Koran Sulindo– Ajaran Bung Karno menginspirasi tokoh-tokoh revolusi Kuba, seperti Fidel Castro dan Che Guevara. Semangat anti kolonialisme dan anti imperialisme yang diajarkan Bung Karno menjadi panutan para pemimpin revolusioner Kuba.
Juni merupakan salah satu bulan yang paling bersejarah bagi negeri ini, selain Agustus dan Mei. Bukan semata-mata sebagai bulan kelahiran dan wafatnya Soekarno, proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia, tetapi bulan Juni juga menjadi tonggak penting kelahiran negara Indonesia.
Diawali dengan perdebatan soal rumusan dasar negara dalam Dokuritsu Junbi Cosakai [Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan] yang dipimpin Radjiman Wedyodiningrat dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Bung Karno kemudian berpidato dihadapan BPUPKI dan mengenalkan konsep Pancasila sebagai dasar negara. Konsepsi Pancasila dari Bung Karno lahir dari pandangan Sang Proklamator kala itu terhadap keadaan sosial rakyat Indonesia dan cita–cita yang harus diwujudkan saat bangsa Indonesia merdeka. Momen pidato Bung Karno tentang konsepsi Pancasila sebagai dasar negara tersebut berlangsung pada tanggal 1 Juni 1945. Sejak saat itu tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai kelahiran Pancasila.
Di bulan Juni pula tahun 1928, tepatnya tanggal 14 Juni, merupakan hari kelahiran salah satu tokoh pembebasan nasional dan anti-kolonialisme yang mungkin menjadi salah satu ikon paling populis di dunia yaitu Ernesto Guevara atau lebih di kenal dengan nama Che Guevara. Kelahiran Rosario, Argentina yang kemudian lebih dikenal dunia ketika bersama dengan Fidel Castro membebaskan Kuba dari cengkeraman junta militer Batista.
Pada Juni 1959 kedua tokoh revolusioner anti kolonialisme itu, Soekarno dan Che Guevara, bertemu muka. Kala itu, Che Guevara dan Fidel Castro baru saja sukses memenangkan revolusi di Kuba. Castro, yang kemudian didapuk sebagai Presiden dan pemimpin Kuba, adalah seorang pengagum Bung Karno. Kekaguman itu bermula saat
ia membaca terjemahan dalam bahasa Inggris Indonesia Menggugat, pidato pembelaan Bung Karno di depan Landraad Bandung tahun 1931. Begitu membaca risalah yang ditulis Bung Karno iut, Castro merasa apa yang dijadikan dalam tujuan revolusi Indonesia adalah sejalan dengan Revolusi yang inginkan di Kuba.
Lantas, Castro mengutus Che melawat ke negara-negara Asia. Ada 14 negara yang dikunjungi Che, yang sebagian besar negara peserta Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955.
Tentu saja Indonesia sebagai tuan rumah konferensi Asia Afrika, mendapat lawatan khusus Che. Lagipula, Soekarno merupakan tokoh yang dikagumi Castro dan Che. Begitu menjejakkan kaki di Jakarta, ….Juni 1959, Che langsung menemui Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Keduanya berdiskusi panjang lebar soal revolusi di masing-masing negara.
“Bagi saya, Che, sebuah perubahan sejarah itu tidak boleh setengah-setengah, ia harus menjebol, ia harus memporakporandakan. Dari situasi porak poranda itu kita bangun yang baru, bangunan masyarakat yang modern, terhormat dan memanusiakan manusia” kata Bung Karno, seusai makan malam.
Lalu Che memberi sekotak cerutu Kuba kepada Bung Karno. Bapak Bangsa Indonesia itu pun mengajak Che ngobrol di teras Istana Negara. Sambil menghirup cerutu, Bung Karno berkata: “Kamu lihat Che, bangunan ini adalah bangunan Belanda, kota-kota kami adalah contoh kota kolonial terbaik pada zamannya. Di timur Jakarta ada kota bernama Bandung, indahnya luar biasa. Lalu ada juga kota bernama Surabaya, yang menjadi pelabuhan paling timur milik jaringan dagang Hindia Belanda sebelum Australia didirikan Inggris. Mereka, para kaum penjajah itu, sudah membangun permodalan dari abad demi abad, mereka sudah membangun benteng-benteng kesejahteraannya. Tapi Che, bangsa-bangsa yang mereka jajah hanya menjadi kuli dari kemauan mereka. Lalu kami sejak pergantian abad lalu, sadar bahwa satu-satunya jalan untuk membebaskan bangsa dari kekuliannya, dari perbudakannya adalah menjadi ‘bangsa tuan’ di negeri sendiri. Menjadi demikian terhormatnya, sehingga kami bisa menggali kekayaan kami, kami bisa membangun budaya kami, kami bisa menguasai diri kami sendiri. Lalu dengan rasa terhormat itu, ekonomi kami, kebudayaan kami, dan pandangan-pandangan politik kami menjadi arus besar bagi sumbangan peradaban dunia”.
