Koran Sulindo – Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2021 disusun dalam kondisi ketidakpastian ekonomi yang akan terjadi pada tahun depan. Pandemi Covid-19 yang semula diprediksi akan berakhir begitu memasuki semester kedua tahun ini, ternyata belum juga terkendali hingga September 2020 ini saat RAPBN mulai dibahas oleh pemerintah bersama DPR RI.
Hingga saat ini, tren kasus positif Covid-19 di Indonesia masih terus menanjak. Mengutip worldometers per 12 September 2020, jumlah kasus terkonfirmasi positif di Indonesia adalah 210.940 kasus, jumlah yang sembuh (recovery rate) sebanyak 150.217 orang (71,21%) dan jumlah yang meninggal (confirm fatality rate) 8.544 orang (4,05%).
Tingkat recovery rate di Indonesia (71,21%) dan confirmed fatality rate (4,05%) ini, lebih buruk dibandingkan dengan kondisi secara global. Di seluruh dunia, jumlah orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 sebanyak 28,66 juta, jumlah yang sembuh (recovery rate) sebanyak 20,59 juta (71,82%) dan jumlah yang meninggal dunia sebanyak (confirmed fatality rate) sebanyak 919.799 orang (3,21%).
Bila menengok ke belakang, kondisi yang buruk ini di luar skenario pemerintah. Dalam skenario optimistis yang dibuat pemerintah pada April-Mei lalu, wabah ini diprediksi berakhir pada pertengahan Juni lalu. Karena itu, pemerintah pun sempat sangat optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia akan kembali ke zona positif pada kuartal ketiga 2020 minus 5,32%. Tetapi tampaknya kuartal ketiga ini pertumbuhan ekonomi Indonesia masih negatif, sehingga Indonesia secara teknikal mengalami resesi.
Meski kondisi Covid-19 belum terkendali sejak Juni lalu itu, pemerintah tetap melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pemerintah memang ngebet ekonomi kembali pulih setelah lesu pada April-Mei 2020. Kantor-kantor dan pusat perbelanjaan pun mulai dibuka kembali sejak Juli lalu yang kemudian memunculkan kluster baru penyebaran Covid-19 yaitu kluster perkantoran. Dari kluster perkantoran ini berkembang melahirkan kluster keluarga karena karyawan yang terinfeksi dari rekan kerjanya di kantor kemudian menularkan ke anggota keluarga.
Atas dasar skenario optimistis itu juga pemerintah tetap menggelar pemilihan kepala daerah serentak pada Desember nanti dimana saat ini semua pasangan calon sudah melakukan pendafataran ke Komisi Pemilihn Umum Daerah (KPUD). Pengumpulan massa dalam jumlah yang banyak saat pendaftaran pada awal September ini dan kelak saat masa kampanye nanti memicu kekhawatiran munculnya kluster baru penyebaran Covid-19 yaitu kluster pilkada. Alih-alih merasa bersalah atas kebijakan nekat menggelar pilkada, pemerintah pusat cenderung menyalahkan pada kandidat.
Kebijakan yang tak tegas, ditambah sebagian masyarakat tak patuh dengan protokol kesehatan, diprediksi akan membuat jumlah kasus postif di Indonesia akan terus meningkat. Di sisi lain vaksin-vaksin yang diharapkan bisa membasmi total virus ini hingga kini masih dalam proses ujicoba. Inilah yang menyebabkan proyeksi kondisi ekonomi pada 2021 nanti masih diselimuti ketidakpastian. Pemerintah dalam nota keuangan yang disampaikan pada 14 Agustus lalu memeperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun 2021 dalam rentang 4,5% hingga 5,5%.
Tetapi setelah dibahas bersama Panitia Kerja (Panja) di Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, disepakati pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan sebesar 5%. “Saya rasa ini adalah keputusan yang tepat dan baik yang menggambarkan antara harapan, namun juga kehati-hatian terhadap kondisi tahun 2021. Diakui dengan adanya perkembangan Covid terutama akhir-akhir ini, kita melihat eskalasi ketidakpastian meningkat untuk tahun 2020 dan mungkin masih akan berlangsung di tahun 2021. Sehingga kita memang patut unutk tetap waspada namun tidak kehilangan fokus unutk terus optimis di dalam mengatasi masalah,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Badan Anggaran DPR, Jumat (11/9) lalu.
Postur RAPBN
Ketidakpastian ekonomi tahun 2021 juga tercermin dalam postur RAPBN yang sudah dibahas pemerintah dan Badan Anggaran DPR. Pendapatan negara yang diusulkan pemerintah dalam nota keuangan 14 Agustus lalu sebesar Rp 1.776,4 triliun dipangkas menjadi Rp 1.743,6 triliun atau turun Rp 32,7 triliun.
Sri Mulyani mengatakan penurunan ini terutama karena penerimaan PPh Non Migas yang turun Rp 20,7 triliun dan PPN turun sebesar Rp 27,5 triliun. Sementara PPh Migas masih naik sebesar Rp 4,6 triliun dan pajak lainnya naik sebesar Rp 4,7 triliun. Sehingga total penerimaan pajak dalam RAPBN 2020 yang sudah dibahas dengan Badan Anggaran DPR adalah sebesar Rp 1.229,6 triliun, turun Rp 38,9 triliun dari sebelumnya dalam nota keuangan sebesar Rp 1.268,5 triliun. Di sisi lain, penerimaan kepabeanan dan cukai masih naik sebesar Rp 1,5 triliun dari Rp 213,4 triliun menjadi Rp 215 triliun. Dengan demikian, total target penerimaan perpajakan (pajak, bea dan cukai) sebesar Rp 1.444,6 triliun, turun sebesar Rp 37,4 triliun dari yang sebelumnya Rp 1.481,9 triliun.
Penurunan target penerimaan perpajakan ini menggambarkan kondisi dunia usaha yang memang belum akan kembali normal pada tahun depan. Sri Mulyani mengatakan penerimaan pajak pada tahun 2020 ini juga diperkirakan tidak mencapai target yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.72/2020. Dalam Perpres ini, penerimaan perpajakan ditargetkan sebesar Rp 1.404,51 triliun.
Dari sisi belanja negara, dalam RPABN 2021, belanja negara ditetapkan sebesar Rp 2.750 triliun naik Rp 2,5 triliun dari yang diusulkan pemerintah dalam nota keuangan yaitu sebesar dari Rp 2.747,5 triliun.
Masih lesunya pendapatan negara, sementara belanja jauh lebih tinggi menyebabkan defisit anggaran pada tahun 2021 masih di atas ambang batas 3%. Jumlah defisit tahun depan sebesar Rp 1.006,4 triliun atau 5,7% dari PBD. “Untuk membiayai defisit tersebut, pembiayaan utang meningkat dari yang tadinya diusulkan Rp 1.142 triliun menjadi Rp 1.177,4 triliun, dengan penerbitan surat berharga negara mencapai Rp 1.207,3 triliun,” ujar Sri Mulyani. Dan utang pun terus menggunung. [Julian A]