandia, 1-2 November. Tujuan kedua KTT sebenarnya sederhana, tapi dampaknya bagi bumi luar biasa. Yakni, mencari strategi mencegah pemanasan bumi tidak melebihi 1,5 derajat Celcius pada akhir dasawarsa ini.
Sudah sejak 2016 diantisipasi agar bumi tidak mengalami kenaikan suhu melampaui 2,7 derajat Fahrenheit (1,5 derajat C) yang diperkirakan bisa terjadi antara 2032 hingga 2039. Planet ini diperkirakan melampaui patokan 3,6 derajat F (2 derajat C) antara tahun 2050 hingga 2100.
Antisipasi itu tertuang dalam Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang ditandatangani, termasuk oleh Indonesia, pada 22 April 2016. Ini bagian dari cakupan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) mengenai mitigasi emisi gas rumah kaca, adaptasi, dan keuangan.
Memang, kenaikan suhu itu diperkirakan hanya 1,5 derajat Celcius. Tapi, tetap saja kenaikan ini mencemaskan penghuni bumi, karena dampaknya besar dan luar biasa. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB telah mengeluarkan prediksinya beberapa waktu lalu.
Dampak utamanya, gelombang panas akan sering terjadi. Suhu maksimal di beberapa daerah akan meningkat tiga derajat Celcius jika iklim menghangat 1,5 derajat Celcius. Kemudian naik empat derajat jika pemanasan global mencapai dua derajat Celcius. Bisa dibayangkan, dengan bertambah tiga derajat Celcius, suhu harian di tempat kita tentu semakin panas.
Dampak lainnya, akan terjadi lebih banyak hujan di wilayah lintang yang lebih tinggi, utara, dan selatan khatulistiwa, serta di daerah tropis dan beberapa zona muson. Curah hujan di zona subtropis mungkin akan menjadi lebih kecil, dan hujan jarang terjadi, sehingga meningkatkan kekhawatiran terjadinya bencana kekeringan.
Daerah rawan kekeringan. Musim kering dua kali lebih mungkin terjadi di dunia dengan suhu 1,5 derajat Celcius, dan empat kali lebih mungkin jika suhu naik 4 derajat Celcius. Akibatnya, 7-10 persen lahan pertanian tak akan lagi bisa ditanami.
Hasil panen pun diprediksi menurun. Panen jagung di zona tropis diperkirakan turun tiga persen di dunia yang lebih hangat 1,5 derajat Celcius, dan turun tujuh persen jika kenaikan suhunya mencapai dua derajat Celcius.
Prediksi lainnya, jika pemanasan global mencapai dua derajat Celcius, permukaan air laut akan naik sekitar setengah meter selama abad ke-21. Permukaan air laut akan terus meningkat hingga hampir dua meter pada tahun 2300. Berarti, akan banyak pulau tenggelam bila permukaan air laut terus naik.
Prediksi lain menyebutkan semua dampak pemanasan global ini mempengaruhi kelangsungan hidup tumbuhan dan hewan di seluruh planet bumi. Pemanasan global pada tingkat 1,5 derajat Celcius berdampak negatif pada tujuh persen ekosistem.
Kemudian pada kenaikan dua derajat Celcius pemanasan global, angka itu hampir dua kali lipat. Peningkatan empat derajat Celcius akan membahayakan setengah dari spesies di planet ini. Dari beberapa prediksi itu tampak, dampak pemanasan global memang mencemaskan, dan perlu solusi serius.
Namun, seperti kita ketahui, hasil KTT G-20 di Roma tak menunjukkan kemajuan signifikan. Para pemimpin dunia memang mengaku tetap berpegang pada tujuan mencegah pemanasan bumi hingga 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri. Namun, tidak ditetapkan batasan waktu spesifik untuk mencapai netralitas karbon.
Kekecewaan atas hasil KTT G-20 terungkap di KTT Perubahan Iklim PBB COP26 di Glasgow, Skotlandia. Presidensi G-20 Mario Draghi mengatakan, tanpa multilateralisme, upaya menangani krisis iklim akan stagnan.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan kekecewaannya atas hasil yang tidak maksimal dari pertemuan puncak pemimpin 20 negara ekonomi terbesar tersebut. “Saya meninggalkan Roma dengan harapan saya yang belum terpenuhi,” cuit Guterres melalui Twitter-nya.
Tetapi diakuinya, harapan itu tidak terkubur. Alasannya, karena masih ada kesempatan KTT selanjutnya di COP26 di Glasgow. Tujuannya sama, untuk menjaga tujuan 1,5 derajat tetap hidup, dan untuk mengimplementasikan janji keuangan, serta adaptasi untuk manusia dan planet. [ahmadie thaha]
Artikel ini pertama kali diterbitkan pada tanggal 2021/11/09