“Jadi apa yang Tuan Soekarno lakukan untuk itu?” tanya Che, dengan pandangan berapi-api. Ia seakan melihat sang guru sedang menjelaskan konsep sosialisme, konsep kesejahteraan umum, konsep yang akan membawa masyarakat pada pembebasannya.
Bung Karno menjawab: “Bagiku Che, revolusi itu sebuah keharusan untuk membuka pintu sejarah baru. Saat ini sejarah yang berlangsung sudah berbeda dengan sejarah di abad-abad lampau. Pergerakan eksploitasi bukan lagi pada pendudukan-pendudukan koloni, tapi pada pergerakan arus modal. Arus modal inilah yang kemudian menjadi alat penindas antara pemilik modal dan tidak pemilik modal. Negara-negara baru jelas tidak punya modal, mereka belum ada waktu akumulasi modal, mereka baru memulai. Tapi setidak-tidaknya, Che yang kami pelajari bahwa untuk berjuang dalam situasi apapun, maka kuncinya cuma satu: persatuan…persatuan….persatuan. Kami menang karena bersatu. Andai seluruh negara-negara baru bersatu, maka penindasan modal itu menjadi medan pertarungan yang seimbang. Untuk itulah aku inginkan Indonesia menjadi lokomotif atas persatuan dari negara-negara baru, negara-negara yang baru saja melepaskan diri dari belenggu penjajahnya. Setelah persatuan, Che…..maka modal itu dialihkan pada kesejahteraan umum, pada bangunan-bangunan yang berguna untuk rakyat, bangun sekolah-sekolah. Dengan kekayaan yang ada kami bisa membangun jutaan unit sekolah untuk anak-anak kami, itulah awal dari revolusi kami.”
Mendengar wejangan Bung Karno itu, Che pun terkesima. “Tuan Sukarno, sudikah tuan datang memenuhi undangan pemimpin kami, Fidel Castro?” kata Che dengan tersenyum.
Sukarno menjawab sembari tersenyum pula: “Saya bersedia anak muda”.
Bung Karno Melawat ke Kuba
Maka, Oktober 1960, setelah membacakan pidato To Build The World a New, yang menggegerkan di depan Sidang Umum PBB, Bung Karno melawat ke Kuba. Castro dan Che, serta rakyat Kuba menyambut hangat kedatangan Bung Karno. Sepanjang jalan dari bandar udara hingga istana kepresidenan, rakyat Kuba berdiri sambil membentangkan poster bertuliskan ‘Viva President Soekarno’.
Di depan Castro, Che, dan tokoh-tokoh revolusi Kuba lainnya, Bung Karno memaparkan konsepnya soal Marhaenisme, menjelaskan kemandirian di bidang ekonomi. Juga tentang bagaimana rakyat bisa menjadi tuan di negerinya sendiri tanpa didikte imperialisme.
Bung Karno juga menjelaskan gagasannya yang termaktub dalam pidatonya di PBB. Ada lima kritik utama yang diberikan kepada PBB. Poin utama dari kritik tersebut adalah, tentang tempat/markas PBB yang dianggapnya tidak netral, jadi harus pindah ke Asia, Afrika atau Jenewa. Kedua, PBB lahir dalam keadaan dunia yang baru terbebas dari perang jadi banyak piagam PBB yang harus diubah sesuai dengan realitas perkembangan global. berikutnya, keanggotaan keanggotaan di Dewan Keamanan PBB harus menyesuaikan diri dengan perkembangan pasca 1945, jadi tidak hanya di monopoli oleh negara-negara besar.
Puncaknya adalah keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB tahun 1965 akibat abainya PBB terhadap berbagai konflik yang diakibatkan oleh pertentangan antar negara yang di provokasi oleh imperialisme, seperti restu PBB terhadap penyatuan Kalimantan Utara dengan Malaya yang disponsori oleh Inggris dan AS. Sebelumnya Bung Karno bersama negara-negara seperti RRT, Vietnam dan Republik Rakyat Demokratik Korea Utara membidani Conference of New Emergencing Force (Conefo).
Kelak, empat tahun setelah Bung Karno berpidato di PBB, di tahun 1964, giliran Che Guevara berpidato di Sidang Majelis Umum PBB. Isi pidatonya juga berisi kritik keras terhadap imperialisme, terutama kepada Amerika Serikat. “Mereka yang membunuh anaknya sendiri dan membeda-bedakan orang dari warna kulit, membiarkan pembunuh warga kulit hitam, bahkan melindungi mereka dan malah menghukum orang kulit hitam karena menuntut kebebasan, bagaimana mungkin mereka itu bisa disebut penjaga perdamaian?”
Che Guevara sendiri tidak pernah berhenti berjuang hingga akhir hayatnya untuk menentang berbagai bentuk penjajahan oleh imperialisme. Mulai dari membantu perang gerilya di berbagai negeri di Afrika dan Amerika Selatan maupun melalui berbagai forum internasional yang digunakan olehnya untuk memblejeti kebobrokan imperialisme terutama Amerika Serikat. [Kristian Ginting]