Beberapa tahun belakangan ini berbagai kasus hukum masuk ke ruang publik melalui perantara media massa maupun media sosial (medsos). Mulai dari kasus penembakan Brigadir Joshua Hutabarat yang didalangi oleh Ferdy Sambo, kasus Rafael Alun hingga kasus tewasnya Vina dan Eky di Cirebon. Tidak sekedar menyiarkan, media massa dan medsos bahkan dinilai menjadi faktor yang turut mempengaruhi hasil akhir kasus hukum tersebut.
Pada kasus pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat, masyarakat awalnya disajikan pemberitaan yang bias oleh skenario versi Ferdy Sambo tentang kejadian tembak-menembak sehingga jatuh korban. Skenario itu sempat membius masyarakat sampai pada saat menyebarlah berbagai fakta lain mengenai keanehan luka tembak dan kesaksian keluarga Joshua setelah melihat kondisi jenazah.
Gayung bersambut dengan menyebarnya berbagai fakta di media sosial berupa foto, tangkapan layar dan rekaman video yang menjadi ‘viral’. Alhasil, desakan untuk mengusut tuntas kejadian sebenarnya bergulir hingga ke meja Presiden Joko Widodo. Bahkan Kapolri Listyo Sigit Prabowo ‘terpaksa’ membentuk tim khusus berisikan lima orang Jenderal untuk mengusut kasus penembakan Brigadir Joshua Hutabarat.
Tak sampai disitu, media massa dan media sosial juga menjadi pengontrol aktif proses persidangan kasus Ferdy Sambo cs. Puluhan ahli dan narasumber di wawancara, ribuan artikel diterbitkan, berbagai seruan dukungan penuntasan kasus menghiasi media sosial. Kekuatan opini yang terbentuk di ruang publik tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu faktor jatuhnya vonis hukuman mati terhadap Ferdy Sambo oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), meski akhirnya direvisi oleh pengadilan diatasnya.
Berdasarkan pengalaman kasus Ferdy Sambo cs, kita dipertontonkan dasyatnya peran media membentuk opini publik terhadap proses hukum yang sedang menjadi sorotan. Hal yang samar bisa menjadi transparan, pemberitaan yang bias bisa menjadi terang benderang bahkan penegak hukum yang ragu bisa menjadi berani karena desakan kuat dari publik.
Kasus Vina dan bebasnya Pegi Setiawan
Kekuatan peran media massa dan medsos juga ditunjukkan ketika kasus pembunuhan Vina kembali diangkat kepermukaan. Kasus itu menjadi buah bibir setelah dipicu tayangan film yang mengaku terispirasi dari kisah nyata Vina sebagai korban pembunuhan dan pemerkosaan tahun 2016 silam. Media yang awalnya hanya menyitir sinopsis film Vina mulai bergeser mencari jawaban mengenai penuntasan kasus, karena masih ada 3 orang pelaku yang masuk DPO tapi belum tertangkap selama 8 tahun.
Desakan untuk mencari pelaku tersangka pelaku pembunuhan Vina juga menyeruak di media sosial. Lagi-lagi pihak kepolisian menjadi sorotan mengenai kinerja untuk menuntaskan kasus delapan tahun lalu itu.
Kepolisian bergerak cepat. Belum sampai dua minggu film Vina tayang di bioskop, polisi menangkap Pegi Setiawan di Bandung pada 21 Mei 2024 yang sebelumnya disebut telah ditetapkan sebagai DPO. Sebagai informasi, film ‘Vina Sebelum 7 Hari’ mulai tayang di bioskop pada tanggal 8 Mei.
Namun sungguh sayang, gerak cepat polisi yang ‘sat set’ bukannya mendapat pujian, sebaliknya respon masyarakat justru curiga ada hal yang tidak beres. Kecurigaan pertama diungkapkan oleh keluarga Vina yang mempertanyakan kenapa dari 3 orang DPO tersangka direvisi hanya menjadi satu orang yaitu Pegi Setiawan saja. Selain itu profil DPO Pegi alias Perong yang beredar di media sosial ternyata berbeda dengan sosok tersangka baru yang ditangkap. Perbedaan ditemui pada usia tersangka hingga ciri-ciri fisik.
