Ketika Al-Qaeda Meminjam Tangan Hollywood

Koran Sulindo – Dalam beberapa dekade terakhir, negara-negara Barat, media mainstream dan Hollywood terus menerus terlibat dalam proyek penipuan massal untuk membenarkan campur tangan militer.

Atas nama cita-cita ‘luhur’ seperti kebebasan, hak asasi manusia dan demokrasi, setiap perang yang dilancarkan AS berujung pada kematian, kehancuran, kekacauan atau kembalinya para tiran.

Sejak Irak, Afghanistan sampai Libya yang ditawarkan Barat tak lebih dari hancurnya tatatan dan suasana chaos yang menyengsarakan rakyat kebanyakan.

Ujung semua khotbah ‘kebajikan’ yang digembar-gemborkan Washington itu pada akhirnya bermuara pada satu hal tunggal, perubahan rezim. Resep terbaru itulah yang kini tengah dijejalkan di Suriah.

Kampanye perang kotor di Suriah menunjukkan bagaimana AS dan sekutu-sekutunya menggunakan kekuatan media dan Hollywood sekaligus untuk mengembangkan taktik baru meyakinkan rakyat mereka.

Campur tangan militer diperlukan bahkan jika itu harus memberdayakan waralaba terbesar Al Qaeda di dunia yakni Jabhat al-Nusra dengan membungkusnya sebagai oposisi moderat.

Kebohongan besar dan kecil di Suriah telah membentuk propaganda paling mahal, canggih dan paling tak tahu malu yang pernah dilakukan sebuah bangsa di dunia.

Bagi Hollywood sendiri mempromosikan tentang perang bukan hal yang baru. Industri film Amerika selama bertahun-tahun telah berkolaborasi dan menjadi kepanjangan tangan Departemen Luar Negeri, Pentagon, dan dinas intelijen.

Kerja sama mereka  menghasilkan serangkaian kebohongan untuk memoles citra militer, merevisi tindakan kontroversial AS, sekaligus menyebarkan laporan resmi melalui sinematografi yang digandrungi.

Luasnya upaya AS dalam mendestabilisasi Suriah juga bisa dilihat dalam sejumlah film termasuk dokumenter berbiaya tinggi yang menuai pujian kritis, Cries From Suriah.

Film yang diproduksi HBO itu memulai debutnya dalam Festival Film Sundance yang bergengsi, dan segera tersedia di Netflix. Secara luas Cries From Suriah dipromosikan media mainstream Barat dan bahkan diputar di Pengadilan Internasional.

Film dokumenter panjang ini juga dipromosikan oleh tokoh-tokoh masyarakat dari golongan neokonservatif seperti Nikki Haley yang menjadi duta besar AS di PBB.

Pemutaran perdana film itu di bulan Mei 2017 jelas mempertemukan mereka dengan anggota parlemen AS, pakar palsu, ahli media perusahaan, dan tukang lobi perubahan rezim professional.

“Lima juta orang Suriah telah dipaksa meninggalkan negara mereka. Sekarang mereka tersebar di seluruh Timur Tengah, di seluruh Lebanon, Yordania, Irak, Mesir, dan Turki. Bahkan ada yang sampai sejauh Eropa, Kanada, dan Chili.”

“Berapa banyak lagi yang negara-negara itu bisa bertahan?” lanjut narasi yang membuka film itu. “Dan bagaimana bisa seluruh dunia hanya berdiri dan menonton seperti itu.”

Tentu saja jawabannya seluruh dunia memang tak tahu dan tidak mengerti.

Propaganda yang keluar dari media massa Barat dan lembaga-lembaga indoktrinasi begitu menyeluruh, profesional, sehingga bagi sebagian besar warga dunia segala sesuatu yang berhubungan dengan Suriah menjadi kabur, keruh, dan sangat kompleks.

Presiden al-Assad dianiaya setiap hari, pertempuran melawan gerombolan teroris disebut ‘tindakan brutal rezim’ sementara al-Qaeda yang pro-Barat digambarkan sebagai “oposisi moderat.”

Mereka masuk golongan ‘oposisi moderat’ hanya karena tingkat kekejiannya dianggap kalah kelas dengan standar ISIS.

Barat, penuh dengan kepalsuan dan hanya memikirkan keuntungan demi keuntungan dan kenyamanan pribadi, egosentrisme mereka mengabaikan penghormatan kepada warga dunia.

Selain AS yang bertindak sebagai master dalam semua kejahatan itu, Eropa dengan pengalaman ratusan tahun penjajahannya di seluruh dunia sekarang mengekor begitu saja.

Di sisi lain, bagi orang-orang Suriah pertempuran mereka selain heroik memang menyangkut hidup dan mati. Dengan pilihan hanya membunuh atau dibunuh, orang Suriah berdiri tegak dan makin berani sembari mengubur ratusan ribu kematian saudara-saudaranya.

Banyak di antara mereka mati dengan cara yang sangat menyiksa, dieksekusi, bom curah hingga gas beracun yang disediakan NATO atau CIA bagi para militan.

Orang-orang Suriah tak hanya memerangi senjata-senjata paling menjijikkan yang dibuat Barat untuk membunuh, tetapi juga mengalami penderitaan luar biasa sebelum kematian. Fallujah di Irak hanyalah sebuah contoh. Aleppo bisa menjadi warisan mengerikan lainnya, jika tidak segera dibebaskan oleh tentara Suriah dan Rusia.

Contoh klasik dari propaganda paling menjijikan adalah Nayirah Testimoni yang bersaksi kepada Kaukus Kongres Hak Asasi Manusia 10 Oktober 1999.

Nayirah Testimoni merupakan kesaksian dari seroang gadis Kuwait yang hanya disebut nama depannya yakni Nayirah yang kala itu baru berusia 15 tahun. Ia bersumpah setelah invasi Irak ke Kuwait dia melihat tentara Irak mengeluarkan bayi-bayi dari inkubator di sebuah rumah sakit di Kuwait dan membiarkan bayi-bayi itu mati.

Kesaksian itu dipublikasikan dengan luas, dan dikutip berkali-kali oleh senator Amerika Serikat dan Presiden George HW Bush sebagai alasan mereka mendukung Kuwait dalam Perang Teluk.

Semula kisah itu didukung oleh Amnesty International, namun setelah pembebasan Kuwait dan wartawan diberi akses ke negara itu. Sebuah laporan ABC menemukan bahwa “pasien, termasuk bayi prematur, memang meninggal, ketika banyak perawat dan dokter Kuwait melarikan diri.”

Mereka juga memastikan bahwa pasukan Irak tak mencuri inkubator rumah sakit dan menyebabkan ratusan bayi Kuwait mati.

Segera setelah kejadian, Amnesty International mengeluarkan koreksi yang ditandatangi oleh direktur eksekutif John Healey yang menuduh pemerintahan Bush “melakukan manipulasi oportunistik dari gerakan hak asasi manusia internasional.”

Belakangan juga terungkap gadis 15 tahun yang bersaksi itu adalah Nayirah al-Ṣabaḥ yang merupakan putrid dari duta besar Kuwait di Amerika Serikat.

Juga terungkap bahwa kesaksian itu diorganisir oleh sebuah perusahaan humas di AS, Hill & Knowlton yang bekerja untuk pemerintah Kuwait . Kesaksian putrid al-Sabah sampai saat ini dianggap sebagai contoh klasik dari propaganda perang modern yang kejam. [TGU]