Ketika Era Digital Tidak Menjamin Minat Politik Anak Muda

Buku tentang politik (Foto: Sulindo/Iqyanut Taufik)

OPINI – Di era yang serba digital ini, generasi muda menjadi aktor utama dalam berbagai perubahan, mulai dari gaya hidup hingga tren sosial. Namun, ketika membahas keterlibatan mereka dalam politik, antusiasme itu seolah memudar. Padahal, mereka memiliki akses tak terbatas pada informasi politik dan isu global yang seharusnya mendorong partisipasi aktif. Mengapa anak muda yang begitu kritis dalam berbagai aspek kehidupan justru terkesan absen dalam panggung politik?

Era demokrasi digital membawa perubahan besar dalam cara informasi disebarluaskan. Kini, dengan satu klik, kita dapat mengetahui apa yang terjadi di belahan dunia lain. Generasi muda, yang akrab dengan teknologi, memiliki akses yang belum pernah terjadi sebelumnya ke berita dan wacana politik. Namun, ironisnya, minat mereka terhadap politik tetap rendah. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa anak muda, yang memiliki potensi besar sebagai agen perubahan, tampak apatis terhadap politik?

Banyak anak muda merasa politik hanya menjadi panggung bagi para elit yang tidak peduli terhadap kebutuhan rakyat. Korupsi yang terus berulang, nepotisme, dan janji kampanye yang tak kunjung terealisasi menciptakan jurang kepercayaan antara generasi muda dan sistem politik. Bagi mereka, politik lebih sering menjadi simbol kegagalan daripada harapan.

Di satu sisi, era digital memberikan akses informasi yang melimpah. Namun, di sisi lain, anak muda dihadapkan pada tantangan besar berupa kebingungan memilah informasi di tengah derasnya arus berita. Informasi yang bertentangan, berita hoaks, dan bias media membuat mereka enggan terlibat lebih jauh, karena takut termakan propaganda yang salah.

Dalam kehidupan sehari-hari, anak muda cenderung memprioritaskan isu-isu yang lebih dekat dengan mereka, seperti kesehatan mental, karier, dan gaya hidup. Politik sering kali dianggap sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak relevan dengan kebutuhan nyata mereka. Akibatnya, minat terhadap politik pun semakin tergerus.

Sistem pendidikan di Indonesia belum memberikan ruang yang cukup untuk mengembangkan literasi politik. Anak muda tidak dibekali pemahaman mendalam tentang pentingnya partisipasi politik dalam membangun masa depan bangsa. Kurangnya pendidikan politik formal membuat mereka merasa asing dan tidak memiliki hubungan dengan dunia politik.

Untuk mengatasi apatisme politik di kalangan anak muda, berbagai langkah strategis dapat dilakukan. Pendidikan politik perlu menjadi bagian dari kurikulum sekolah dengan pendekatan yang interaktif dan relevan. Diskusi tentang isu terkini atau kunjungan ke lembaga pemerintahan dapat membuat politik lebih dekat dengan anak muda.

Media sosial, yang menjadi ruang utama anak muda, dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi politik yang akurat dan menarik. Kampanye kreatif melalui video pendek, infografik, atau konten humor dapat membangkitkan minat mereka. Organisasi politik juga harus membuka pintu bagi anak muda untuk terlibat langsung. Melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan atau kampanye isu tertentu akan memberikan rasa memiliki dan meningkatkan partisipasi mereka.

Para pemimpin politik perlu lebih responsif terhadap isu-isu yang relevan bagi generasi muda, seperti pendidikan, lapangan kerja, dan keberlanjutan lingkungan. Kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan mereka dapat membangun kembali kepercayaan.

Apatisme politik di kalangan anak muda bukanlah akhir dari cerita. Ini adalah tantangan yang memerlukan pendekatan baru yang kreatif dan inklusif. Anak muda memiliki peran kunci dalam membentuk masa depan demokrasi yang lebih sehat dan berkelanjutan. Dengan memberikan mereka ruang untuk belajar dan berpartisipasi, kita dapat memastikan bahwa suara mereka akan terdengar dan dihargai. Masa depan demokrasi ada di tangan mereka, dan sudah saatnya kita membantu mereka mengambil peran tersebut. [UN]