Dalam sebuah konferensi pers yang diadakan kepolisian bahkan Pegi Setiawan berhasil mengumpulkan keberaniannya untuk bicara didepan media dan menyatakan dirinya tidak membunuh, bahkan dia mengatakan berani mati. Kejadian itu lantas memicu keraguan lebih besar dari publik.
Seiring berjalannya penyidikan kepada Pegi Setiawan, para terpidana pelaku yang merasa menjadi korban salah tangkap kembali bersuara menuntut keadilan. Saksi-saksi yang sebelumnya memberi keterangan 8 tahun lalu juga mulai mengubah keterangannya. Gemuruh di media semakin kencang mengungkapkan berbagai macam keganjilan kasus dan penanganan pihak kepolisian.
Dalil mengenai penetapan tersangka kepada Pegi setiawan akhirnya runtuh dengan bebasnya Pegi atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung yang mengabulkan permohonan praperadilan Pegi Setiawan dalam kasus pembunuhan pasangan kekasih Vina dan Eky di Cirebon. Melalui putusan tersebut, hakim tunggal Eman Sulaeman menyatakan penetapan tersangka yang dilakukan oleh Polda Jawa Barat tidak sah dan harus batal demi hukum.
Alur cerita pun menjadi jungkir balik, awalnya berkisah tentang penuntasan kasus pembunuhan Vina dan Eki di Cirebon 8 tahun lalu beralih menjadi pertanyaan “apa kejadian yang sebenarnya?”. Kembali masalah penegakan hukum dan keadilan dipertanyakan oleh publik melalui media massa dan media sosial.
Peran besar media massa dan medsos
Ketika dibebaskan, Pegi Setiawan mengucapkan terimakasih ke berbagai pihak yang telah mendukungnya. Tak lupa pula ia mengucapkan rasa terimakasih kepada jurnalis, media dan netizen yang tak henti mendukungnya. Ungkapan Pegi memang sangat beralasan, selama proses hukum dan persidangan pra peradilan memang tidak hentinya liputan media mengawal proses hukum Pegi. Netizen melalui media sosial juga tidak kalah gencar menyuarakan dukungan agar Pegi dibebaskan.
Pers dan media selama ini memang dikenal sebagai pilar demokrasi keempat karena perannya mengkritisi kekuasaan agar tidak bertindak sewenang-wenang. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie menyebut pers sebagai pilar keempat demokrasi, juga telah dijamin kemerdekaannya dan diakui keberadaannya oleh UUD 1945, seperti halnya tiga pilar demokrasi lainnya, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Apa yang terjadi dalam kasus Ferdy Sambo ataupun Pegi Setiawan adalah gambaran nyata bagaimana kekuatan media massa bisa mencegah terjadinya kesewenang-wenangan kelompok atau individu yang memiliki kekuasaan.
Begitupula dengan media sosial yang memiliki peran penting terutama dalam membangun opini publik. Media sosial dapat menjadi corong bagi masyarakat luas menyuarakan ketidakpuasannya atas suatu masalah atau menyampaikan keresahan mengenai situasi bangsa.
Maka tak heran jika Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Niken Widiastuti mengatakan media sosial merupakan pilar kelima demokrasi, setelah pers yang disebut-sebut pilar keempat sebagai penyeimbang eksekutif, legislatif dan yudikatif.
“Media sosial telah menjadi instrumen yang paling berpengaruh dalam kehidupan warga,” kata Niken.
Pernyataan ini merujuk pada kecepatan informasi tersaji melalui media sosial. Selain itu media sosial dapat menampung jutaan informasi dalam hitungan detik sehingga masyarakat kebanjiran informasi. Dengan banyaknya informasi maka masyarakat bisa lebih terang menilai permasalahan dan tidak hanya satu sisi.
Namun hal penting yang perlu diingat bahwa media massa dan media sosial juga rentan dengan manipulasi sehingga masyarakat diharap bijak menggunakan informasi tersebut.
Setidaknya ada banyak hal positif yang bisa dirasakan saat ini yaitu semakin banyak saluran bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya. Selain itu tidak lagi mudah bagi penguasa menutupi suatu permasalahan baik itu kasus hukum atau permasalahan politik yang berpengaruh terhadap nasib bangsa. [PAR]